Oleh: Putri Dwi Kasih Anggraini
wacana-edukasi.com– Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud-Ristek), Nadiem Makarim mengungkapkan bahwa kekerasan seksual di Perguruan Tinggi saat ini dalam kondisi darurat. Nadiem mengutip data Komnas Perempuan sepanjang 2015-2020 yang menunjukkan, dari keseluruhan pengaduan kekerasan seksual yang berasal dari lembaga pendidikan, sebanyak 27 persen kasus di perguruan tinggi (nasional.tempo.co, 13/11/2021)
Kekerasan seksual sudah terjadi di hampir semua kampus. Dan itu menjadi alasan pemerintah mengambil posisi untuk melindungi mahasiswa, dosen dan tenaga pendidik dari kekerasan seksual. Langkah untuk mengatasi pandemi kekerasan seksual itu tidak lain dengan mengeluarkan Permendikbud-Ristek No. 30 Tahun 2021 tentang PPKS (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual) di Perguruan Tinggi. Pemerintah dan semua masyarakat harus bisa memberi kenyamanan dan menjamin rasa aman di lingkungan pendidikan tinggi (mediaindonesia.com, 12/11/21)
Sayangnya, upaya Mendikbud untuk mengatasi kekerasan seksual melalui Permendikbud PPKS ini menuai kontroversi, terutama pada isi pasal 5 dengan penggunaan frasa ‘tanpa persetujuan korban’. Polemik dari frasa ‘sexual consent’ dinilai berimplikasi legalitas perzinahan ataupun seks bebas.
Tanggapan dari Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ahmad Taufan Damanik menilai, Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 sangat dibutuhkan terlepas dari kontroversinya. Menurut dia, beleid itu merupakan salah satu bentuk kehadiran negara untuk bertanggung jawab memberikan perlindungan dan pertolongan kepada korban kekerasan seksual (nasional.kompas.com. 14/11/2021) Hanya saja benarkah demikian?
Dari polemik tersebut, Nadiem Makarim pun mengambil sikap tegas dengan mengancam akan menurunkan akreditasi bagi kampus yang menolak untuk menerapkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021. Bukan hanya itu, perguruan tinggi yang tidak melakukan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dikenai sanksi administratif penghentian bantuan keuangan atau bantuan sarana dan prasarana untuk perguruan tinggi (liputan6.com, 15/11/21)
Jika semua mata diajak melihat kasus kekerasan seksual ibarat iceberg phenomenon yang tengah dihadapi negeri ini bahkan dunia. Bagaimana dengan iceberg phenomenon pada kasus perzinahan, seks bebas atau penyimpangan perilaku seks. Begitupun perkara lainnya yang mengundang keresahan mulai dari masalah kesehatan, ekonomi hingga politik dan pemerintahan sehingga menggerakkan hati dan berupaya segera untuk melakukan perubahan yang benar dan mendasar.
Permendikbud PPKS sebenarnya problem lama dengan kemasan baru dari upaya para pegiat kesetaraan gender yang sebelumnya juga menginginkan untuk meloloskan RUU PKS yang juga menuai polemik. Pro dan kontra permendikbud PPKS didasarkan atas perbedaan cara pandang dari masing-masing pihak. Hanya saja sebagai seorang muslim wajib untuk menjadikan aqidah Islam sebagai cara pandang dalam menyelesaikan persoalan. Tak cukup disitu, seorang muslim dituntut untuk kritis dalam mengupas setiap persoalan dengan ketajaman analisa secara mendasar dan menyeluruh menggunakan pisau politik Islam sehingga dapat menemukan titik persoalan dan bahaya yang tersamar namun fatal akibatnya bagi kehidupan masyarakat.
Kekerasan seksual terjadi akibat penerapan sistem sekulerisme liberal dalam kehidupan saat ini. Sistem rusak ini menuntun manusia untuk tidak taat kepada Allah SWT dan tidak menumbuhkan sikap muroqobah yakni sikap seorang hamba yang senantiasa merasa diawasi oleh Allah SWT. Bahaya dari sekulerisme ini akan menjadi pijakan seseorang dalam berpikir, berbuat dan mengeluarkan hukum yang menuai polemik berimbas pada kerusakan. Wajar saja, jika tumbuh subur sex appeal pada individu, maraknya konten pornografi dan pornoaksi sehingga mudah membuka keran untuk terjadinya kekerasan seksual ataupun perzinahan.
