Oleh : Renata Dwi Aninda (Mahasiswi D.I Yogyakarta)
wacana-edukasi.com– Isu kekerasan seksual merupakan isu yang hingga kini tak kunjung surut beritanya di Indonesia. Alih-alih berkurang, rupanya angka kekerasan seksual terus meningkat. Komnas perempuan melaporkan bahwa ada lebih dari 2.500 kasus kekerasan seksual yang tercatat di Indonesia dan jumlah pelapor mengalami peningkatan selama masa pandemi. Jumlah pelapor hingga bulan Oktober 2021 mencapai angka 4.600 orang dengan sebagian besar kekerasan terjadi di ranah personal dan sebagian di ranah digital.
Sungguh fantastis apabila kasus kekerasan seksual ini dilihat dari segi angka. Mayoritas korban yang melaporkan aduan kasus kekerasan seksual ini ada pada rentang usia 13 – 24 tahun bahkan 9-24 tahun dengan latar belakang alasan yang berbeda-beda. Kasus kekerasan seksual ini banyak terjadi di lingkungan masyarakat seperti rumah tangga, sekolah, kampus, dan lingkungan publik. Hal ini tentunya mendorong aparat pemerintah untuk segera bergerak mencarikan solusi dan kebijakan yang tepat untuk menanggulangi masalah ini.
Menyorot banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah kampus, belum lama ini pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang dikeluarkan dalam bentuk Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual pada 31 Agustus 2021 silam.
Menteri pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi Nadiem Makarim mengatakan bahwa aruran ini lah yang akan menjadi pegangan bagi korban kekerasan seksual yang selama ini tidak memiliki aturan pegangan yang kuat untuk menangani masalah kekerasan seksual baik secara langsung maupun yang terjadi secara online karena tidak diatur KUHP.
Namun dengan dikeluarkannya peraturan baru semacam ini rupanya banyak poin yang harus dipertanyakan karena dianggap sebagai kalimat-kalimat yang multitafsir sehingga masyarakat bebas untuk memaknai sesuai dengan apa yang dilogikakan. Contoh kalimat yang multitafsir ialah ada pada pasal 5 ayat 2 yang memuat kalimat “tanpa persetujuan korban”.
Hal demikian jika diantitesiskan maka akan bermakna bahwa segala bentuk tindakan kekerasan seksual tidak lagi dapat disebut sebagai kekerasan seksual jika dalam hal tersebut mendapat persetujuan korban tanpa melihat ada tidaknya ancaman atau tekanan dibalik persetujuan korban.
Banyak pihak yang pro kontra terhadap dikeluarkannya peraturan baru ini. Sebagian yang pro menyetujui guna dapat diadilinya para pelaku kekerasan seksual di Indonesia khususnya yang ada di lingkungan pendidikan. Hal ini tentu saja menjadi angin segar bagi kalangan pelajar, mahasiswa, dan seluruh tenaga pendidik di Indonesia agar dapat merasa aman menjalankan aktivitas.
Lain halnya dengan pihak yang pro, pihak yang kontra justru melihat lebih jauh dampak dan akibat yang mungkin saja ditimbulkan dari diterapkan aturan kemendikbud ristek ini. Pihak yang kontra justru menilai bahwa peraturan ini perlu direvisi dan dilakukan penyempurnaan karena peraturan yang multitafsir ini bisa dijadikan landasan yang kuat untuk dihalalkannya perbuatan zina asalkan dengan persetujuan sebagaimana yang tercantum di poin-poin Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan keberadaan masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Kebebasan pergaulan antara pria wanita atau penyimpangan-penyimpangan seksual yang terjadi di masyarakat merupakan buah dari sekularisasi yaitu pemisahan antara agama dan kehidupan. Agama dianggap sebagai ranah pribadi yang syariatnya tidak boleh mengganggu kebebasan masyarakat luas. Menghalalkan yang haram dan mencemooh yang halal merupakan hal yang biasa dilakukan oleh para kaum kapitalis sekuler yang saat ini jumlahnya mendominasi dunia.
Segala hal yang dilakukan hanya memandang manfaat dan kebahagiaan dunia yang sifatnya sesaat tanpa memperdulikan hak dan kewajibannya sebagai manusia baik kepada Tuhan mapun kepada sesama manusia. Bukan hal yang mengherankan jika kaum kapitalis sekuler tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya karena standar kebahagiaannya hanya bertumpu pada manfaat belaka.
Islam memiliki aturan yang khas terkait peraturan kehidupan wanita dan pria, dimana keduanya tidak dicampuradukan kegiatannya sehingga keduanya dapat saling menjaga kehormatan dan harga dirinya sebagai manusia yang mulia. Islam juga sangat tegas dalam memberikan sanki terhadap pelanggar hukum syariat, ini lah yang menjadikan efek jera terhadap pelaku dan pelajaran yang sangat penting bagi masyarakat agar tak melakukan hal serupa.
Tidak ada hukum yang tumpang tindih dan multitafsir dalam hal ini, karena hukum jelas langsung berasal dari Sang Pencipta manusia dan seluruh alam. Penerapan hukum islam secara sempurna dengan menegakkan khilafah akan mewujudkan terciptanya suasana yang kondusif dan penuh dengan suasana takwa. Masyarakat dan khilafah akan terus saling menjaga untuk terlaksananya syariat di tengah masyarakat hingga terjagalah seluruh jiwa, raga, harta, martabat, dan akal manusia sehingga Allah Swt., menjadi ridho dan terus melimpahkan karunia-Nya pada seluruh negeri yang menerapkan aturan-Nya.
Wallahu A’lam Bish-Shawwab
Views: 34
Comment here