Oleh: Hessy Elfiyah (Aktivis Dakwah Muslimah di Bekasi)
Wacana-edukasi.com — Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Sepenggal lirik lagu milik Koes Plus menggambarkan betapa subur tanah kita. Secara logika, hidup di negara agraris yang subur, kehidupan rakyat akan makmur. Namun, faktanya tidak demikian, rakyat kelaparan di tengah lumbung padi. Dendang Koes Plus tadi bak dongeng sebelum tidur. Melenakan pikiran kita atas kusutnya kehidupan di negara ini. Kemiskinan, kelaparan dan segala kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat tak terkecuali petani adalah sederet penderitaan yang akrab menyapa setiap hari. Entah sampai kapan.
Kondisi alam pun kian tak terkendali. Musim yang tak menentu menambah deretan ruwetnya masalah petani. Melawan kondisi dengan tangan kosong. Walaupun berulang kali tidak membuahkan hasil, namun tetap saja, semangat bertani menjadi pilihan. Lahan yang dimiliki harus ditanami, dengan harapan hasil panen dapat menopang kehidupan. Sambil menengadahkan tangan kepada para pengurus negeri ini, para petani mengharapkan solusi atas masalah pelik yang mereka hadapi. Terlebih lagi mata pencaharian mereka menempati posisi vital untuk ketahanan pangan negara.
Keadaan memprihatinkan ini juga dirasakan oleh petani Bekasi. Musim panen padi yang diharapkan tidak seindah yang dibayangkan. Akibat musim yang tak menentu membuat panen gagal. Kondisi ini telah terjadi hampir setiap tahun. Musim hujan saat panen, membuat padi yang telah dipanen tidak kering, karena tidak maksimal saat dijemur. Akibatnya petani merugi. Para petani atau pun para tengkulak lokal tidak mempunyai alat yang memadai untuk mengeringkan padi. Mau tidak mau, keadaan padi yang basah harus direlakan dengan harga jual yang jauh lebih murah. Inilah penyebab kerugian para petani padi.
Harapan terhadap pemerintah daerah, provinsi maupun pusat untuk membantu kesulitan ini nyata sekali ditunggu. Hal ini dituturkan oleh Mamad, salah seorang petani asal desa Sukaindah, kecamatan Sukakarya.
“Para petani berharap setiap kelompok tani bisa diberikan bantuan mesin atau alat pengeringan padi supaya kalau musim hujan seperti sekarang ini tidak susah, ” ungkapnya. (BeritaCikarang.com, 07/12/2020).
Inilah potret kehidupan di sistem kapitalisme. Bahkan untuk urusan bahan baku makanan pokok rakyatnya sendiri tidak mampu mengatasi. Terpampang nyata bahwa sistem saat ini mempunyai komitmen yang minim terhadap sektor pertanian. Swasembada pangan yang digadang-gadang menjadi program pemerintah nyatanya hanya isapan jempol semata. Nyatanya, pemerintah lebih mengandalkan impor bahan pertanian daripada memperbaiki keadaan pertanian yang ada. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2019 RI memasok/impor beras dari berbagai negara, yang terbesar memasok dari Vietnam (www.bps.go.id).
Kesemrawutan problem pertanian ini akan mudah diatasi apabila mengoptimalkan seluruh potensi lahan pertanian secara serius untuk menghasilkan bahan pangan yang krusial, contohnya padi. Dengan ditopang oleh ilmu pengetahuan atau science dan teknologi mutakhir yang mampu mengembangkan benih yang unggul, serta penanganan yang optimal seperti irigasi, pemupukan serta antisipasi adanya hama yang akan merusak tanaman. Tahap pemanenan dan pasca panen juga tak luput dari perhatian yang nantinya mampu memenuhi petani serta menjadikan negara yang mampu berswasembada pangan.
Tentu saja, solusi ini tidak akan ditemukan di negara yang mengadopsi kapitalisme-neoliberalisme. Karena sistem ini nyawanya adalah profit/keuntungan. Kebebasan bagi mereka yang mempunyai modal yang besar untuk melakukan apapun sesuai keinginannya tanpa memperdulikan keadaan yang lainnya.
Solusi ini justru akan ditemukan di negara yang bersistem Islam. Sistem yang dinyatakan sempurna oleh yang Maha Sempurna. Sistem yang rahmatan lil alamin. Sistem yang melayani rakyatnya sesuai dengan perintah Allah. Sistem yang lebih mengejar Ridho Allah bukan sistem yang mengejar keuntungan semata. Jadi, masihkah mengharap pada selain sistem Islam?
Views: 2
Comment here