Oleh Grizelle
Wacana-edukasi.com — Namaku Icha Naura Febriana. Aku adalah gadis remaja berusia sweet seventeen. Usia ini adalah usia yang banyak digandrungi oleh kawula muda. Katanya sih, karena di masa ini para ABG bisa bebas melakukan apa pun yang mereka mau. Orang tuaku, dua-duanya adalah dokter. Mereka bekerja di tempat yang sama, di sebuah rumah sakit daerah. Huffttttt, biasalah. Aku sering kesepian karena kedua ortuku punya kesibukan segambreng.
“Nila, jalan yuks! Besok weekend loh.”
“Nggak bisa, Icha. Besok aku mau pergi ama bokap dan nyokapku. Sorry banget ya.”
“Oke, santuy aja. Aku nggak papa kok.” Aku bilang ke Nila kalau aku baik-baik saja, padahal diriku ingin melakukan hal yang sama seperti dirinya yang bisa menghabiskan waktu bersama kedua ortunya.
“Hmmmmm pasti menyenangkan deh kalau bisa pergi sama Papa dan Mama. Namun, mereka mana ada waktu? Lagi pula, para pasien di rumah sakit itu membutuhkan mereka. Aku tidak boleh egois menuruti kesenanganku, sementara di sana orang-orang butuh pertolongan. Teman-teman yang lain juga bilang tidak bisa karena punya agenda masing-masing. Ya sudahlah, santai saja Nona Icha, kamu bisa bermain sepeda sendiri saja mengelilingi area perumahan. Bikin keseruan sendiri saja. Hidup itu sekali, harus dijalani dan dinikmati.” Icha mondar-mandir memegang gawai di depan kamarnya sambil terus mengoceh seorang diri.
Bukan Icha namanya kalau sampai patah hati gegara teman-temannya tidak bisa diajak main bareng. Icha adalah gadis periang, meski dia kerap kali sendirian. Putri dr. Hendra dan dr. Lili itu memang beda.
“Mbak, aku pergi dulu ya.”
“Mau ke mana, Neng?” tanya Mbak Ijah–sang asisten rumah tangga.
“Icha pengin bersepeda keliling kompleks sini aja, Mbak.”
“Oh ya, Neng. Tidak jauh dari sini kan kemarin dibangun taman baru yang sangat cantik. Ada telaga bening nan cantik lho, Neng.”
“Mbak tahu dari mana?” tanya Icha sambil mengenakan sepatu olahraganya.
“Kata para tetangga sih, Neng. Kalau Mbak sendiri ya belum pernah ke sana. Neng kan tahu sehari-hari kerjaan Mbak ya ngerjain tugas ini dan itu. Sudah full Neng jadwal Mbak. Tapi, kalau ada yang mau ngajakin Mbak jalan-jalan, Mbak nggak akan menolak.”
Icha tertawa renyah mendengar penuturan asisten rumah tangganya. Mbak Ijah memang orangnya suka ngomong apa adanya. Apa yang ada di hatinya, itu yang dia keluarkan.
“Sudah, Mbak di rumah aja ya. Icha pergi dulu. Bye … bye!” Icha melambaikan tangan kanannya ke arah Mbak Ijah dengan senyuman menggoda.
“Yaaa … si Neng. Kirain aku mau diajakin, ternyata ditinggalin gitu saja.” Mbak Ijah memelas kecewa.
Icha mengayuh roda duanya mengitari kompleks perumahan. “Kok sepi, ya.” Icha mengayuh sepedanya kembali. “Apa orang-orang pada berkumpul di sekitaran telaga, ya? Kata Mbak Ijah tempatnya bagus. Ah, aku ke sana saja. Semoga saja ramai.”
***
“Wow, fantastik. Di sini adem bangettt. I really love it.” Icha meletakkan sepedanya di bawah sebuah pohon rindang. Kemudian, dia berjalan menuju tepian telaga. Icha melihat wajah cantiknya terpantul di sana. Dia mengembangkan seulas senyuman, lalu berkata pada dirinya sendiri, “Icha cantik, kamu tidak sendirian. Tuhan sudah menciptakan alam yang begitu indah untuk kamu nikmati. Jadi, bersemangatlah!”
Icha duduk di atas tanah sambil memegang kedua lututnya. Dia melihat pohon-pohon di tepian telaga yang begitu lebat dan indah. Sekawanan burung bertengger di atasnya. Kicaunya begitu merdu dan menenangkan jiwa. Namun, tiba-tiba ….
“Eh, suara apa itu? Bagus sekali suaranya. Aku salah denger nggak sih? Di tempat seperti ini aku mendengar ada orang yang mengaji.” Icha berbicara sendiri.
Setelah dia berucap demikian, tidak terdengar lagi suara orang yang sedang mengaji. “Lho, kenapa suaranya sudah tidak terdengar lagi? Hih, kenapa aku jadi merinding begini? Aneh sekali.”
“Fabiayyi ala irabbikumaa tukaddzibaan.” Sebuah suara memecah keheningan. Suara itu begitu merdu dan memenangkan jiwa. Ayat demi ayat Al-Qur’an dalam surat Ar-Rohman dilafazkan dengan begitu fasih.
“Dari mana suara itu berasal?” Icha menengok ke kanan dan ke kiri. Bahkan, dia pun memutar badannya untuk mencari pemilik suara. Akan tetapi, semuanya nihil. Dia tak melihat siapa pun. Rasa penasaran mendorongnya bangun dari duduk. Dia berjalan secara perlahan-lahan menuju sumber suara. “Semoga yang muncul bukanlah sosok yang mengerikan.” Icha bergidik ngeri memikirkan sesuatu yang di luar nalar manusia.
“Kelihatannya di situ deh. Aku ke sana nggak ya? Kenapa aku jadi maju-mundur cantik seperti ini.” Pikiran Icha tak tenang karena memikirkan kemungkinan yang bakal terjadi.
“Assalaamu’alaikum,” sapa seorang pemuda berbaju koko warna putih. Wajahnya tampan dan teduh. Kulitnya putih bersinar.
“Wa … wa’alaikumussalam.” Icha terkaget melihat lelaki muda yang sedang berdiri di hadapannya. “Ka-kamu siapa? Manusia, malaikat, atau ….” Kalimat Icha terbata-bata. Dirinya berusaha menstabilkan kondisinya kembali.
“Manusia,” jawab pemuda itu singkat, lalu meninggalkan Icha yang masih bingung mencerna kejadian yang baru saja dialaminya.
(Bersambung)
Views: 2
Comment here