Oleh. Rufaida Aslamiy
wacana-edukasi.com– RA Kartini, terlahir di Kota Jepara, Jawa Tengah pada 21 April 1879. Kemudian berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Kepres RI) No.108 Tahun 1964 pada 2 Mei 1964, telah ditetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional dan hari kelahirannya ditetapkan sebagai Hari Kartini. Ini dianggap sebagai bentuk pengingat dan penghargaan atas jasa-jasanya di masa lalu dalam mewujudkan kesetaraan gender, juga bentuk perjuangan emansipasi wanita Indonesia. Makanya, oleh para pegiat gender, hari lahirnya sering dijadikan moment untuk menjual ide mereka ke tengah masyarakat biar tambah laris seperti kacang goreng.
Perjuangan yang Dibelokkan
Bangsa Indonesia pada dasarnya telah menjunjung tinggi dan menghormati hak-hak perempuan sejak dahulu, bahkan sebelum era RA Kartini. Dalam hal ini, Belanda sebagai representasi barat lebih menonjolkan Kartini dengan menerbitkan surat-surat Kartini tujuh tahun setelah wafatnya. Kepentingannya tiada lain adalah untuk mendukung ide feminisme. Mereka hanya memilih surat tertentu untuk dipublikasikan. Sementara adanya kisah lain yang berisi Kartini belajar mengaji kepada seorang Kiai bernama Sholeh Darat dan berkeinginan mengenal Islam lebih dalam malah ditutupi Belanda.
Keberadaan objektifitas dalam mengkaji sejarah adalah syarat utama. Sejarah dapat disalahgunakan dan disetir sesuai kepentingan pihak-pihak tertentu. Terkadang bisa dihilangkan, atau malah ditambahi dalam penyusunannya. Tentunya ini bisa mengantarkan masyarakat kepada sebuah kesimpulan yang salah terkait kisah kehidupan tokoh.
Begitu juga dengan sejarah perjuangan Kartini. Selama ini justru dipahami perjuangan Kartini adalah semangat emansipasi sehingga menjadikan kaum wanita punya hak sama dan sejajar dengan kaum laki-laki. Bahkan ini pun telah bergeser kearah ide liberal, feminisme, dan gender, serta ide-ide yang bertentangan dengan fitrah seorang wanita dan menyimpang dari pemahaman Islam yang benar.
Pergolakan pemikiran Kartini ; Antara Dominasi Adat, Pengaruh Barat, dan juga Islam
Memang terasa sulit rasanya Kartini bertahan di lingkungan yang justru bertentangan dengan pemikirannya. Dia hidup dari kalangan ningrat memungkinkannya berteman dengan orang-orang kalangan Belanda dengan dominasi pemikiran baratnya, sementara lingkungannya tempat tinggal kuat memegang adat istiadat. Maka, Kartini kerap mencoba mencari jawaban terhadap pergolakan pemikiran yang dihadapinya. Jawaban itu justru Kartini dapatkan di tahun-tahun terakhir sebelum wafat., Kartini akhirnya menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang bergolak dalam pemikirannya. Ia mulai mencoba mendalami ajaran Islam yang dianutnya. Awal mulanya ajaran Islam tak mendapat tempat di hati Kartini. Hal ini disebabkan pengalaman buruk yang dialaminya yaitu saat bertemu seorang Ustazah, tapi justru menolak menjelaskan makna ayat yang diajarkan.
Dengan posisinya sebagai kaum ningrat, maka tidak menafikkan untuk dirinya bisa bersahabat dengan warga keturunan Belanda. Kartini sering berkirim surat kepada sahabatnya menceritakan bagaimana kegalauannya yang tidak bisa memahami isi Al-Qur’an karena tidak faham bahasa arab.” … Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tak mengerti, tidak boleh memahami? Al-Quran terlalu suci, tak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apapun. Disini tak ada orang yang ngerti bahasa Arab. Di sini orang diajar baca Quran tapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya. Sama halnya seperti engkau ajarkan aku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tapi tidak satu patah katapun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. nggak jadi orang solehpun tidak apa2, asalkan jadi orang baik hati, bukankah begitu Stella ?” (Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899).
Tentu saja pemikiran Kartini seperti ini tidak lepas dari kebijakan Belanda kala itu yang memang melarang orang pribumi untuk menerjemahkan Al-Qur’an. Kondisi yang terbalik justru didapatkannya setelah pertemuannya dengan KH. Mohammad Sholeh bin Umar. Dia adalah seorang ulama besar dari Darat, kota Semarang. Hal inilah yang lantas telah merubah pandangannya selama ini. Kartini sangat tertarik pada terjemahan Surat Al Fatihah yang dijelaskan sang ulama. Bahkan Kartini mendesak salah satu pamannya untuk menemaninya bertemu sang Kiyai. Inllah petikan dialog antara Kartini dan Kiyai Sholeh Darat yang ditulis Nyonya Fadhila Sholeh (salah seorang cucu) dari Kyai Sholeh Darat.