Selain itu, mencermati alasan lahirnya Permendikbud PPKS, diharapkan dapat memberi perlindungan dan pertolongan kepada korban kekerasan seksual. Namun justru dibalik terbitnya Permendikbud PPKS akan semakin mudahnya individu melakukan perzinahan atau seks bebas di kampus atau pun di masyarakat pada umumnya.
Misal ketika terjalin hubungan seks pada mahasiswa yang berpacaran didasari adanya sexual consent atau suka sama suka, kemudian terjadi kehamilan pada pihak perempuan namun pihak laki-laki tidak bertanggung jawab maka si perempuan dianggap sebagai korban dari kekerasan seksual. Dengan adanya permendikbud PPKS ini, maka perempuan tersebut dapat tertolong. Ia tidak perlu lagi merasa takut atau malu untuk melaporkan ke pihak kampus atau pihak yang berwenang.
Begitupun kampus, apa yang dilakukan mahasiswanya tersebut tidak lagi dianggap sebagai aib yang dapat menurunkan reputasi kampus. Mahasiswa lainnya dan masyarakat secara umum juga diarahkan untuk tidak mencemooh atau menstigma negatif atas perbuatan mahasiswa tersebut sehingga dapat mengganggu psikisnya.
Jika demikian, ada upaya membiarkan perbuatan menyimpang (perzinahan) tersebut yang lambat laun akan dianggap biasa di masyarakat. Akhirnya semakin mudahnya generasi untuk melakukan perzinahan atau seks bebas. Toh, jika terjadi masalah dari perbuatannya tersebut, pihak yang merasa sebagai korban dengan mudah untuk meminta perlindungan sesuai regulasi yang berlaku. Sementara perbuatan zina atas ‘sexual consent’ dari dua pihak tidak menjadi pembahasan. Mengapa? karena perkara seksual menyangkut HAM yang diberikan kebebasan selama ada ‘sexual consent’ atau tidak ada unsur paksaan. Sudah jelas akan terlihat bahaya terselubung dari permendikbud PPKS yakni liberalisasi seksual. Na’udzubillah min dzalik.
Islam sebagai agama dan sistem hidup yang sempurna telah menyiapkan solusi tuntas dalam mengatur sistem pergaulan laki-laki dan perempuan. Pandangan Islam mengenai hubungan antara laki-laki dan perempuan difokuskan hanya pada tujuan penciptaan naluri itu sendiri yakni melestarikan keturunan manusia, bukan pandangan yang bersifat seksual semata sebagaimana orang-orang Barat penganut ideologi kapitalis sekulerisme. Maka Islam mencegah segala hal yang dapat membangkitkan nafsu seksual dalam kehidupan umum dan membatasi hubungan seksual hanya pada ikatan pernikahan, seperti adanya larangan ber khalwat (berduaan dengan yang bukan mahram), larangan ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan), wajibnya menundukkan pandangan dan menutup aurat, serta menjauhkan segala hal fakta-fakta maupun pikiran-pikiran porno yang membangkitkan naluri seksual.
Selain tindakan preventif, Islam juga telah memberi sanksi yang tegas untuk memberi efek jera bagi pelaku yang melakukan kekerasan seksual ataupun perzinahan dan perilaku seksual yang menyimpang. Sanksi bagi pelaku pemerkosa jika terbukti melakukan pemerkosaan akan dijatuhi hukuman sebagaimana pezina, apabila ia belum menikah (ghairu muhshan) maka dicambuk 100 kali dan jika ia telah menikah (muhshan) maka ia dirajam.
Terakhir, bagaimana sikap kita?
Sebagai umat yang diberi gelar sebagai umat terbaik, tentu saja wajib menolak tindakan kekerasan seksual. Begitupun juga menolak Permendikbud PPKS yang menjadi jalan liberalisasi seksual. Seandainya jika Permendikbud tersebut dicabut, kita tidak mencukupkan diri hingga perlu melakukan upaya bersama mewujudkan perubahan secara mendasar dan menyeluruh dengan mengakhiri penerapan sistem sekulerisme liberal sebagai biang kerok dari seluruh persoalan kehidupan manusia. Lalu menggantinya dengan penerapan sistem Islam yang mampu menutup pintu kemaksiatan dan kedzaliman serta membuka pintu rahmat bagi seluruh alam.
Wallahu’alam bishowab
Views: 24
Comment here