Opini

Perempuan, Berdaya atau Terpedaya?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Lely Novitasari (Aktivis Generasi Peradaban Islam)

wacana-edukasi.com, OPINI--Realita paradoks kenaikkan indeks pembangunan gender ternyata tidak berbanding lurus dengan angka kekerasan pada perempuan yang terus meningkat.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat, sebanyak 25.050 terjadi kekerasan pada perempuan sepanjang 2022. Jumlah ini meningkat 15.2% dari tahun sebelumnya sebanyak 12.753 kasus. Sebuah data fenomena yang bisa menggambarkan kondisi perempuan di masa kini tidak sedang baik-baik saja.

Pemerintah negeri ini telah berupaya mengambil kebijakan untuk melindungi perempuan dari kekerasan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga untuk mengatasi maraknya kasus kekerasan pada perempuan.

Rencana pun dibuat untuk menyongsong tahun 2024. KemenPPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) berusaha berkomitmen untuk meningkatkan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.

Meningkatnya Indeks Pembangunan Gender dianggap mampu menjadikan perempuan saat ini semakin berdaya. Semua itu ditunjukkan dengan peran perempuan yang telah memberikan sumbangan pendapatan signifikan bagi keluarga, menduduki posisi strategis di tempat kerja, dan terlibat dalam politik pembangunan dengan meningkatnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Pendapat ini diungkapkan oleh Deputi Bidang Kesetaraan Gender KemenPPPA Lenny N Rosalin.

Namun dibalik melebarnya partisipasi dan kiprah perempuan dengan aktivitas di luar rumah yang mendapatkan apresiasi positif hari ini, mengapa justru masih banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan? Apakah pemicu konflik kekerasan perempuan dampak dari fenomena independensi kaum hawa hasil dari pemberdayaan perempuan? Bagaimana sesungguhnya solusi menekan angka kekerasan pada perempuan? Bagaimana pula seharusnya peran perempuan dalam lingkup keluarga dan masyarakat? Serta bagaimana sesungguhnya peran perempuan dalam membangun kemajuan bangsa?

Pertanyaan-pertanyaan di atas selayaknya menjadi keresahan bersama untuk dikritisi dan dipahami solusinya. Sebab hal ini bukan berbicara perkara satu individu melainkan dalam konteks sebuah peradaban.

Realita yang tak terbantahkan yakni meningkatnya permasalahan yang dihadapi kaum perempuan seperti kasus KDRT, tingginya angka perceraian hingga kekerasan seksual, banyak di antaranya dilatarbelakangi persoalan ekonomi dan perselingkuhan.

Di sisi lain ada budaya patriarki yang dianggap sebagai momok merendahkan kaum perempuan di hadapan kaum pria. Dalam rumah tangga, istri tidak yang bekerja dan hanya menerima nafkah dari suami dianggap tidak berdaya, mengakibatkan ketergantungan pada kaum pria sebagai pengakuan superioritas gender.

Konsep kesetaraan gender yang digaungkan aktivis feminisme disambut hangat dan dianggap solusi agar perempuan punya posisi yang sama agar tidak tertindas kaum laki-laki dalam lingkup keluarga serta masyarakat. Maka perempuan harus memiliki peluang pekerjaan yang sama, hak yang sama dalam berbagai sektor.

Pertanyaannya, apakah benar kesetaraan gender dapat menjadi solusi persoalan kekerasan kaum perempuan?

Kesetaraan gender berasal notabene lahir dari kebudayaan barat khususnya diusung gerakan feminisme. Mereka merasa ini adalah untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan agar setara dengan laki-laki dalam bidang politik, sosia, ekonomi, dan berbagai sektor kehidupan.

Realitanya, tidak dapat dipungkiri perempuan secara fisik diciptakan Tuhan berbeda dengan laki-laki. Perempuan memiliki siklus haid, serta rahim yang berfungsi untuk mengandung. Saat melahirkan perempuan perlu cuti untuk memulihkan kondisi fisiknya. Belum lagi berbicara kekuatan fisik secara umum.

