Opini

Perempuan dalam Bingkai Sekularisme

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Irsad Syamsul Ainun (Pegiat Literasi Papua)

wacana-edukasi.com– Perempuan merupakan objek yang cukup vital dalam tubuh kapitalisme. Atas dasar gerakan kesetaraan gender, perempuan didorong keras untuk terjun keberbagai sektor. Baik ekonomi, pemerintahan, keamanan, pembangunan dan lain-lain.

Uniknya, dari setiap pergerakan yang dilakukan oleh pejuang kesetaraan gender ini, tak sedikit mereka yang terjun dan berlomba menyetarakan diri dengan laki-laki justru memperoleh jam terbang diluar rumah lebih lama dibanding kaum pria. Hal lainnya, persoalan tentang kekerasan terhadap perempuan justru setiap tahunnya tidak pernah berkurang. Tetapi semakin meningkat.

Setidaknya, Komnas Perempuan mencatat telah terjadi 2.500 kasus kekerasan terhadap perempuan pada periode Januari-Juli 2021. Angka itu melampaui catatan 2020 yang tercatat 2.400 kasus.

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, menyebut kasus kekerasan terhadap perempuan kembali mengalami peningkatan selama pandemi Covid-19. (CNN Indonesia, 19/08/2021)

Sedangkan YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) pada Agustus lalu juga mengatakan, sebanyak 239 perempuan menjadi korban kekerasan sepanjang tahun 2020-2021. Data tersebut dihimpun dari 17 wilayah dengan total 145 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari 239 korban, paling banyak berumur 19-29 tahun (Okezone.com, 16/11/2021).

Hadirnya berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan telah lahir bersama arus kebebasan. Kebebasan untuk menikmati setiap keputusan, berpendapat, serta berperilaku ini menjadi sesuatu yang terus diperjuangkan. Namun akhirnya belum juga mampu menghilangkan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.

Bayangkan saja, kurang lebih enam bulan kasus kasus yang tercatat bertambah 100 kasus. Hal ini tentu bukan angka yang sebenarnya. Karena yakin dan percaya bahwa diluar sana masih banyak kasus yang tidak tercatat oleh pihak berwajib. Apalagi ditengah pandemi Covid-19 seperti saat ini.

Berbagai hal yang jadi pemicu kekerasan terhadap perempuan kerap menjadi perbincangan. Seperti kurangnya penafkahan para kepala rumah tangga, tekanan kerja, perselingkuhan, dan masih banyak lagi. Hal ini semakin menggugah para pelopor untuk menyuarakan kesetaraan gender. Karena ini dianggap sebagai cara yang tepat untuk menghentikan kasus kekerasan terhadap perempuan.

Selain pergerakan kesetaraan gender, HAM juga hadir sebagai tameng untuk maju bersama gerakan kesetaraan gender dalam hal memperjuangkan kekerasan terhadap perempuan. Faktanya, HAM sendiri justru membuat perempuan terdorong untuk berperilaku tanpa batas. Dalam hal ini batasan yang dimaksudkan adalah aturan akidah.

Perempuan bekerja diluar rumah tanpa balutan hijab. Selain itu, perempuan juga masih bebas menentukan pilihan apakah menaati suami, atau bekerja diluar rumah. Akhirnya, ketika para perempuan memilih bekerja pengelolaan rumah tangga dan anak-anak jadi hal yang tergadaikan. Anak-anak banyak mencari perhatian diluar rumah, dan ini membuka peluang bagi para perempuan untuk mendapatkan kekerasan.

Begitu pula dengan status istri yang memilih bekerja tadi, kemudian pulang dengan beban kerja dari luar. Ini juga membuka peluang bagi para suami untuk mencari perhatian diluar rumah. Maka terjadilah perselingkuhan.

Inilah potret buram terhadap perempuan ketika kesetaraan gender dan HAM tadi berkolaborasi yang konon untuk mengangkat citra perempuan. Sebaliknya fakta di lapangan justru terjunnya perempuan dalam sektor ini telah melawan kodrat perempuan sebagai ummul warobatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga).

Pandangan Islam

Islam adalah agama yang bukan hanya sekedar pengatur ibadah ruhiyah. Islam, adalah agama sekaligus siyasih bagi umat. Kehadiran Islam ditengah-tengah manusia merupakan solusi yang membawa perubahan kemarin, esok dan yang akan datang.

Tak terlupakan pula perlindungan Islam terhadap perempuan. Islam yang diturunkan pertama kali dikalangan Arab ini justru telah mencetak kaum ibu yang luar biasa. Tengoklah sejarah pra-Islam. Perempuan diperlakukan layaknya barang dagangan. Bisa dipilih, diperjualbelikan, dan dinikmati tanpa ikatan.

Selain itu, mereka juga tidak memiliki nilai. Kehadiran anak perempuan sebelum adanya Islam menjadi hal yang sangat memalukan. Allah Swt berfirman:
وَاِذَا بُشِّرَ اَحَدُهُمْ بِالْاُنْثٰى ظَلَّ وَجْهُهٗ مُسْوَدًّا وَّهُوَ كَظِيْمٌۚ

“Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat marah.” (QS. An-Nahl[16]:58)

Inilah kehadiran perempuan sebelum adanya Islam. Namun sebaliknya, saat Islam hadir maka posisi perempuan menjadi sosok yang mulia. Karena perempuan memiliki posisi urgent dalam paradigma Islam. Perempuan menjadi sosok mulia tatkala turun ayat yang membuat dirinya setara dengan kaum pria tanpa dibedakan oleh status, warna kulit, kedudukan, dan usia. Akan tetapi mereka hanya dibedakan oleh ketakwaannya. Allah AZZA wajalla berfirman dalam QS. Al-Hujurat [49]: 13

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. ”

Dari ayat tersebut, sejatinya manusia haruslah menyadari bahwa baik pria maupun perempuan memiliki asal yang sama. Mereka memiliki kesetaraan dalam karakter kemanusiaan. Namun semua kesetaraan itu tidak harus sama dalam seluruh aspek kehidupan. Karena keduanya telah memiliki tupoksi masing-masing, dan ini tidak membuat salah satu maupun keduanya untuk dirugikan.

Jika perempuan yang berkedudukan sebagai ummul warobatul bait maka pria bertugas sebagai pencari nafkah. Sehingga perempuan tidak harus ikut pontang-panting untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan keluar rumah. Sebaliknya dengan adanya perempuan di dalam rumah, tidak pula merugikan dirinya dari segi pemerolehan pahala akhirat.

Alhasil semua pemaparan di atas tidak akan mungkin terwujud dalam sistem kapitalis saat ini. Terkecuali apabila manusia mau menerapkan kembali hukum Islam. Sehingga perempuan dan laki-laki akan dikembalikan kepada fitrahnya masing-masing.

Wallahu’alam bissawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 37

Comment here