Oleh: Nurma (Mahasiswi UM Buton)
Wacana-edukasi.com, OPINI-– Pada hari Rabu 27 November 2024, seluruh masyarakat Sultra yang masuk Daftar Pemilih Tetap (DPT) akan menyalurkan hak pilih. Di bilik suara, masyarakat akan memilih pemimpinnya di level provinsi, kabupaten dan kota. KPU provinsi, kabupaten dan kota siap menggelar pemungutan suara. Semua kebutuhan logistik Pilkada sudah didistribusi (Kendaripos.Fajar.Co.Id, 25/11/2024).
Pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada Rabu, 27 November 2024. Pada tanggal tersebut tentunya sudah ditetapkan sebagai hari libur nasional mengingat pentingnya menentukan orang-orang yang dianggap layak untuk memimpin daerah. Sama halnya seperti pemilu sebelumnya dalam memilih presiden dan anggota legislatif, pilkada juga diharapkan mampu memenuhi segenap harapan rakyat untuk memperoleh pemimpin yang adil dan amanah.
Kendati demikian, tampaknya harapan rakyat akan kembali pupus. Sebab, aroma politik kotor dalam pilkada menjelang pencoblosan malah semakin pekat. Hal itu terlihat dari mobilisasi untuk memilih paslon tertentu, praktik suap menyuap, kecurangan, hingga mempermainkan agama dengan menjanjikan para pemilihnya masuk kedalam surga.
Oleh karenanya kita harus jeli dalam mengurai akar persoalan munculnya politik kotor yang selalu saja mewarnai pesta demokrasi. Apa kiranya yang menyebabkan pemimpin yang terpilih bukanlah pemimpin yang diinginkan rakyat? Bagaimana agar umat kembali mempunyai pemimpin yang adil dan amanah serta memiliki kesiapan dalam menerapkan aturan Islam secara kaffah?
Karut Marut Pilkada
Karut marut dan kekisruhan yang sangat menjadi sorotan media kali ini. Mobilisasi untuk memenangkan paslon tertentu memang kerap terjadi di setiap kontestasi. Namun pada November 2024 ini tampak semakin masif. Politik kotor pilkada juga berkaitan erat dengan politik uang. Suap-menyuap berkedok pengajian lumrah terjadi menjelang pencoblosan. Bahkan, bagi-bagi uang untuk membeli suara menggunakan e-money atau e-wallet bahkan digunakan paslon untuk menyasar anak muda. Serangan fajar kini terjadi tanpa harus mengetuk pintu, tetapi langsung masuk rekening. Sangat miris, seluruh parpol baik yang berlatar belakang Islam apalagi nasionalis, sama-sama menggunakan politik uang dalam upaya pemenangan.
Belum lagi kampanye-kampanye yang dilakukan dengan menjual agama, justru telah dijadikan senjata ampuh dalam mengumpulkan suara. Alih-alih berpidato menyampaikan visi misi yang dimiliki, banyak paslon lebih senang mengumbar janji bahkan janji masuk surga.
Pilkada Demokrasi
Kekisruhan pilkada kali ini semakin membuktikan bahwa pertarungan politik dalam demokrasi hanya memperebutkan kekuasaan semata. Berbagai cara dapat dilakukan demi kemenangan, bahwa termasuk cara-cara kotor sekalipun. Hal yang demikian itu merupakan akibat dari landasan sistem politiknya yang sekuler kapitalisme. Sehingga tidak heran, para kandidat turut merasa boleh-boleh saja dalam melakukan segala cara agar menang. Pemikiran sekuler kapitalisme ini pun memosisikan motivasi menjabat hanya sebatas memperoleh materi. Maka ini merupakan hal wajar dalam sistem demokrasi, bahwa yang terpilih adalah para pemimpin yang memiliki niat awal memang bukan untuk umat.
Selain itu, sistem politik demokrasi yang memiliki biaya mahal meniscayakan hadirnya para “bohir politik” alias pemilik modal yang siap menjadi sponsor para elite politik untuk bisa naik tahta jabatan. Inilah yang menyebabkan politik bersifat transaksional. Jabatan dan kebijakan diperjualbelikan seolah lahan bisnis yang tidak mampu terhindarkan.
Dengan kehadiran para bohir juga sangat berpengaruh terhadap kebijakan yang ditetapkan. Sehingga akibatnya, pemerintah pusat maupun daerah seolah tidak memiliki tupoksi dalam menetapkan suatu aturan. Para politisi yang sudah menjabat pun harus membalas budi para sponsor yang telah mendukung mereka.
Politik balas budi yang tiada habisnya ini sangat merugikan rakyat karena kepentingan para donatur itu kerap berseberangan dengan rakyat. Misalnya saja dalam hal pembangunan daerah, prioritas pembangunan infrastruktur nyatanya demi kepentingan oligarki bukan rakyat. Hal ini dapat dilihat dari pemerintah lebih mendahulukan pembuatan jalan menuju resort-resort mewah dan tempat wisata dibandingkan memperbaiki jembatan antardesa yang sudah rusak. Dapat pula kita saksikan beritanya di linimasa media sosial, anak-anak sekolah mempertaruhkan nyawa dengan menyeberangi jembatan yang tidak layak hanya untuk bisa pergi ke sekolah untuk menuntut ilmu.
