Oleh Endah Sefria, S.E. (Aktivis Muslimah)
wacana-edukasi.com, OPINI– Untuk ke sekian kalinya, kasus perundungan terjadi lagi di dunia pendidikan. Seakan perundungan adalah aksi “anggar jago” mempertontonkan siapa yang kuat dan siapa yang lemah. Ini seperti ritual yang mengerikan untuk anak-anak korban bully oleh teman maupun senior mereka. Kali ini terjadi di salah satu sekolah di Kota Medan, hingga menyebabkan trauma pada si anak. Bagaimana tidak. Harusnya sekolah adalah tempat menimba ilmu, guru sebagai pengayom dan teman sekolah sebagai partner, malah menjadi momok yang menakutkan di mana sekolah tempat nomor satu terjadinya perundungan.
Alih-alih hanya menyebabkan luka ringan. Bahkan di sebagian kasus ada korban dengan cacat permanen, gangguan mental, hingga kematian. Kabarnya, korban yaitu salah satu siswa dari MAN 1 Medan trauma untuk datang ke sekolah lagi karena pengalaman yang ia terima dari teman dan seniornya sebanyak 20 orang melakukan penganiayaan kepadanya hingga meninggalkan traumatik dan luka bakar di tangannya (detik.sumut, 26/11/2023).
Padahal, seyogianya sekolah adalah tempat suka cita untuk anak-anak belajar demi menggapai cita-citanya. Namun, kini bukan hanya anak, bahkan para orang tua pun khawatir melepaskan anaknya untuk pergi ke sekolah. Ada rasa was-was dan tidak percaya orang tua kepada sekolah karena dianggap sekolah tidak mampu menghentikan kasus-kasus perundungan yang senantiasa terjadi pada anak-anak mereka. Para guru sebenarnya sudah mengarahkan para siswa untuk berteman dengan baik dan tidak boleh melakukan perundungan, tetapi pada faktanya, seolah siswa “nakal” ini tidak menggubris nasihat yang selalu disampaikan oleh para guru.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perundungan. Pertama, akidah sudah tidak lagi menjadi asas perbuatan. Padahal, setiap perbuatan pasti akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Anak-anak kita sudah terbiasa hidup dalam sistem sekulerisme di mana sistem ini memisahkan agama dari kehidupan. Jadi wajar, mereka tidak tergambar tentang wajibnya tunduk kepada syariat Allah dan haramnya melakukan kezaliman kepada siapa pun. Hari ini banyak syariat yang dikesampingkan, termasuk syariat yang mengatur tentang akhlak baik kepada teman dan kepada umat manusia lainnya.
Kedua, ketiadaan pembinaan Islam kepada anak-anak kita sehingga tidak mengenal Islam dengan baik. Jika mereka mengenal Islam, pastilah mereka tahu yang baik dan yang buruk, yang haq dan yang batil. Bahkan ketika anak-anak diberikan pembinaan Islam, ada beberapa oknum yang berprasangka dengan mengatakan bahwa rohis adalah tempat melahirkan para teroris. Na’udzubillah!
Padahal, salah satu upaya kita untuk membentuk kepribadian Islam yang berakhlak baik adalah dengan melakukan pembinaan, yaitu mengkaji Islam. Sehingga jika ada hasutan untuk melakukan kejahatan seperti perundungan, maka secara otomatis akidahnya yang akan melindunginya dari perbuatan zalim tersebut. Dia tidak akan mau berbuat apa-apa yang Tuhannya tidak ridai. Sehingga akidah adalah benteng anak-anak kita terhindar jauh dari kasus-kasus perundungan.
Ketiga, lingkungan yang tidak mendukung. Sikap acuh tidak acuh masyarakat bisa saja menjadikan kasus perundungan ini makin marak. Kontrol masyarakat pun lemah. Jika masyarakat memiliki pemikiran, dan perasaan Islam tentulah kasus-kasus bully ini tidak akan terjadi. Karena seyogianya masyarakat akan senantiasa bekerja sama menciptakan lingkungan yang sehat, jauh dari kekerasan dan bersama menciptakan suasana islami yaitu salah satunya adalah sikap saling menyayangi sesama saudara.
Keempat adalah peran orang tua yang acapkali mengabaikan perannya sebagai orang tua dalam pendidikan anak-anaknya. Sejatinya ibu adalah sekolah pertama untuk anak-anaknya. Namun, peran ibu sudah direnggut dalam sistem kapitalisme. Karena terjepitnya ekonomi, atau bahkan lebih sibuk berselancar di sosial media dan lupa ternyata ada anak yang wajib dia berikan pendidikan Islam. Penguatan akidah harusnya berawal dari rumah, yakni peran orang tua. Sehingga wajar, anak-anak minta perhatian di luar rumahnya.
Kelima adalah peran negara. Negara yang tidak mampu menindak tegas pelaku kejahatan akan melahirkan pelaku kejahatan yang baru. Negara seakan abai. Kasus yang diangkat hanya jika ada pengaduan atau jika kasus telah “viral”. Peran negara dalam memberikan pengarahan serta memberikan sanksi yang tegas adalah cara ampuh agar masyarakat tidak melakukan tindak kriminal. Karena undang-undang adalah peraturan yang bersifat mengikat. Sehingga siapa pun akan menanggung sanksi yang diberikan negara jika dia melanggar peraturan, salah satunya adalah perundungan.
Hendaknya orang tua, sekolah, masyarakat dan negara bersinergis menciptakan kehidupan yang Islami. Tentu saja hal ini sulit direalisasikan saat ini karena kita kasih hidup dalam sistem sekulerisme di mana kita tidak diatur dengan Islam. Hal ini dapat terwujud jika kita memiliki pemikiran yang sama, perasaan yang sama dan aturan yang sama yaitu Islam. Maka kita membutuhkan sistem yang dapat menaungi kita untuk bisa menerapkan syariat secara keseluruhan.
Sistem ini adalah sistem Islam yang hanya mampu diterapkan oleh negara Khilafah Islamiyah. Karena negara Islam memiliki konsep pendidikan yang unik. Landasan pendidikan Islam adalah akidah. Sehingga akidah ini yang akan membentengi anak-anak kita dari aktivitas perundungan. Juga kewajiban negara memberikan pengarahan untuk senantiasa tunduk pada syariat-Nya dan sanksi yang tegas kepada siapa saja yang melanggar syariat-Nya.
Wallahualam bissawab.
Views: 16
Comment here