Oleh: Nadia Ummu Ubay (Pendidik, Aktivis Muslimah Semarang)
Wacana-edukasi.com, OPINI– Penghematan Anggaran Negara tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025, dijadikan landasan yang termuat dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2025, digadang sebagai upaya memangkas anggaran negara.
Tujuan ini sebagai bentuk kebijakan mengefisienkan anggaran hingga Rp.306,69Triliun, yang menyasar berbagai kementerian dan lembaga termasuk pemerintah daerah, namun ternyata dampaknya hingga pada pemotongan jumlah karyawan perusahan (tirto.id, 17 /2/2025).
Sebagai contoh saja, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) telah menghentikan produksinya alias tutup, sehingga ribuan orang buruh terancam kehilangan pendapatan. Ada dua perusahaan yaitu PT Sanken Indonesia, di Cikarang dan PT Danbi Internasional di Garut, Jawa Barat. Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI), Mirah berpendapat penutupan pabrik yang hingga berujung PHK massal ini, harusnya tidak mengabaikan hak pekerja seperti pesangon misal, atau dengan mencari jalan dengan pemerintah aktif dan segera bertindak mengambil inisiatif tanpa menunggu-nunggu laporan (CnnIndonesia.com, 20/02/2025).
Pemangkasan dalam bentuk efisiensi ini kenyataannya berdampak pada kemampuan kementrian dan lembaga dalam menjalankan program yang direncanakan, hingga akhirnya dibatalkan, karena kekurangan anggaran sehingga mengalami kesulitan bahkan dalam membayar gaji dan tunjangan karyawan. Dampak ini juga berimbas pada karyawan terutama yang berstatus tenaga lepas, ini salah satu efek efisiensi anggaran yang digadang-gadang untuk kemudahan dan telah dirancang dengan bijak.
Di mana janji membuka lapangan pekerjaan yang dinyatakan sebagai bentuk pengurusan kepada rakyat atas jabatan baru yang dipegangnya? Apa alasan mendesak, sehingga menerapkan efisien anggaran negara namun rakyat terlunta? Efisiensi atau memang tidak punya rencana matang, hanya bermain diksi? Miris.
Rakyat Kembali Sengsara, Akibat Sistem yang Salah
Pekerjaan sebagai bentuk jasa yang diusahakan, kini makin nestapa untuk mendapatkan upah. Semakin miskin papa. Gelombang PHK memang bukan sekali ini saja, sebelumnya di masa pandemi pun sama. Rakyat kembali mengais pendapatan untuk memenuhi kebutuhan susah payah sendirian di negerinya.
Di samping itu, hal yang tidak bisa dielakkan lagi, peluang lapangan pekerjaan, selain bersaing juga tidak mudah, banyak kriteria yang menyulitkan bahkan berbelit. Mulai dari batasan usia, pengalaman kerja, bekerja mampu di bawah tekanan, ukuran tinggi badan, dan semua yang bahkan, di dunia kerja saja orang-orang yang tidak sehat untuk diajak kerjasama pun ada. Asal untung atau saling menguntungkanlah yang mereka cari dan dijadikan partner kerjanya. Begitulah nasib pekerja atau buruh.
Sungguh keberadaannya seperti tidak ada harganya, persaingan UMR tiap kota juga menjadi berpengaruh terhadap kesejahteraan buruh. Namun seringnya nasib buruh justru sering dikorbankan. Dalam hitungan untung-rugi saja, sudah terlihat jelas buruh tidak akan disejahterakan bahkan oleh negaranya, bukan lagi soal hak buruh di tempat kerjanya saja.
Meskipun ada jaminan pemberian melalui Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dengan pemberian 60 persen gaji selama 6 bulan pada batas atas upah 5 juta, jika dihitung-hitung secara jelas dan dengan pengakuan, maka realitasnya pemberian ini tidak akan menyelesaikan persoalan pekerja, karena kehidupan mereka tidak hanya berlaku di dalam enam bulan saja.
Justru agaknya seperti transaksional antara pengurusan negara dengan rakyatnya. Inilah kenyataan pahit yang harus diterima dalam kehidupan yang berasaskan untung rugi atau kapitalisme.
Semua dinilai dari materi keuntungan belaka, tidak mau rugi, maunya menang sendiri, hedonis-individualis. Sistem ini telah mengakar bahkan sampai pada tingkat aturan pemerintahan yang hanya menguntungkan siapa yang berkuasa saja.
Persoalan buruh ini tidak bisa sebatas pemakluman dan hanya dianggap semua sudah ada rejekinya, tentu ada faktor pendukung atau ikhtiar sebagai seorang makhluk atau hamba-Nya. Di samping itu, juga negara memiliki tanggungjawab penuh atas rakyat yang harus diurusnya. Termasuk memberikan lapangan pekerjaan yang layak untuk kehidupan mereka agar tetap berjalan. Sehingga rakyat tidak terlunta bahkan mengemis atau miskin di negara yang ada pemimpinnya. Sungguh ini ironi yang dinamakan sistem memiskinkan manusianya.
