Oleh. Ira Rahmatia
Wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA-– Tagar “Peringatan Darurat Indonesia”, menjadi viral pada Rabu, 21/8/2024 disebabkan adanya revisi UU Pilkada setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas usia calon kepala daerah. Ini bermula saat Baleg DPR mengakali putusan MK yang melongggarkan ambang batas (trheshold) pencalonan kepala daerah untuk semua partai politik peserta pemilu. Baleg mengakalinya dengan membuat pelonggaran trheshold itu hanya berlaku untuk partai yang tak punya kursi DPRD. Untuk usia calon kepala daerah, Baleg tetap berpegang pada putusan Mahkamah Agung, bahwa usia dihitung saat pelantikan, bukan saat pencalonan sebagaimana ditetapkan MK.
Sehingga dengan ini, masyarakat menilai bahwa langkah DPR yang berupaya merevisi UU Pilkada untuk melawan putusan MK di anggap hanya menguntungkan Presiden Jokowi dan kelompoknya (nasional.kompas.com, 22/8/2024).
Namun, di tengah aksi masyarakat melakukan demo, DPR RI batal mengesahkan revisi Undang-Undang Pilkada. Presiden mengatakan pemerintah akan mengikuti putusan MK (news.detik.com, 23/4/2024).
Demo! Rakyat Kian Tak Percaya Demokrasi
Viralnya tagar “Peringatan Darurat Indonesia” berwarna biru tua dengan sound sirine menandakan rakyat sudah pada titik jenuh degan segala drama politik yang terjadi pada rezim saat ini. Bagaimana tidak, bagi-bagi kursi kekuasan hingga politik dinasti tak henti-hentinya dipertontonkan secara vulgar. Selama rezim ini berkuasa, otak atik perubahan pejabat negeri terus di gilir, seolah bagi-bagi kursi berbatas waktu. Perubahan pejabat dari waktu ke waktu, dinilai masyarakat tak berpengaruh apa-apa terhadap kesejahteraan rakyat.
Di balik drama politik yang terus bergulir, apalagi dengan politik dinasti yang kian terlihat terang, rakyat masih berpikir benar dan dapat membuat perubahan. Sejatinya dalam demokrasi, suara masyarakat memang punya andil dalam perubahan kebijakan. Kapan masyarakat diam saja, tak menunjukkan reaksi apa-apa ini menunjukkan jalan terang bagi penguasa untuk terus membuat kebijakan zalim. Yah, walaupun seringkali aspirasi rakyat juga diabaikan.
Bobroknya Demokrasi Buatan Manusia
Demokrasi merupakan sistem buatan manusia yang asasnya manfaat. Sistem ini di impor dari barat. Terlahir dari akidah sekulerisme yang memisahkan aturan agama dari kehidupan. Karena asasnya manfaat dan aturan agama tak punya andil dalam merumuskan kebijakan, maka tentu tak lagi mengindahkan halal dan haram dalam keputusannya.
Lebih parahnya lagi, Pemilu dalam sistem demokrasi membutuhkan dana besar, dimana tentu para pasangan calon akan sangat berpeluang mendapatkan sponsor dana dari para kapital dan kelompok pengusungnya, yang tentu tak gratis. Dari sinilah juga para pejabat atau wakil rakyat yang katanya ada untuk rakyat malah seringkali mengkhianati rakyat, peraturan-peraturan yang dibuat tidaklah pro pada rakyat dan malah menguntungkan para oligarki. Contohnya ialah lahirnya, UU Minerba, UU migas, UU Cipta kerja, dll.
Back to Islam Kaffah!
Untuk itulah, kita tentu harus kembali pada sistem buatan pencipta yang sesuai dengan fitrah manusia, sehingga dapat menciptakan keadilan dan fokus pada kesejahteraan rakyat. Dalam Islam, para penguasa adalah pelayan rakyat. Mereka bertugas sebagai wakil rakyat untuk menjalankan syariat Islam dalam kehidupan. Karena sesungguhnya, Allah Swt. lah pencipta manusia, Dia pun lah yang berhak untuk mengatur hidup manusia dengan hukumNya. Allah berfirman yang artinya:
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Qs. Al-Ma’idah:50)
Dalam sebuah hadis juga disebutkan, Rasululullah berdoa: “Ya Allah, barangsiapa yang diberi tanggungjawab untuk menangani urusan umatku, lalu ia mempersulit mereka, maka persulitlah hidupnya. Dan barang siapa yang diberi tanggungjawab mengurus umatku, lalu ia memudahkn urusan mereka, maka mudahkanlah hidupnya”. (HR. Muslim)
Dalam Islam, kedaulatan ada di tangan syara’. Kedaulatan bukan di tangan manusia sebagaimana simbol demokrasi yang menyatakan “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” yang ternyata kian hari makin bergeser semata-mata untuk kepentingan oligarki.
Kepemimpinan dalam Islam adalah amanah, yang akan dimintai pertanggungjawaban di dunia dan akhirat. Penguasanya akan berfokus pada kesejahteraan rakyat. Salah satu contoh penerapan Islam yang dapat menuntaskan kemiskan adalah pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Azis. Dimana, tidak ada satupun orang dari rakyatnya yang berhak menerima zakat.
Wallahu a’lam bisshowab
Views: 11
Comment here