Oleh : Ulfah Febriani (Aktivis Dakwah DIY)
wacana-edukasi.com, OPINI– Kasus perundungan (bullying) terhadap anak terus saja bermunculan. Pada 2020, KPAI mencatat ada 119 kasus perundungan terhadap anak. Jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun, yakni sekitar 30—60 kasus per tahun.
Berdasarkan data KPAI, pada 2022, terdapat 226 kasus kekerasan fisik, psikis, termasuk perundungan terhadap anak. Menurut data Programme for International Students Assessment (PISA), anak dan remaja di Indonesia mengalami intimidasi (15%), dikucilkan (19%), dihina (22%), diancam (14%), didorong sampai dipukul teman (18%), dan digosipkan kabar buruk (20%). Hal ini membuat Indonesia menduduki peringkat kelima kasus perundungan di Asia. Data diatas merupakan peringatan bagi kita. Kasus perundungan makin merebak.
Dalam sistem sekuler saat ini, korban dan pelaku perundungan (bullying) tidak lagi memandang usia. Bahkan, siswa SD bisa menjadi pelaku kejahatan perundungan di sekolah.
Seperti nahasnya kondisi MHD (9) yang tewas setelah dirundung kakak kelasnya. Siswa di salah satu SD Negeri di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat ini, meninggal setelah tiga hari kritis di rumah sakit. Sebelum meninggal, ia mengaku jika dikeroyok oleh kakak kelasnya di sekolah. (Kompas.com, 15/5/2023).
Sungguh miris melihat generasi saat ini. Perilaku sadis dan bengis menambah catatan merah kerusakan generasi.
Kasus perundungan hanyalah sebagian dampak penerapan sistem kehidupan sekuler yang makin menjauhkan generasi dari hakikat penciptaan manusia, yakni menjadi hamba Allah Taala yang taat dan terikat syariat. Banyak faktor yang memengaruhi maraknya kasus perundungan.
Pertama, kebijakan negara, yakni kurikulum yang tegak di atas nilai-nilai sekuler. Pernahkah kita berpikir lebih mendalam, begitu banyak sekolah, baik berbasis Islam atau umum dengan sistem yang dinilai baik, tetapi nyatanya belum cukup mampu menangkal dan mencegah perundungan?
Nyatanya, perundungan bisa terjadi di sekolah mana saja. Inilah konsekuensi yang harus kita tanggung ketika negara lebih memilih penerapan kurikulum dan sistem pendidikan berbasis akidah sekularisme. Daya rusak akidah ini sangat dahsyat. Lihatlah, betapa perilaku generasi kita yang makin ke sini makin jauh dari karakter umat terbaik. Perundungan, kekerasan seksual, narkoba, perzinaan, tawuran, bunuh diri, pembunuhan, dan sebagainya, kerap mengintai generasi kita.
Kedua, pola asuh pendidikan sekuler masih mewarnai pendidikan di keluarga. Kebebasan berekspresi dan berperilaku kerap menjadi faktor pemicu anak-anak mudah mengakses tontonan berbau kekerasan dan konten porno. Beberapa kasus perundungan pada siswa SD tersinyalir karena pelaku mengakses konten pornografi dan kekerasan lewat ponsel. Faktor kebebasan ini pula yang menjadi model bagi orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Anak-anak mendapat banyak kemudahan dalam teknologi, tidak ada pengawasan, jadilah mereka mencontoh apa pun yang terakses melalui dunia digital dan media sosial.
Begitu pula, pola asuh mendidik ala sekuler mengakibatkan anak tidak kental dengan suasana keimanan di rumah. Budaya liberal seperti kebolehan pacaran, perilaku permisif (serba boleh), tidak ada sanksi ketika berbuat salah atau menyalahi Islam, dan pembelaan buta terhadap kesalahan yang anak perbuat, terkadang juga menjadi bibit perilaku perundungan.
Ketiga, kehidupan masyarakat yang individualistis makin mengikis kepedulian antarsesama. Masyarakat cenderung apatis ketika terjadi kriminalitas atau perbuatan yang mengarah ke perundungan jika yang dirundung bukan anak mereka. Masyarakat tumbuh menjadi manusia yang mudah kalap, tersulut emosi dan kemarahannya, lalu saling membalas perilaku dengan kekerasan. Terkadang, perilaku mencela dan menghina secara verbal masih dianggap wajar dan sekadar perilaku normal nakalnya anak-anak. Jika model masyarakat seperti ini terus berjalan, anak-anak kita juga yang akan terpengaruh dengan karakter masyarakat tempat mereka tumbuh dan berkembang.
Sistem sekuler telah gagal membentuk kepribadian mulia dan beradab. Generasi hari ini menjadi generasi yang miskin nurani, nirempati, suul adab, kekanak-kanakan, dan kurang memiliki rasa tanggung jawab.
Sungguh, sistem pendidikan sekuler gagal menciptakan lingkungan ramah anak. Oleh karenanya, generasi ini akan selamat dari kerusakan hanya dengan tiga cara. Pertama, menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Porsi Islam dalam pendidikan harus banyak dan berpengaruh, bukan sebagai pelengkap materi ajar semata. Sistem ini tidak akan berjalan tanpa sistem politik ekonomi yang berdasarkan syariat Islam. Dengan politik ekonomi Islam, negara dapat membangun fasilitas dan sarana memadai yang dapat menunjang kegiatan KBM di sekolah.
Kedua, kontrol dan pengawasan masyarakat dengan dakwah amar nahi mungkar. Jika peran masyarakat berfungsi optimal, tidak akan ada kemaksiatan atau pelanggaran yang ditoleransi karena masyarakat membiasakan diri untuk peduli dan saling menasihati. Ketiga, fungsi negara sebagai penjaga dan pelindung generasi dari berbagai kerusakan harus menyeluruh. Negara harus melarang segala hal yang merusak, seperti tontonan berbau sekuler dan liberal, media porno, dan kemaksiatan lainnya. Negara akan memberlakukan sanksi berdasarkan syariat Islam. Negara adalah penyelenggara pendidikan. Tidak boleh ada kepentingan bisnis dalam menyelenggarakan sistem pendidikan. Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan gratis dan berkualitas.
Wallahu A’lam Bish-Shawwab
Views: 28
Comment here