Oleh Ummu Syakira
Tidak dimungkiri saat ini salah satu keresahan emak-emak selain melonjaknya harga minyak goreng adalah fakta dan berita seputar pergaulan bebas maupun kekerasan seksual yang menimpa generasi. Bukan hanya keresahan emak-emak , masalah ini juga jadi keresahan di kalangan civitas akademika. Hasil survei Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) 2020 mencatat, 77% dosen mengakui tindak kekerasan seksual terjadi di lingkup PT (cnnindonesia, 11/11/2021). Pak Nadiem Makariem selaku yang berwenang dalam dunia pendidikan nasional kita saat ini menjawabnya dengan Permendikbud No.30/2021. Harapannya Permendikbud tersebut dapat menekan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus. Tapi benarkah akan manfaat seperti ini nantinya disahkannya Permendikbud ini? benarkah Permendikbud bisa membasmi kejahatan kekerasan seksual atau jangan-jangan malah bagai menyiram bensin ke dalam api?
Frasa ‘tanpa persetujuan’ dalam peraturan tersebut ditempatkan sebagai penentu suatu tindakan sebagai kekerasan seksual. Frasa itu tercantum sampai lima kali dalam Pasal 5 ayat (2); misalnya Poin (l) “menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban.” dalam pasal ini consent/persetujuan merupakan penentu suatu tindakan seksual dipandang sebagai ‘kekerasan seksual’atau bukan. Artinya, selama dilakukan dengan consen/ persetujuan, maka hubungan seksual itu dibenarkan dan hak warga negara.
Merujuk pada Permendikbud tersebut, terutama Pasal 5, maka bukan sekadar aktivitas seksual di luar nikah, tindakan aborsi juga dibolehkan selama atas persetujuan pihak masing-masing. Cara berpikir liberal ini diadopsi dari CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), yakni Kesepakatan Hak Asasi Internasional yang secara khusus mengatur hak-hak perempuan. Dalam CEDAW hubungan seks di luar nikah adalah hak warga negara. Negara dan agama tak berhak ikut campur di dalamnya.
Kedua: Permendikbud ini juga berpotensi memberikan perlindungan terhadap penyimpangan perilaku seksual seperti LGBT.
Dalam Pasal 5 ayat 2 bagian (a) tercantum bahwa kekerasan seksual meliputi “menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban.” Yang dimaksud “identitas gender” di sini bukan sekadar lelaki atau perempuan, tetapi bisa diartikan juga gay dan lesbian. Yang maknanya, siapa pun di lingkungan kampus tidak boleh mengkritisi apalagi sampai melarang kaum LGBT karena hal itu termasuk ujaran kebencian dan diskriminatif yang dikategorikan sebagai kekerasan seksual.
Satuan Tugas sebagai unit penanganan kekerasan seksual di kampus berpotensi hanya akan diisi oleh kaum feminis dan liberalis sebagai penafsir tunggal penanganan kekerasan seksual di kampus. Karena, Pasal 24 ayat (4) berbunyi, “Anggota panitia seleksi sebagaimana dimaksud ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. pernah mendampingi Korban Kekerasan Seksual;
b. pernah melakukan kajian tentang Kekerasan Seksual, gender, dan/atau disabilitas;
c. pernah mengikuti organisasi di dalam atau luar kampus yang fokusnya di isu Kekerasan Seksual, gender, dan/atau disabilitas; dan/atau
d. tidak pernah terbukti melakukan kekerasan termasuk Kekerasan Seksual…” Pasal ini berpotensi menutup pihak lain seperti kelompok-kelompok Islam yang punya pandangan yang berbeda secara diametral dengan kalangan feminis dan liberalis untuk menangani kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Dapat disimpulkan Permendikbud ini berbahaya karena tidak hanya berpotensi melegalkan freesex, tapi juga dapat melegalkan penyimpangan seksual. Maka wajar jika permendikbud ini menimbulkan penolakan dari berbagai kalangan termasuk tokoh tokoh umat di MUI.
Legalisasi zina bukanlah terjadi dalam sekejap. Pembenaran filosofi, gerakan massa, dan legalitas payung hukum adalah 3 langkah menuju legalisasi zina. Masih ingat kasus milkul yamin di surat almukminun ayat 6? Abdul Aziz, doktor dari UIN Yogyakarta, mengatakan disertasinya soal hubungan intim di luar nikah bisa digunakan untuk melawan kriminalisasi zina (Tempo.co.id).
Dikutip dari Tempo.co.id Abdul Aziz menjelaskan tentang Hubungan Intim di luar nikah tidak melanggar hukum Islam sesuai tafsir Muhammad Syahrur. Dalam Al-Quran, kata dia, tak ada definisi zina dan hanya disebut larangan berzina. Definisi zina berasal dari para ulama yang kemudian dikodifikasikan dalam fiqh atau tradisi hukum Islam.Abdul Aziz juga menjelaskan disertasinya muncul dari kegelisahan dan keprihatinannya terhadap beragam kriminalisasi hubungan intim nonmarital konsensual. Yaitu, hubungan seksual di luar pernikahan yang dilandasi persetujuan atau kesepakatan.
Inilah bentuk pembenaran freesex secara filosofi. Lalu bagaimana dengan gerakan massa? Ormas- ormas feminis turun ke jalan dala rangka mendukung RUUPKS yang isinya senada dengan desertasi Abdul Aziz tersebut. Tahap ketiga menuju legalisasi zina adalah dengan Permendikbud no.30/ 2021 tersebut.
