Oleh. Yana Sofia (Aktivis Muslimah dan Pemerhati Umat)
wacana-edukasi.com, OPINI– Perekonomian yang lemah dan inflasi yang tinggi telah menyebabkan sejumlah perusahaan di dunia mengalami kerugian. Karena terjadi kenaikan harga produksi oleh kenaikan biaya energi dan komoditas yang secara tidak langsung memperlambat kemajuan. Inilah faktor utama beberapa perusahaan teknologi di dunia melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal. Salah satunya, Bocsh, yang merencanakan akan memecat 1.200 karyawannya pada akhir 2026, nanti. (suara.com, 19/1)
Sepertinya, badai gelombang PHK bakal akan terus menghantui dunia usaha, khususnya perusahaan berbasis teknologi. Bisa dilihat dari sejumlah perusahaan teknologi global ramai-ramai mengumumkan kebijakan PHK kepada para karyawannya. Bahkan, perusahaan populer seperti Google, Meta, hingga Microsoft sudah melakukan PHK massal, di mana sepanjang Januari 2024 ini saja sebanyak 23.670 karyawan telah dipecat dari 85 perusahaan teknologi tersebut. Angka ini menjadi yang terbanyak sejak Maret 2023 lalu, di mana sebanyak 38.000 orang telah menjadi korban PHK massal. (CNBC.internasional.com, 28/1)
Bisa dikatakan, kebijakan PHK massal adalah salah satu langkah perusahaan melakukan normalisasi. Sebagaimana pengakuan CEO Ericsson, Borje Ekholm, pada awal tahun 2023 lalu saat mengungkapkan alasan PHK besar-besaran terhadap pegawai perusahaannya. “Sudah menjadi tugas kami menghemat pengeluaran agar tetap kompetitif,” sebut Ekholm. Pertanyaannya, bagaimana dengan nasib ribuan buruh yang dipecat secara sepihak? Apa langkah normalisasi bagi tenaga kerja apabila pekerjaan mereka direnggut secara paksa?
Tak Mau Buntung!
Melihat maraknya PHK massal yang terjadi di sejumlah perusahaan teknologi akhir-akhir ini, bahkan telah diumumkan sejak 2 tahun sebelumnya menunjukkan bahwa perusahaan hanya peduli pada profitabilitas dan deviden, mengabaikan nasib pekerja yang ekonominya bergantung pada gaji bulanan dari perusahaan. Kebijakan PHK diambil semata untuk melindungi kepentingan pemilik modal atau pihak kapital, dengan mengorbankan nasib pekerja yang kelak akan menjadi pengangguran.
Kendati, pihak perusahaan mengaku langkah kebijakan PHK “terpaksa” diambil karena lemahnya perekonomian dan inflasi yang tinggi di Eropa, namun sebenarnya hal itu hanya alasan untuk meminimalisir kerugian. Karena dalam sistem ekonomi kapitalisme kedudukan tenaga kerja hanya dipandang sebagai “alat produksi” yang direkrut hanya demi kepentingan perusahaan yang mengejar laba. Karena itu, buruh di-PHK merupakan hal niscaya dalam sistem ini dalam rangka mewujudkan efisiensi produksi.
Berdasarkan fenomena di atas kita melihat, PHK massal adalah solusi yang tak terhindarkan dalam bisnis yang berlandaskan sistem kapitalisme yang berorientasikan untung dan rugi. Salah satu prinsip mendasar ekonomi kapitalisme adalah teori, “Dengan biaya sekecil-kecilnya bisa mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.” Maka wajar PHK menjadi jalan alternatif untuk menyeimbangkan laba dan rugi. langkah ini diambil untuk menyelamatkan perusahaan dan menjaga kestabilannya agar tetap bertahan di tengah perubahan kondisi ekonomi, persaingan, bahkan bencana alam. Hal ini menunjukkan posisi pekerja sangat lemah dalam kontrak kerja, kehadiran pekerja sebagai alat produksi hanya akan dipakai saat berguna, dan dibuang jika tidak menguntungkan lagi bagi perusahaan.
Kebijakan yang Zalim
Tak bisa kita mungkiri, PHK massal pastinya akan berpengaruh pada meningkatnya angka kemiskinan yang berkelindan dengan problem sosial lainnya seperti lemahnya daya beli, hingga meningkatnya angka kriminalitas. Jika pekerja menjadi pengangguran maka mereka akan kesulitan memenuhi kebutuhan sandang, pangan, pendidikan, juga kesehatan. Selain itu, tingginya angka pengangguran juga akan berimbas pada naiknya angka kejahatan seperti begal, perampokan harta, bahkan pembunuhan. Karena rakyat yang lapar akan terdorong untuk melakukan kejahatan demi memenuhi kebutuhannya.