Dari sisi fisik saja, apakah perempuan betul-betul dapat disetarakan dalam segala bidang pekerjaan? Seperti kuli, atau pekerjaan buruh kasar dan semisalnya.

Saat sudah berkeluarga, sebagian banyak perempuan hari ini banyak yang terpaksa untuk bekerja menjadi tulang punggung keluarga sebab perekonomian yang tidak cukup, atau ada pula yang bekerja sebab hanya ingin menyalurkan hobi dan keterampilannya. Dalam kondisi ini, fisik perempuan tidak bisa disetarakan dengan laki-laki dalam banyak jenis dunia kerja khususnya yang menuntut kekuatan fisik.

Sebuah kekeliruan fatal atas paradigma dalam melihat perempuan dan solusinya di sistem saat ini. Buktinya berbagai persoalan justru banyak ditimbulkan dari fenomena kesetaraan gender.

Saat fitrah perempuan tidak di tempatkan pada tempatnya, kekacauan peran mereka bisa berakibat fatal pada kehidupan orang di sekelilingnya atau bahkan dirinya sendiri juga berpengaruh besar pada kondisi sebuah bangsa. Contoh nyata saat perempuan berperan sebagai ibu rumah tangga ditambah membantu perekonomian keluarga, berakibat tidak terkondisikan maksimal pendidikan anak sebab sang ibu sudah lelah dengan perannya diluar. Hasilnya bisa kita saksikan saat ini diberbagai belahan dunia fenomena dekadensi akhlaq, lemahnya mental hingga degradasi spiritual anak-anak.

Fenomena istri yang memiliki penghasilan lebih besar dari suami, tidak jarang justru menimbulkan konflik rumah tangga hingga memicu tingginya perceraian saat perempuan merasa mampu independen/mandiri dan tidak memerlukan peran suami. Atau dalam kondisi perempuan single yang memilih berkarier dan mencukupkan diri bisa mendapatkan semua kebutuhannya tanpa perlu menikah.

Melansir media Antaranews, Psikolog Klinis Forensik  Universitas Indonesia, A. Kasandra Putranto mengatakan bahwa kesenjangan finansial dalam rumah tangga hanyalah salah satu faktor yang berperan dalam kekerasan di sebuah rumah tangga. Faktor lainnya bisa dari akumulasi faktor psikologis, serta faktor sosial.

Penerapan sistem kapitalistik saat ini, telah nyata mengacaukan fitrah kaum hawa dalam membangun peradaban. Mengutip ungkapan seorang tokoh, jika perempuan rusak, maka rusaklah bangsa tersebut. Namun jika perempuan baik maka baik pulalah bangsanya.

Berharap dalam sistem kapitalisme-sekular yang telah melahirkan ide kesetaraan gender, banyak fakta membuktikan justu menjadi bumerang bagi kaum perempuan itu sendiri. Seolah perempuan dimerdekakan padahal  disadari justru mereka kini menjadi objek eksploitasi baik di dunia politik, ekonomi, budaya, dan berbagai sektor kehidupan lainnya.

Sesuai Fitrahnya

Islam memandang perempuan memiliki banyak keistimewaan dan bahkan perempuan bisa dikatakan lebih unggul dibandingkan laki-laki pada sektor tertentu. Sebagaimana perempuan dicantumkan sebagai nama surat di dalam Al-Qur’an yaitu surat An-Nisa.

Bahkan, Nabi Muhammad SAW ketika ditanya siapakah orang yang paling berhak untuk dihormati dan didahulukan, dengan lantang dan tegas dijawabnya. “ibumu! ibumu! ibumu! kemudian ayahmu“. 

Begitu mulianya kaum hawa hingga derajatnya disebut sampai 3 kali, jika dihitung  jumlah keistimewaan kaum perempuan dalam banyak dalil dalam pandangan Islam, jelas sangat banyak. Lalu menapa cari solusi di sistem lain?