“Kiyai, perkenankanlah saya bertanya, bagaimana hukumnya bila seorang yang berilmu, tapi menyembunyikan ilmunya?” Tertegun Kiyai Sholeh Darat mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh Darat balik bertanya. “Kiyai, selama hidupku baru kali ini aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan main rasa syukur hatiku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia? ”
Setelah pertemuannya dengan Kartini, Kiyai Sholeh Darat tergugah untuk menerjemahkan Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bahkan tepat pada hari pernikahan Kartini, sang Kiyai menghadiahkan terjemahan Al-Quran (Faizhur Rohman Fit Tafsiril Quran), jilid I yang terdiri dari 13 juz, mulai dari surat Al-Fatihah hingga surat Ibrahim.
Dari sini, mulailah Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sebenarnya. Tapi sayang tidak lama berselang, sang Kiyai meninggal dunia. Sehingga, Al-Qur’an belum selesai diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa oleh Kiyai Darat.
Seandainya Kartini sempat mempelajari keseluruhan ajaran Islam (Al-Quran) sampai tamat, maka tidak mustahil jika ia akan mampu menerapkan semua kandungan ajarannya. Kartini dikenal sosok pemberani walaupun berbeda dengan tradisi adatnya yang sudah berurat berakar dalam lingkungannya. Tentu, Kartini juga akan memiliki modal ketaatan tinggi terhadap ajaran Islam. Contoh, pada awal mulanya dia termasuk sosok paling keras menentang poligami. Tetapi, setelah mengenal Islam, ia mau menerimanya.
Meneladani Kartini
Perjuangan Kartini oleh kaum wanita sekarang ini nampaknya telah melampaui batas. Sebagaimana petikan surat Kartini ini yang menegaskan kesalahan penerjemahan kaum wanita Indonesia selama ini.
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama” (Surat Kartini kepada Prof. Anton Dan Nyonya, 4 Oktober 1902).
Jika kita cermati, memang tidak ada sepatah katapun dalam surat tersebut yang mengajarkan wanita mengejar persamaan hak, kewajiban, kedudukan dan peran sejajar dengan kaum pria. Kartini memahami bahwa kebangkitan seseorang ditandai oleh kebangkitan cara berfikirnya. Kartini mengupayakan pengajaran dan pendidikan bagi wanita semata-mata demi kebangkitan berfikir kaumnya agar lebih cakap menjalankan kewajibannya sebagai seorang wanita.
Maka sebuah kesalahan besar jika atas nama perjuangan Kartini, para wanita sekarang justru terjebak pada nilai-nilai liberalisasi dan ide barat yang ditentang sang pahlawan. Perjuangan yang dilakukan oleh para feminis, pembela hak-hak wanita sangat jauh dari ruh perjuangan Kartini. Kartini tidak menuntut persamaan hak dalam segala bidang, Kartini hanya menuntut agar kaum wanita diberi hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak agar ia mampu mengemban amanahnya sebagai seorang Ibu, tidak lebih dari itu.
Kartini telah bertekad untuk menjadi seorang muslimah yang taat dengan memenuhi seruan Surat Al-Baqarah; 193. Minazh-Zhulumaati ilan Nuur yang berarti dari gelap kepada cahaya telah mendoronganya untuk merubah diri dari pemikiran yang salah kepada ajaran lurus (Islam) yang sudah Allah tetapkan. Tak berlebihan jika kita menyimpulkan bahwa tujuan Kartini adalah mengajak setiap wanita untuk menjadi muslimah yang memegang teguh ajaran agamanya.
“…, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yg indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yg sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban ?” (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902).
Inilah sebuah fakta yang seharusnya diajarkan pada generasi kita saat ini, bahwa spirit perjuangan Kartini adalah spirit perjuangan menerapkan ajaran Islam, dimana Al-Qur’an adalah sebagai pedomannya bukan mengejar ide kesetaraan gender yang dieluk-elukkan para tokoh feminis selama ini. Semoga generasi muda sekarang bisa lebih bijak mendudukan sejarah, sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh pemahaman barat dan hanya menjadikan Islam sebagai pedomannya. Wallohu’alam
Views: 199
Comment here