Gema seruan benci produk luar negeri meredup. Pasalnya, pemerintah memiliki rencana yang bersebrangan dengan seruannya, yakni hendak mengimpor beras sebanyak 1 juta-1,5 juta ton. Wacana ini mencuat saat petani bersiap menyambut panen raya pada bulan Maret hingga Mei 2021.
Jika wacana pemerintah ini dilakukan, tentu saja akan sangat melukai hati petani. Para petani harus menerima kenyataan, harga gabah akan jauh lebih murah. Pasalnya, pasokan beras impor akan memenuhi dan membanjiri pasar domestik (10/3).
Selain beras, wacana lainnya terkait impor garam(18/03). Tentu saja, hal ini memicu petani garam kusut masai. Negeri bahari yang memiliki banyak wilayah pesisir punya potensi mengasilkan garam yang memadai dan mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Baik beras ataupun garam bukanlah barang langka di negeri agraris dan bahari ini. Panceklik tidak menyapa sawah dan tambak garam meski saat ini masih pandemi. Sayangnya, pemerintah justru memiliki kebijakan yang akan melukai hati. Pasalnya, keran impor demi kepentingan segelintir korporasi.
Pandemi yang memberi dampak buruk bagi ekonomi negeri dijadikan alasan kuat. Sementara masyarakat yang juga diuji dengan pandemi masih kesulitan mencari nafkah di tengah intaian wabah. Masyarakat desa ataupun kota sama-sama mengalami dampak pandemi. Bagaimana tidak terluka jika beras dan garam yang akan dipanen harganya anjlok karena keran impor yang terbuka.
Seharusnya, gema seruan benci produk asing yang digaungkan menjadi refleksi pada setiap perbuatan dalam mengambil kebijakan. Pemerintah memiliki peran penting untuk memperketat keran impor. Bahkan, jika perlu pemerintah harus mengoptimalkan potensi alam dan sumber daya manusia di dalam negeri. Harapannya, ketersediaan bahan komoditas pokok dan yang lain bisa terpenuhi secara mandiri.
Afiyah Rasyad
Paiton, Jawa Timur
Views: 0
Comment here