Islam menjadikan kedudukan kaum perempuan sangat mulia bahkan kehormatannya  senantiasa harus dijaga yang akan menjadikannya menyandang predikat wanita sholihah.

Sebagaimana disebut dalam hadist: “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah isteri yang shalihah.” (HR Muslim dari Abdullah bin Amr)

Islam memiliki berbagai mekanisme untuk menjadikan perempuan mulia sekaligus terjaga fitrahnya. Seperti peran perempuan itu tidak wajib menjadi tulang punggung keluarga. Perempuan fitrahnya sebagai mendidik anak yang merupakan generasi pembangun peradaban ke depan. Mubah (boleh) hukumnya ia beraktivitas dan bekerja di luar dengan tetap tidak melalaikan kewajibannya sebagai seorang ibu/istri.

Maka, ketika perempuan memahami hak dan kewajibannya, hal itu akan meminimalisir keresahan dan kekacauan dalam kehidupan seperti yang terjadi di abad modern saat ini. Tentu hal ini juga harus didukung oleh peran negara yang memiliki wewenang untuk mengatur dan memberikan kebijakan sesuai aturan sang pencipta kehidupan.

Kesempurnaan Islam

Islam sebagai sebuah diin (agama) juga merupakan jalan hidup (ideologi) jelas memiliki cara untuk mengatur sebuah negara dan mengurus segala kebutuhan rakyatnya agar terwujudlah peradaban manusia yang mulia, sesuai amanah penciptaan sang Khaliq, Khalifatullah fil ardh.

Negara yang menerapkan Islam akan berusaha maksimal menjamin segala kebutuhan kehidupan rakyatnya, memberikan lapangan pekerjaan yang layak dan menjangkau seluruh wilayah untuk kaum laki-laki yang memiliki kewajiban sebagai pejuang nafkah/tulang punggung keluarga sehingga kaum perempuan tidak lagi ikut dan dapat fokus menjalani fitrahnya sebagai pendidik utama anak-anak yang akan menjadi generasi pembangun peradaban masa depan.

Dengan begitu, faktor ekonomi di sistem kapitalisme-sekular menjadi tujuan utama bisa diminimalisir di iklim sistem Islam. Suasana keimanan dibangun mulai dari skala keluarga, masyarakat hingga negara, menjadikan perempuan juga laki-laki memahami hak dan kewajibannya sesuai fitrah penciptaannya.

Dengan demikian berbagai kasus kekacauan dalam rumah tangga, maka negara dengan aparaturnya bertanggung jawab untuk mengurusi persoalan ini, mencari tahu sebabnya serta menjadi lembaga penanggung jawab utama mencari solusi hakiki agar problematika tersebut tidak berulang. Hukuman yang tegas dan solusi yang tepat ini akan memberikan keamanan bagi setiap rakyatnya sebagai efek jera bagi pelaku agar kejadian yang sama tidak kembali terulang.

Jika sudah jelas peran negara dalam sistem Islam, pertanyannya hanyalah apakah negeri ini berkenan menjadikan syariat Islam yang bersumber dari Dzat pencipta kehiduoan sebagai solusi atas seluruh problematika umat manusia secara keseluruhan? Bukankah inilah contoh hambanya yang paling mulia Rasulullah SAW ketika membangun peradaban emas di Yastrib (Madinah), hingga kekuasaan dan kejayaan Islam mampu berdiri selama 13 abad lamanya hingga menjangkau diterapkan menaungi 2/3 dunia!

Nasihat shahabat yang mulia Umar ibnul Katthab:

“Dulu kita adalah kaum yang paling hina, tetapi Allah lalu memuliakan kita dengan Islam. Kapan saja kita meminta kemuliaan selain dari apa yang telah dimuliakan Allah terhadap kita, maka Allah akan menghinakan kita”. (Syarah Bukhari-Muslim)

Wallahu’alam bishowab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 14

Comment here