Astagfirullah tidakkah ujian bertubi-tubi yang menimpa umat ini membuat sadar bahwa sudah saatnya kita bertaubat dari dosa-dosa kita termasuk dosa freesex? Dosa baik yang melakukannya, mendiamkannya apalagi naudzubillah sampai dosa memfasilitasinya dengan payung hukum?
إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِيْ قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللّٰهِ .
“Jika zina dan riba sudah menyebar di suatu kampung maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka sendiri” (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani).
Lantas bagaimana cara menyelesaikan masalah kejahatan seperti pelecehan seksual yang meresahkan emak-emak maupun segenap civitas akademika? Perlu dipahami bahwa maraknya pelecehan seksual bukan hanya semata-mata kesalahan individu saja, tapi ini kesalahan sistemik juga, dikarenakan sekularisme dan liberalisme yang diterapkan di negeri ini.
Penerapan paham sekularisme ini menyebabkan aturan agama terpisah dari kehidupan, sehingga negeri yang mayoritasnya muslim ini tidak menjadikan akidah islam sebagai landasan hukum kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sebagai contoh negara memfasilitasi rakyat dengan ibadah ritual, seperti sholat, zakat, puasa, dan haji tetapi abaikan dengan aturan islam lainnya yang harus diterapkan dalam negara, seperti salah satunya tidak menerapkan sanksi pidana sesuai syariah. Negara yang dikelola dengan konsep sekularisme ini mengakibatkan kebijakan dari hulu (moral hazard) sampai hilir (pidana) menjadi liberal.
Penerapan syariat Islam diantaranya, melalui keluarga sebagai institusi kecil pelaksana hukum syariah. Orang tua perlu memberikan pemahaman syariah tentang pergaulan anak laki-laki dan perempuan. Sehingga orang tua harus memahamkan kepada anaknya agar hati-hati dengan laki-laki yang asing baginya, sejak usia dini anak dididik perintah ghadul bashor (menundukan pandangan bagi laki-laki), larangan tabarruj (berhias berlebihan) bagi perempuan, perintah kerudung dan jilbab bagi muslimah, larangan ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan), larangan khalwat (berdua-duan dengan lawan jenis tanpa mahrom), tidak membiarkan perempuan safar sendirian, larangan pacaran bagi anak-anaknya, pemisahan tempat tidur anak, larangan tidur satu selimut, pemahaman aurat perempuan dan laki-laki, izin memasuki kamar orangtua.
Kemudian masyarakat. Aktivitas amar ma’ruf dari masyarakat akan otomatis muncul dengan pensuasaan yang Islami di segenap lini kehidupan. Dengan aktivitas amar makruf ini kehidupan masyarakat terhindar dari fitnah. Tentunya masyarakat yang terbentuk juga sudah terdidik di rumah dan sekolah dengan konsep-konsep pergaulan Islam seperti batasan aurat laki-laki dan perempuan, konsep khalwat-ikhtilat-tabarruj sehingga masyarakat menjadi penyangga pula tegaknya pergaulan islami diantara mereka dan yang terdepan menolak kemaksiatan seperti perzinaan.
Terakhir Negara. Negara harus mampu menegakkan aturan pergaulan yang islami dan memberikan sanksi tegas bagi yang melanggarnya. Sehingga negara perlu mendefinisikan dengan tegas apa itu kejahatan seksual. Islam memiliki penjabaran yang jelas apa saja yang disebut kejahatan seksual. Yakni segala jenis perilaku seksual yang bertentangan dengan syariat Islam. Ini mencakup, pertama, segala hal yang berkaitan dengan hubungan seks di luar pernikahan yang sah.
Hendaknya negara menerapkan sanksi yang sesuai hukum syariah yang berlaku. Bila yang dilakukan adalah zina, termasuk perselingkuhan dan pelacuran, maka hukumannya didera 100 kali jika belum menikah atau dirajam jika sudah menikah.
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah, jika kalian beriman kepada Allâh dan hari akhirat. Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman” [An-Nur [24]:2].
Pada kasus pemerkosaan, maka pelakunya akan dihukum sama dengan pezina. Adapun korban yang notabene dipaksa, maka ia dibebaskan dari hukuman. Dari Abu ‘Abdirrahman as-Sulami, ia berkata, “Dihadapkan kepada ‘Umar bin al-Khaththab r.a seorang wanita (yang dipaksa berzina). Pada suatu hari wanita tersebut sangat kehausan, lalu ia mendatangi seorang penggembala untuk meminta air. Namun penggembala itu enggan memberinya, kecuali jika ia mau berzina dengannya, maka wanita itu pun terpaksa melakukannya. Lalu orang-orang berunding untuk merajamnya. Kemudian Ali r.a berkata, ‘Ia dalam keadaan terpaksa, pendapatku hendaknya kalian membebaskannya.’ Maka beliau (‘Umar r.a ) pun melepaskannya.”
Negara juga harus menutup dan memberantas akses-akses pornografi, menutup pintu-pintu diskotik, club malam, pelarangan dan sanksi tegas aktivitas hiburan malam. Seperti itulah jika aturan Islam diterapkan sempurna dalam negara, insya Allah negara berkah, aman, kehormatan umat manusia terjaga, baik untuk muslim maupun nonmuslim.
Views: 14
Comment here