Oleh: Riena Enjang (Pegiat Dakwah)
Wacana-edukasi.com, OPINI— Dilansir dari republika.co.id (04/01/25), DPRD Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) tengah mengkaji rencana pembentukan peraturan daerah (perda) untuk memberantas perilaku LGBT. Hal ini karena perilaku ini dinilai telah menjadi penyakit masyarakat. Padahal, kota Sumbat memegang filosofi “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.” Wakil Ketua DPRD Sumbar, Nanda Satria, menegaskan pentingnya strategi bersama antara pemerintah dan masyarakat untuk menangani masalah ini secara efektif.
Selain perda, sosialisasi pencegahan HIV/AIDS juga harus diperkuat melalui media publik seperti baliho dan videotron dengan konten edukasi, bukan hanya menampilkan foto pejabat. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Padang, dari 308 kasus HIV, 53,8 persen berasal dari luar Padang. Mereka melakukan lelaki seks lelaki (LSL), dan ini sebagai salah satu penyebab utama, terutama di kalangan usia produktif 24-45 tahun.
Peraturan Daerah
Rencana pembentukan Peraturan Daerah (Perda) untuk memberantas perilaku LGBT di Sumatera Barat mendapat sorotan luas. Filosofi “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” menjadi landasan kuat di balik upaya tersebut, mengingat bahwa perilaku LGBT bertentangan dengan nilai-nilai adat dan syariat Islam yang dipegang teguh di Ranah Minang. Namun, pertanyaan utama yang muncul adalah seberapa efektif perda ini dalam mencegah penyakit sosial di masyarakat.
Pertama, perda sebagai Regulasi Moral dan Tantangannya. Perda LGBT bertujuan untuk memperkuat norma sosial dan hukum dalam menekan perilaku menyimpang. Namun, regulasi berbasis moralitas menghadapi tantangan dalam sistem hukum nasional yang mengedepankan Hak Asasi Manusia (HAM). Indonesia adalah negara demokratis dengan konstitusi yang melindungi kebebasan individu. Oleh karena itu, perda yang membatasi perilaku pribadi dapat diperdebatkan, bahkan dibatalkan oleh pemerintah pusat jika dianggap melanggar prinsip HAM.
Kedua, efektivitas Implementasi Perda. Efektivitas perda bergantung pada implementasinya. Tanpa pengawasan yang konsisten dan dukungan penuh dari masyarakat, regulasi semata tidak cukup untuk mengubah perilaku sosial. Pengalaman dari perda-perda sebelumnya menunjukkan bahwa penegakan hukum sering kali lemah, dan kesenjangan antara aturan dan pelaksanaan di lapangan membuat perda kehilangan daya pencegahan yang diharapkan.
Ketiga, pentingnya Edukasi dan Kesadaran Sosial. Selain regulasi, kunci utama mencegah perilaku LGBT adalah edukasi. Masyarakat harus memahami bahaya perilaku menyimpang, terutama kaitannya dengan penyebaran HIV/AIDS. Sosialisasi melalui media publik, masjid, dan lembaga pendidikan dapat memperkuat nilai-nilai moral dan meningkatkan kesadaran akan dampak negatif LGBT.
Sekularisme Akar Masalah Kerusakan Moral
Sekularisme adalah sistem yang memisahkan agama dari kehidupan publik dan hanya membatasi agama pada ritual ibadah. Dalam konsep ini, aturan Allah SWT diabaikan dalam mengatur perilaku manusia sehari-hari, memberikan ruang luas untuk kebebasan tanpa batas yang didukung oleh konsep Hak Asasi Manusia (HAM). HAM dalam sekularisme memberi legitimasi pada perilaku menyimpang, termasuk LGBT, dengan dalih kebebasan pribadi yang dilindungi oleh hukum negara.
Padahal, Islam sebagai sistem hidup yang sempurna telah menetapkan bahwa manusia diciptakan berpasang-pasangan antara laki-laki dan perempuan, sesuai fitrah yang ditentukan oleh Sang Maha Pengatur. Ketetapan Allah dalam penciptaan laki-laki dan perempuan serta aturan tentang pernikahan adalah bagian dari hukum syariat yang tidak dapat diubah oleh keinginan hawa nafsu manusia.
Namun, sekularisme memunculkan krisis moral dan penyakit sosial karena aturan yang diterapkan adalah produk akal manusia yang lemah dan penuh keterbatasan. Kebebasan yang ditawarkan mengabaikan dampak buruk seperti penyebaran HIV/AIDS, yang menjadi salah satu konsekuensi perilaku homoseksual dan penyimpangan seksual lainnya. Ini menunjukkan bahwa kebebasan tanpa batas justru membawa mudarat (kerugian) yang luas bagi masyarakat. Peraturan daerah yang membatasi LGBT meski memiliki niat baik, nyatanya tidak mampu memberikan solusi tuntas. Hal ini karena akar masalahnya adalah penerapan sistem sekuler itu sendiri.
Islam Solusi Hakiki
Penyelesaian persoalan LGBT dan berbagai kerusakan moral hanya bisa dicapai melalui penerapan syariat Islam secara kaffah. Sistem Islam pengaturan seluruh aspek kehidupan manusia berdasarkan hukum Allah SWT, bukan berdasarkan akal manusia yang penuh kelemahan. Islam juga mengatur sistem pergaulan masyarakat, bagaimana sikap kepada lawan jenis, sesama jenis, kepada yang mahram maupun yang bukan mahram, dan lain-lain.
Yang tidak kalah penting adalah, bahwa sistem Islam membangun manusia dengan pendidikan iman, memperkuat kontrol sosial dengan amar ma’ruf nahi munkar, dan menegakkan hukum yang tegas sebagai pencegah kerusakan. Oleh karena itu, solusi sejati memerlukan perubahan sistemik dari sekularisme menuju penerapan syariat di bawah naungan Khilafah Islamiyah. Hanya dengan cara ini, kebebasan yang merusak dapat dihentikan, dan manusia akan hidup sesuai dengan fitrah yang diridhai Allah SWT.
Alqur’an surah asy Syura ayat 165- 175 memberikan peringatan melalui kisah kaum Nabi Luth yang dihancurkan karena perilaku homoseksual. Pelajaran ini menjadi pengingat akan pentingnya menegakkan aturan Allah untuk mencegah kehancuran sosial. Syariat Islam yang diterapkan secara kaffah merupakan satu-satunya solusi tuntas yang bisa mengatasi LGBT dan menjaga moralitas masyarakat.
Peraturan Daerah (Perda) untuk memberantas LGBT di Sumatera Barat mencerminkan upaya menjaga nilai-nilai moral dan adat berbasis syariat Islam. Namun, efektivitasnya terbatas dalam sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan publik dan menjunjung kebebasan individu sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Pengalaman menunjukkan bahwa regulasi tanpa penegakan yang kuat dan tanpa perubahan mendasar dalam sistem hanya akan menjadi solusi parsial.
Islam menegaskan bahwa solusi sejati untuk persoalan LGBT dan berbagai penyimpangan sosial hanya bisa tercapai melalui penerapan syariat secara kaffah yang mencakup penguatan keimanan individu, kontrol sosial, dan sanksi tegas dari negara di bawah naungan Khilafah Islamiyah. Dengan demikian, kembali kepada aturan Allah adalah satu-satunya jalan untuk membangun masyarakat yang bermoral dan terhindar dari kerusakan.
Views: 5
Comment here