Opini

Perda anti LGBT, Solusi atau Sekadar Formalitas?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Risna Ummu Zoya (Aktivis Muslimah Kal-Sel)

Wacana-edukasi.com, OPINI– Pada Januari 2025, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) kembali mengkaji pembentukan Peraturan Daerah (Perda) untuk memberantas penyakit masyarakat terutama lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) di wilayah tersebut. Wakil Ketua DPRD Sumbar, Nanda Satria, menyatakan bahwa beberapa daerah di Sumbar telah lebih dahulu memiliki Perda serupa, sehingga pemerintah provinsi perlu mengambil langkah serupa untuk menjaga nilai-nilai adat dan agama yang dianut masyarakat Minangkabau. Dimana masyarakat didaerah ini dikenal dengan filosofi “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” (Sumbar.antaranews.com, 4/1/2025).

Selain itu, DPRD Sumbar menekankan pentingnya sosialisasi mengenai bahaya perilaku LGBT dan penyakit menular seperti HIV/AIDS. Mereka mendorong pemerintah untuk memanfaatkan media publik, seperti baliho dan videotron, guna menyebarluaskan informasi edukatif kepada masyarakat. Data dari Dinas kesehatan Kota Padang menunjukkan bahwa dari 308 kasus HIV yang tercatat, perilaku lelaki seks dengan lelaki (LSL) menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya angka HIV di kota tersebut (Sumbar.antarnews.com, 4/1/2025).

Perda ini menuai respons yang beragam, dari apresiasi masyarakat adat dan ulama hingga kritik dari kelompok tertentu yang menganggapnya diskriminatif. Meskipun demikian, pertanyaannya adalah, apakah langkah ini mampu menjadi solusi moral atau hanya sekadar formalitas belaka? Dalam perda tersebut, pelaku LGBT dikenakan sanksi sosial dan moral berupa pembinaan. Namun, sanksi yang diterapkan lebih bersifat administratif dibandingkan pidana, sehingga efektivitasnya dalam memberantas akar masalah menjadi pertanyaan besar.

Dalam sistem sekuler yang mendominasi kehidupan saat ini, upaya menangani perilaku LGBT sering kali terbatas pada kebijakan formal. Meski langkah ini terlihat sebagai bentuk kepedulian terhadap moralitas masyarakat, namun pertanyaannya sejauh mana Perda ini benar-benar efektif?

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan formal semacam ini sering kali hanya bersifat reaktif dan cenderung tidak menyentuh akar permasalahan. Dalam sistem sekuler, moralitas kerap diukur berdasarkan konsensus manusia, bukan pada standar yang absolut. Akibatnya, norma-norma masyarakat mudah tergeser oleh tren global yang mendukung kebebasan individu tanpa batas, termasuk dalam isu LGBT.

Seperti yang kita ketahui, bahwa LGBT itu sendiri merupakan fenomena yang lahir dari penerapan ideologi sekuler yang membebaskan manusia dari batasan hukum Allah. Dalam sistem sekuler, perilaku LGBT sering kali dilindungi atas nama HAM dan kebebasan berekspresi. Sistem ini jelas akan menumbuh suburkan kemaksiatan ini. Tentu saja keinginan adanya peraturan daerah untuk memberantas LGBT adalah keinginan yang sangat baik. Namun hal ini tidak efektif.

Sudah begitu banyak Perda Syariah yang dibuat daerah, tetapi terus menerus dipermasalahkan pihak-pihak tertentu. Bahkan ada yang dibatalkan pemerintah pusat karena dianggap bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat. Apalagi dalam sistem demokrasi sekuler, bukan Islam yang menjadi acuan, tetapi HAM. Maka tidak ada tempat bagi penerapan syariat Islam Kaffah. Asas yang batil tidak akan mampu memberikan solusi tuntas atas permasalahan manusia, apalagi bersumber pada akal manusia yang lemah.

Berbeda dengan pandangan Islam, yang memandang masalah LGBT tidak semata-mata sebagai pelanggaran norma sosial, tetapi juga pelanggaran terhadap hukum syariat. Islam menawarkan solusi yang menyeluruh. Tidak hanya dengan hukum, tetapi juga pembentukan masyarakat berbasis akidah Islam. Dalam sistem Islam, negara memiliki peran utama dalam mendidik masyarakat, membangun ketakwaan individu, serta menegakkan hukum yang tegas terhadap perilaku yang menyimpang.

Dalam Islam, penyimpangan seksual seperti LGBT dipandang sebagai dosa besar yang membahayakan individu dan masyarakat. Islam tidak hanya memberikan hukuman yang tegas yaitu hukum hudud. Tetapi juga membangun tatanan masyarakat yang mencegah perilaku menyimpang sejak awal.

Sistem pendidikan Islam menanamkan akidah kuat, sedangkan sistem sosial mengatur interaksi yang sesuai dengan syariat. Selain itu, negara Islam bertanggung jawab memastikan media, pendidikan, serta pengawasan masyarakat yang berlandaskan amar ma’ruf nahi munkar. Negara akan menjadi pelindung dan penjaga umat agar tetap berada dalam ketaatan pada Allah termasuk dalam sistem sosial. Negara akan menutup rapat setiap celah yang akan membuka peluang pelanggaran hukum syara’.

Berbeda dengan perda yang bersifat parsial dan terikat sistem sekuler, sistem Islam menyelesaikan masalah secara menyeluruh. Islam menawarkan solusi yang holistik. Pertama, pembentukan individu yang bertakwa melalui pendidikan berbasis akidah Islam. Kedua, penegakan hukum syariat yang tegas sebagai bentuk perlindungan masyarakat dari perilaku menyimpang.

Ketiga, negara bertanggung jawab mengontrol budaya, media, dan ekonomi agar tidak memfasilitasi propaganda perilaku LGBT. Keempat, penerapan sistem sosial yang menjaga interaksi masyarakat sesuai tuntunan syariat. Langkah-langkah ini hanya dapat terwujud dalam kerangka sistem pemerintahan Islam. Oleh karena itu, jika akar masalah, yakni penerapan sistem sekuler tidak diganti, Perda Anti-LGBT hanya akan menjadi tambal sulam tanpa solusi yang hakiki.

Solusi sejati atas masalah LGBT dan segala bentuk penyimpangan hanya bisa dicapai melalui penerapan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Hanya dengan sistem Islam yang integral, permasalahan LGBT dan isu-isu moral lainnya dapat diselesaikan secara tuntas dan kembali kepada kehidupan yang diridhai oleh Allah SWT, bukan sekadar menjadi formalitas tanpa substansi.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 27

Comment here