Sehingga atas dasar ini, berharap akan terpilih penguasa yang amanah dalam sistem demokrasi tidak ubahnya pungguk merindukan bulan. Sistem ini akan terus melanggengkan oligarki dan para kacungnya melalui politik transaksionalnya. Rakyat hanya menjadi objek politik yang dipakai berdasarkan kepentingan mereka. Tidak pelak, rakyat tentu kian tersakiti.
Sistem Politik Islam
Sistem politik Islam berjalan sesuai dengan akidah Islam sebagai landasannya. Ikatan yang terbentuk antara penguasa dan rakyat juga merupakan ikatan akidah, bukan manfaat. Individu yang terlibat dalam pemerintahan adalah mereka yang ingin berkhidmat untuk mengurusi urusan umat. Jabatan dalam sistem Islam adalah dianggap sebagai amanah untuk mendulang pahala, sekaligus sesuatu yang menuntut tanggung jawab besar, karena Allah SWT. akan mengharamkan surga terhadap pemimpin yang tidak amanah. Rasulullah SAW. bersabda, “Tidaklah seseorang diamanahi memimpin suatu kaum kemudian ia meninggal dalam keadaan curang terhadap rakyatnya, maka diharamkan baginya surga.” (HR Bukhari-Muslim).
Oleh karena itu, kecurangan dalam pemilihan pemimpin akan mendapatkan ganjaran oleh Allah Swt. dengan keharaman masuk surga. Jika ada sekelompok orang atau oligarki yang mencurangi suara dan kemudian memimpin, sejatinya Allah SWT. sedang menghimpun mereka di neraka. Inilah seburuk-buruknya balasan bagi penguasa yang curang serta menipu rakyatnya.
Terkait pilkada, sebenarnya di dalam Islam tidak ada syariat yang mengaturnya sebab kepala daerah di dalam Khilafah ditunjuk oleh khalifah berdasarkan saran dan masukan dari Majlis Umat (MU) dan Majlis Wilayah (MW). MU dan MW dapat mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah baik di level provinsi maupun kota. Jika ada perbedaan pendapat antara MU dan MW, yang diutamakan adalah pendapat MW sebab MW adalah representasi masyarakat daerah.
Penyebutan kepala daerah untuk wilayah setingkat provinsi dinamakan sebagai wali. Sedangkan untuk kepala daerah setingkat kabupaten/kota dinamakan sebagai amil. Adapun pihak yang melantik adalah wali diangkat dan dilantik langsung oleh khalifah. Sedangkan amil, bisa diangkat langsung oleh khalifah atau oleh wali yang telah diberi mandat oleh khalifah. Sehingga dalam hal ini, hanya khalifah yang berwenang mengangkat para penguasa di bawahnya, baik wali maupun amil. Ini berdasarkan kewajiban mengangkat khalifah dengan metode baiat. Mekanisme ini selain lebih sederhana, juga tidak mengeluarkan banyak biaya seperti pemilihan langsung pada pilkada demokrasi. Penunjukan kepala daerah oleh khalifah pun akan menjadikan kepala daerah terpilih tidak memiliki beban mahar yang besar kepada para kacung politik seperti saat ini.
Masa jabatan kepala daerah dalam Khilafah tidak ditentukan, tetapi penempatan tugasnya tidak boleh terlalu lama. Seorang wali bisa diberhentikan oleh khalifah kapan saja dan bisa diangkat lagi untuk daerah lain. Selain itu, kepala daerah tidak boleh dipindahtugaskan dari satu wilayah ke wilayah lain tanpa pemberhentian jabatan terlebih dahulu di wilayah sebelumnya. Adapun yang berwenang memberhentikan kepala daerah adalah khalifah. Dalam hal ini, MU bisa menyatakan ketadakrelaan atau menunjukkan ketidaksukaan terhadapnya, tetapi yang berwenang memberhentikannya tetap Khalifah.
Oleh karenanya, jangan pernah menaruh harap berlebih bahwa sistem demokrasi mampu melahirkan pemimpin yang amanah. Karena pada hakikatnya justru demokrasi sendirilah yang merupakan sistem rusak dan merusak sehingga individu dan parpol hanya bekerja berdasarkan materi. Rakyat pun menjadi korban kerakusan para elite oligarki.
Dengan demikian, sistem politik yang fokus kepada kemaslahatan umat hanya bisa terjadi melalui penerapan sistem politik Islam. Pemilihan kepala daerah yang ditunjuk oleh khalifah memiliki fungsi untuk menyederhanakan proses pengangkatan sehingga tidak membutuhkan banyak biaya, dan yang paling penting adalah kesesuaian dengan sunah Nabi SAW.
Wallahualam bissawab.
Views: 2
Comment here