Bagi Masyarakat ekonomi rendah, memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari adalah persoalan hidup dan mati. Setiap masyarakat perlu bekerja untuk melangsungkan hidupnya. Tanpa bekerja boleh dibilang hidup mereka akan terancam. Terlebih, hidup di alam kapitalisme yang serba mahal, masyarakat harus tetap bekerja untuk tetap mempertahankan daya belinya agar tetap eksis. Tindakan PHK oleh perusahaan hanya akan menambah beban psikologis bagi pengangguran itu sendiri atau bagi keluarga yang bersangkutan. Oleh sebab itu, tak heran jika menemukan kasus-kasus kriminalitas dalam keluarga seperti KDRT dan pembunuhan anggota keluarga, sebagaimana yang terjadi pada Rohwana (38 tahun), ibu asal Belitung, yang tega membunuh bayi yang baru dilahirkan karena faktor ekonomi.
Tentunya, hal ini akan semakin menambah beban negara yang secara tidak langsung mengancam keamanan dan kesejahteraan seluruh masyarakat di dunia. Karena itu, tak salah jika kita mengatakan bahwa kebijakan PHK massal adalah kebijakan yang zalim! Negara wajib turun tangan menyolusi masalah ini hingga ke akar. Menyelesaikan problem pengangguran dengan menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya, serta melindungi hak-hak pekerja dan menjamin kesejahteraan mereka. Sebab, pemimpin adalah perisai bagi seluruh masyarakat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, “Imam (khalifah) yang menjadi pemimpin manusia laksana penggembala. Hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya.”
Pandangan Islam
Islam memandang seluruh manusia sama, yang wajib diayomi dan dijamin kesejahteraannya oleh negara. Tak peduli apa jabatannya, baik CEO atau buruh yang bekerja di sebuah perusahaan global. Karena kedudukan manusia sama di mata Islam, maka Islam menjamin setiap hak-hak manusia terpenuhi dengan baik. Yakni hak terhadap sandang dan pangan, pendidikan dan kesehatan, juga hak dalam mendapatkan pekerjaan.
Dalam Islam pekerja tidak termasuk ke dalam bagian dari biaya produksi, karena itu dalam Islam berlaku sistem kontrak kerja yang disebut ijarah. Kontrak kerja berdasarkan ijarah tidak boleh dilanggar oleh pihak perusahaan, sehingga pekerja bisa menuntut hak-haknya apabila perusahaan melanggar kontrak (akad). Hal ini karena Islam adalah agama yang penuh cinta dan melarang siapa pun untuk menzalimi satu sama lain. Sehingga kontrak kerja wajib saling menguntungkan dan tidak boleh ada istilah “habis manis sepah dibuang”. Rasulullah saw. bersabda yang riwayat oleh Imam Bukhari, “Barang siapa berbuat zalim kepada saudaranya, baik terhadap kehormatannya maupun sesuatu yang lainnya, maka mintalah kehalalannya darinya hari ini juga sebelum dinar dan dirham tidak lagi ada.”
Terkait upah, Islam menetapkan upah atau imbalan bagi seorang ajir (pekerja) haruslah berupa kompensasi dari jasa yang dilakukannya, yang disesuaikan dengan nilai kegunaan. Di mana ukuran besaran upah ini harus di kembalikan kepada ahli, bukan negara dan mekanisme pasar. Sebab, jika perkiraan upah diserahkan kepada kebiasaan penduduk suatu negara dengan berpatok pada batas taraf hidup paling rendah dalam sebuah komunitas, akan menzalimi pekerja. Misalnya, saat perusahaan mengalami penurunan penjualan atau mengalami perubahan pada kondisi tertentu seperti terjadinya inflansi, maka akan menzalimi pekerja.
Oleh karena itu, perusahaan wajib mengayomi para pekerja dengan jaminan gaji yang layak, sementara negara mengawasi dan menutup segala kemungkinan perselisihan pekerja dan perusahaan yang merugikan pekerja. Negara akan mewujudkan sebuah wadah tempat berlindungnya para pekerja, yang terdiri dari tenaga ahli (khubara’) yang bertugas menyelesaikan perselisihan pekerja dan perusahaan secara adil, dan tidak memihak salah satu dari keduanya. Tentu saja, hal ini berbeda dengan Omnibus Law Ciptaker dalam sistem sekularisme yang senantiasa memihak investor dan pemodal namun mengabaikan hak buruh yang di-PHK.
Khatimah
Seluruh konsep ini, tentunya tidak akan kita jumpai dalam sistem sekularisme dan kapitalisme yang tidak ramah bagi rakyat yang lemah, karena paham ekonomi kapitalistik memiliki konsep “Siapa yang kuat dialah yang berkuasa”. Hanya sistem Islam satu-satunya sistem hidup yang mampu memihak pekerja, menjamin hak-hak dan kesejahteraan pekerja sehingga mereka tidak akan diperlakukan semena-mena sebagai alat produksi, namun sebagai partner bisnis yang saling menguntungkan satu sama lain. Perlakuan yang manusiawi terhadap pekerja ini, hanya bisa kita jumpai dalam sistem negara yang bernama Khilafah Islamiah di mana seluruh hukum di dalamnya berlandaskan syariat Islam Kaffah, bukan yang lain.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab[]
Views: 18
Comment here