Jika tetap mempertahankan hal demikian, kehidupan di bawah sistem kapitalisme sekuler yang hedonistik di dalam aturannya, maka ketimpangan, kemalangan, ketidakadilan, bahkan kezaliman akan terus berlanjut. Padahal rakyat terus hidup, mereka butuh solusi dari pemangku kewenangan yang memiliki wewenang atas kendali kehidupan di dalam sebuah negara. Buruh bukan hanya pekerja. Mereka bekerja juga butuh karena ibadah agar rejeki mereka bukan hanya banyak dan cukup, namun berkah bagi keluarganya. Tidak lagi membicarakan pemerataan, efisiensi anggaran, demi kebijakan baru belaka, sebab dalam kepemimpinan mana pun dan siapa pun jika aturannya lahir landasan yang sama. Maka masalah ini akan tetap sama, tidak ada ujung solusinya. Nestapa bagi rakyat, wajar jika ada diksi IndonesiaGelap.
Sistem Islam Memberikan Jaminan Utuh dan Sempurna
Islam adalah sebuah sistem yang mengatur kehidupan. Termasuk bagaimana negara bisa utuh menjadi sebuah ‘negara dan pemimpin’ dengan tupoksinya. Bukan hanya ritual ibadah yang dikerjakan saja. Semua lini kehidupan dibangun atas dasar ruh atau keterikatan hubungan dengan Allah sebagai pencipta yang tidak lain adalah Al-Khaliq wa Al-Mudabir (pencipta dan pengatur). Dengan kata lain, diatur dengan syariat Islam.
Sehingga Islam mendorong untuk bertanggungjawab penuh bukan karena kepada siapa, tapi memang bentuk tanggungjawab kepada Rabb-Nya. Termasuk pemimpin kepada rakyatnya.
Islam memiliki sistem kehidupan yang dibangun atas dasar akidah yaitu keyakinan, dan disempurnakan dengan amal perbuatan sebagai bentuk pembuktian dengan adanya syariat. Syariat akan memberikan batasan atau pengaturan yang harus atau tidak, di antaranya wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram. Perkara ini bukan dihafal saja, namun sebagai penjagaan atas perbuatan umat manusia.
Maka, sebagai pemimpin di dalam Islam diatur serta didorong untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Seorang pemimpin harus mengatur rakyatnya dengan sebaik-baiknya. Termasuk di antaranya solusi yang dibutuhkan rakyatnya, seperti saat ini, mengenai masalah PHK. Negara menyediakan lapangan pekerjaan secara percuma dan seluas-luasnya.
Negara memiliki kepemilikan umum berupa SDA yang layak untuk dikelola, sehingga tidak bergantung kepada negara lain. Hal ini bisa menjadi salah satu keuntungan bagi negara agar bisa mandiri megurus rakyatnya, tanpa utang. Kesejahteraan rakyat menjadi prioritas bukan kesejahteraan diri pemimpinnya saja.
Terlebih, di dalam Islam pemenuhan kebutuhan pokok juga jaminan negara kepada rakyatnya. Di mana dalam Islam solusi dari sistem ekonominya yang harus jelas adalah tentang pendistribusian. Bagaimana agar tidak hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menikmatinya. Sehingga tidak ada kesenjangan. Semua diatur berdasarkan syariat, karena syariat memang Allah turunkan untuk memudahkan tanpa manusia mengatur atau membuat aturan untuk manusia lainnya.
Sebab aturan yang dibuat manusia seperti saat ini, tidak akan menghasilkan solusi selain kerancuan, manusia itu lemah dan terbatas pula aturannya.
Masalah buruh atau pekerja maka erat kaitannya dengan sistem ekonomi dalam negaranya. Dalam salah satu kitab Karya Syeikh Taqiyuddin dibahas mengenal Rancangan Undang-undang Negara Islam, salah satunya bab Sistem Ekonomi, bahwa masalah distribusi menjadi hal urgen di antara kepemilikan serta pemanfaatan.
Distribusi kekayaan harus diatur, artinya setiap orang harus mendapatkan kesempatan untuk memperoleh kemakmuran. Termasuk para pekerja buruh. Mereka layak mendapatkan kembali pekerjaan, terutama bagi laki-laki balig sebagai kepala keluarga, kewajibannya mencari nafkah. Negara membantu meringankan kewajiban tersebut.
Inilah yang dinamakan kesejahteraan atau kedaulatan di tangan syarak, yakni semua akan berdaulat, sejahtera dan makmur melalui syariat. Pilar-pilar utama ekonomi Islam, seperti tauhid, keadilan, larangan riba, larangan gharar, dan hak kepemilikan pribadi. Kesejahteraan buruh tidak perlu diciptakan lagi kecuali dengan menerapkan syari’at Islam dalam sistem ekonomi Islam.
“Kami telah menurunkan kitab suci (Al-Qur’an) kepadamu (Nabi Muhammad) dengan (membawa) kebenaran sebagai pembenar kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan sebagai penjaganya (acuan kebenaran terhadapnya).” (TQS. Al Maidah ayat 48)
Views: 0
Comment here