Grizelle
Part 2
“Oh cowok berbaju koko itu, diakah yang telah melafazkan ayat-ayat Allah tadi? Sungguh suaranya mengalun begitu indah. Pesona ayat-ayat cinta benar-benar membuatku jatuh cinta. Hati ini berasa adem saat menedengarnya,” gumam Icha seorang diri.
“Ya Allah telah lama diri ini terpukau pada pendar dunia, hanya berjalan mengikuti kata hati. Apa yang kusuka, maka itu yang kuikuti. Apa yang aku anggap benar, maka itu yang kulakukan. Jujur, sudah lama kuingin mendengarkan ayat-ayat cinta-Mu. Bahkan, aku ingiiiin sekali ayat-ayat cinta itu keluar dari lisanku. Ah, tapi diri ini begitu bodoh. Membacanya saja aku belum bisa. Meski demikian, aku tahu cowok itu membaca surat ar-Rahman. Pak Nashir, guru agama SMA, pernah menyebut ‘fabiayyi aalaairabbikumaa tukaddziban’ (Maka, nikmat Tuhanmu manakah yang engkau dustakan?)”
“Ya Allah, andaikan Engkau mendengarkan doaku, aku ingin Engkau memberiku satu kesempatan untuk bisa membaca ayat-ayat cinta-Mu. Ya Rabbi, maafkan atas segala khilafku. Maafkan aku jika langkah ini belum senapas dengan ayat-ayat cinta-Mu. Maafkan aku yang belum mentadaburi ayat-ayat cinta-Mu, sehingga aku tak tahu apa saja isi petunjuk-Mu. Ya Allah, please give me the second chance to repair myself.”
***
Icha meletakkan kembali sepedanya di garasi. Lalu, dia berjalan masuk ke dalam rumah.
“Assalaamu’alaikum …,” Icha mengucapkan salam.
“Wa’alaikumussalam …,” jawab Mbak Ijah.
“Apa Papa dan Mama sudah pulang, Mbak?”
“Belum, Neng. Dari tadi saya di rumah seorang diri. Sibuk masak untuk makan malam.”
“Oke, aku pergi ke kamarku dulu ya, Mbak.”
“Iya, Neng.”
Icha masuk ke dalam kamarnya, lalu merebahkan diri di atas dipan tempat tidur. Tiba-tiba hawa kantuk mulai menyerangnya.
“Aku di mana? Oh, di telaga? Bukankah aku sudah pulang ke rumah? Ayat-ayat itu, aku mendengarnya lagi. Pesonanya benar-benar membuatku jatuh cinta.” Bulir-bulir kristal bening membasahi pipi dara cantik yang memiliki kegemaran traveling itu.
“Kamu, wait me please! Apa kamu yang membaca surat ar-Rahman? Hei, kamu ….”
Gubraks!!! Icha terjatuh dari tempat tidurnya. “Oh, ternyata aku hanya mimpi. Aduh, sakit sekali pinggangku.” Icha berceloteh seorang diri di dalam kamar kesayangannya yang bernuansa serba merah muda, warna favoritnya.
“Wait! Kenapa aku kembali mendengar suara yang sama?” Icha mengacak-acak rambut karena bingung dengan yang dialaminya. Tidur sore hari justru membuat suasananya jadi ambyar.
“Sudahlah. Mending aku ke bawah bantuin Mbak Ijah. Ngapain juga aku tidur tadi.” Icha menggerutu sambil melangkahkan kakinya keluar kamar.
“Mbak Ijah!”
“Astaghfirullah, Neng. Suka banget ngagetin Mbak Ijah. Jantung Mbak hampir copot karena kaget.” Mbak Ijah mengelus-elus dadanya.
“Hehehe … Iya deh, Icha minta maaf. Jangan manyun gitu dong. Nanti pesona kecantikan Mbak Ijah hilang lho. Ayo, senyum! Keep smile!” Icha merayu asisten rumah tangganya supaya bersedia memaafkan kesalahannya.
“Si Neng ini emang paling jago mengambil hati Mbak. Kalau sama Neng cantik, mana bisa Mbak Ijah marah.” Mbak Ijah menyunggingkan seulas senyumannya.
“Oh ya, Mbak. Barusan aku mendengar suara orang mengaji. Suara itu datangnya dari mana ya?”
“Oh, itu suara Ustaz Faisal.”
“Ustaz Faisal? Saya belum pernah mendengar nama itu sejak pindah kemari tiga tahun yang lalu.”
“Ya, iyalah Neng. Ustaz Faisal kan sejak kecil sudah dipondokkan oleh Pak Kiai Anshori. Jadi, yo wajar saja kalau Neng Icha tidak tahu. Beliau baru saja pulang. Yah, mungkin sekitar seminggu ini beliau ada di rumah. Ustaz Faisal masih muda, tapi sangat berkharisma.”
“Mbak Ijah tahu banyak ya soal Ustaz Faisal. Mbak nge-fans ya sama dia?”
“Kalau Iya, kenapa? Neng Icha cemburu ya? Ustaznya ganteng lho, Neng.”
“Idih, si Mbak. Kenal aja, kagak.”
“Hati-hati lho Neng. Ntar kecantol beneran sama Ustaz Faisal. Hatinya morat-marit deh. Hihihi ….” Mbak Ijah menutupi mulutnya.
“Udah, ah. Aku nggak jadi bantuin Mbak Ijah. Aku masuk ke kamar lagi aja.”
“Lhaa, Neng Icha ngambek nih sama Mbak Ijah. O … o … ada yang kesemsem nih.” Mbak Ijah masih tetap saja menggoda anak majikannya karena ia tahu nona mudanya itu tidak akan marah dengan candaannya. Icha adalah sosok periang dan tidak pernah memendam kekesalan kepada orang lain.
***
“Sayang, bagaimana dengan sekolahmu?”
“Baik-baik saja, Mama,” jawab Icha singkat.
“Icha, tolong kamu antar bingkisan yang ada di atas meja ruang tamu ke rumah Pak Kiai Anshori, ya!”
“Bingkisan apa, Ma?”
“Ya, hanya bingkisan biasa. Minta tolong ya, Nak!”
“Baik, Ma. Icha sudah selesai makan. Icha antar ke sana sekarang.”
“Oke, baby. Thank you.”
“You’re welcome, Mom.”
***
Icha sudah sampai di depan pintu pagar rumah bercat serba hijau. Halaman rumahnya luas. Beberapa pohon, seperti pohon jambu, belimbing, dan mangga tumbuh di atasnya.
“Pohon-pohonnya begitu rindang. Pasti asyik banget deh bisa berada di bawahnya.”
“Assalaamu’alaikum ….”
“Wa-wa’alaikumussalam warhmatullaahi wabarakaatuh,” Icha terbata-bata menjawab salam karena terkejut.
“Maaf, ada yang bisa saya bantu?”
“Oh, saya ingin menyampaikan bingkisan ini untuk Pak Kiai Anshori. Bingkisan ini dari Mama.”
“Abah masih di masjid. Bolehkah saya yang menerima bingkisan itu? Saya putra beliau. InsyaAllah, nanti bingkisannya saya berikan kepada Abah.”
“Oke. No problem, thank you.” Icha segera menutup mulutnya karena keceplosan menggunakan bahasa Inggris.
“Jazakumullah khairan katsiiran. Salam untuk Bu Dokter.” Ustaz Faisal membuka pintu gerbang, lalu masuk ke halaman rumah. Sementara, Icha balik kanan kembali ke rumah.
(Bersambung)
Views: 3
Comment here