Oleh. Yusmiati
wacana-edukasi.com– Publik kembali digegerkan atas meninggalnya seorang mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Muslim Indonesia (UMI) berinisial ZA (20 tahun) pada saat mengikuti pengkaderan senat yang diselenggarakan di Desa Embun Pagi, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan pada Ahad, 24 Juli 2022. Dalam penutupan pengkaderan yang diikuti oleh 24 peserta tersebut, terdapat berbagai rangkaian kegiatan, di antaranya jalan jongkok, merayap di kali, serta berendam di kolam. Dugaan sementara penyebab meninggalnya ZA adalah akibat korban mengalami kelelahan saat mengikuti pengkaderan di tengah cuaca ekstrem. (Kompas TV, 25/07/2022)
Fenomena pengkaderan yang sampai menewaskan mahasiswa bukanlah hal yang pertama kali terjadi, melainkan sudah kesekian kalinya. Hal ini terjadi karena pengkaderan saat ini dianggap hanya sebagai ajang perpeloncoan, kekerasan, penindasan, serta unjuk senioritas belaka. Meskipun sudah mendapat kritik dari berbagai pihak, tetapi pengkaderan semacam ini masih terus dilaksanakan. Mereka menganggap bahwa perpeloncoan yang dilakukan adalah hal yang wajar bagi setiap mahasiswa baru. Tak hanya itu, pengkaderan ini juga sering dikaitkan dengan aksi balas dendam para senior atas pengkaderan yang ia alami sebelumnya, kemudian melampiaskannnya ke mahasiswa baru atau kepada juniornya. Alhasil, pengkaderan ini akan menjadi tradisi yang turun-temurun di dunia pendidikan, tidak akan pernah berhenti sekalipun aktivitasnya sampai menelan korban.
Sudah sangat jelas bahwa sistem pendidikan saat ini sedang tidak baik-baik saja. Pendidikan yang seharusnya bertujuan untuk mendidik generasi agar menjadi penerus yang gemilang, justru tercoreng karena aktivas di dalamnya diliputi aksi penindasan dan kekerasan. Bagaimana bisa sistem pendidikan saat ini dapat mencapai tujuan yang tepat sasaran, jikalau aksi kekerasan yang menjadi teladan bagi para generasi muda? Sungguh miris sekali.
Sekularisme Pangkal Masalahnya
Kondisi demikian terjadi tak lain karena sistem pendidikan saat ini berpijak pada sistem sekularisme, yakni sistem yang memisahkan agama dari kehidupan, sehingga agenda-agenda atau aktivitas yang terjadi di dunia pendidikan pun tidak bersandar atau mengaitkannya dengan agama. Mereka bebas berbuat sesuka hati tanpa memikirkan baik buruk atau dampak dari aktivitas yang mereka lakukan. Mereka pun tidak merasa takut, padahal aktivitas yang dilakukannya dapat merenggut nyawa orang lain.
Peserta didik saat ini kian salah dalam memaknai pengkaderan yang sesungguhnya. Pengkaderan yang sesungguhnya ialah membentuk kader-kader yang siap menjadi pemimpin yang tangguh dalam mempertahankan dan mengembangkan identitas khairu ummah (umat terbaik) di masa mendatang. Sebagaimana perkataan Allah Swt. dalam Al-Qur’an: “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih bajk bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Ali Imran (3): 110)
Selain hal tersebut, ini semua bisa terjadi karena minimnya akidah Islam yang ada pada diri mereka. Oleh karena itu, pengkaderan merupakan kesempatan emas untuk mendidik dan menanamkan nilai-nilai akidah Islam terhadap juniornya, sehingga kader-kader yang terbentuk adalah kader yang tangguh dan beriman.
Pengkaderan dalam Islam
Beda halnya dengan konsep pengakaderan yang diterapkan oleh Nabi Muhammad saw. kepada para sahabat. Pengakaderan yang dilakukan Rasulullah saw. terbukti berhasil mencetak generasi atau kader-kader yang tangguh dan beriman, sebab Rasulullah saw. mengkader para sahabat dengan keimanan. Hal ini terbukti dengan terciptanya kader-kader yang banyak menorehkan tinta emas dalam sejarah kehidupan manusia.
Maka dengan mengadopsi konsep pengkaderan yang sama dengan Rasulullah, para senior bisa menanamkan akidah Islam terhadap juniornya. Selain itu, ia bisa memperbaiki kondisi saat ini dengan cara berdakwah seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah, agar salah satu peran dan fungsi mahasiswa sebagai agen of change_terealisasikan dengan benar, yakni merubah sistem kapitalisme yang penuh kebobrokan menjadi sistem Islam yang membawa rahmat.
Syekh Atha bin Khalil dalam kitabnya Usus At-Ta’lim fi Daulah Al-Khilafah (Dasar-Dasar Pendidikan Negara Khilafah), menyebutkan bahwa tujuan perguruan tinggi adalah:
Pertama, penanaman dan pendalaman kepribadian Islam secara intensif pada diri mahasiwa di perguruan tinggi.
Kedua, membentuk himpunan ulama yang mampu melayani kemaslahatan hidup umat. Tolok ukur kemashlahatan hidup adalah kepentingan yang menjaga kelestarian hidup umat.
Ketiga, mempersiapkan sekumpulan orang yang diperlukan dalam mengelola urusan umat, seperti para hakim, para pakar fiqih ushul dan kontemporer, dokter, insinyur, guru, akuntan, penerjemah, perawat, dan bidang lainnya.
Namun, konsep pengakaderan seperti ini tidak bisa terealisasikan selama sistem kapitalisme yang masih bertahta dan bernaung di dunia pendidikan hari ini. Oleh karena itu, sistem yang mampu menerapkan pengakaderan seperti yang dicontohkan Rasulullah saw. dan menerapkan tujuan pendidikan yang disebutkan di atas tak lain adalah sistem Islam yang disebut dengan khilafah. Sistem pendidikan Islam dibangun berdasarkan akidah Islam yang menihilkan tindakan perpeloncoan atau penindasan yang menimbulkan cedera, cacat, bahkan kematian. Sebab aktivitas tersebut jelas melanggar hukum syarak. Sistem ini juga mampu membuat semua peserta didik memahami peran dan fungsi pendidikan sehingga generasi-generasi yang dicetak adalah generasi yang memuliakan agama dan bermanfaat untuk peradaban Islam.
Wallahu a’lam bis showab.
Views: 88
Comment here