Oleh: Nana Juwita, S.Si.
Wacana-edukasi.com, OPINI– Pesta Demokrasi akan kembali digelar setelah Pemilu Capres dan Cawapres usai, kini saatnya Indonesia memilih Gubernur dan Bupati untuk tiap-tiap wilayah. Umat banyak berharap bahwa dengan adanya Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) akan dapat memberikan perubahan. Setidaknya, masyarakat berharap bahwa setelah terpilih mereka dapat memenuhi aspirasi masyarakat.
Namun, harapan menuju perubahan akankah tercapai? Di tengah memanasnya suhu politik di negeri ini yang identik dengan politik tawar-menawar antar pertai sehingga menjadikan suasana politik di negeri ini menjadi tidak sehat. Sungguh sangat disayangkan rakyat dibutuhkan hanya pada saat menjelang Pilkada, di mana dalam sistem demokrasi, Kekuasaan menjadi tujuan. Segala macam cara, akan dilakukan bahkan bisa menghalalkan segala macam cara demi meraih kekuasaan. Idealisme pun bisa dikalahkan demi mendapatkan kemenangan.
Adi Prayitno selaku Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI) ini menyampaikan, bahwa prinsip utama politik saat ini adalah untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompok. Tujuannya, mendapat kekuasaan dengan cara apapun. “Demi mengejar keuntungan pribadi dan kelompoknya itu, praktik politik yang terjadi kerap brutal dan membabi buta. Persahabatan dikorbankan. Pertemanan diingkari. Berbohong dan ingkar janji perkara biasa. Bahkan ada yang rela menghabisi partainya sendiri. Semua demi keuntungan politik,” tutur Adi. (www.liputan6.com, 11/08/24)
Di samping itu sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Peneliti Bidang Politik dari The Indonesian Institute (TII) Felia Primaresti menilai bahwa elite parpol memiliki peran yang sangat besar dalam menentukan calon kepala daerah, hal ini disebabkan mekanime pilkada langsung yang memang membuat hal tersebut niscaya. Sehingga kandidat yang maju umumnya harus mendapatkan dukungan dari partai politik.ini sesuai dengan UU Pilkada. Hal ini kerap menjadi menjadi arena tawar-menawar antara para elite partai. Mereka cenderung memprioritaskan kandidat dengan modal politik, finansial, atau koneksi yang kuat daripada kandidat yang betul-betul disuarakan oleh masyarakat. Artinya masyarakat tidak dapat menentukan pilihannya sendiri ketika Parpol dan elit politik tidak merestui. (tirto.id, 10/08/24)
Dari gambaran di atas jelaslah bahwa politik dalam Demokrasi yang mengutamakan standar menfaat dan materi jelas tidak akan mampu mengantarkan masyarakat pada perubahan yang mereka inginkan. Slogan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, hanya lah memberikan kebebasan kepada wakil rakyat untuk membuat aturan atau regulasi sesuai dengan kepentingan kelompok ataupun pribadi, pada akhirnya wakil rakyat yang terpilih lupa untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat, hal ini juga dapat di lihat dari koalisi yang dibentuk hanya dengan mempertimbangan peluang kemenangan, meski berbeda ‘ideologi’, berbeda pandangan politik pada masa lalu dsb. Demikian pula pemilihan figur semata dengan memperhitungan kemenangan bukan pada kapabilitas apalagi integritas calon kepala daerah. Karena itu politik uang menjadi keniscayaan. Politik demokrasi menjadikan uang dan materi sebagai tujuan utama, sehingga wajar politik demokrasi tidak akan mampu melahirkan pemimpin yang amanah yang memikirkan kondisi rakyat yang dipimpinnya.
Adapun di dalam sistem Islam Kepala Daerah baik Gubernur ataupun Bupati dan pejabat-pejabat yang mengurusi daerah tertentu maka, Kholifah lah yang berhak untuk memilihnya sesuai dengan standar syariat Islam. Sehingga di dalam sistem Islam tidak diperlukan adanya penyelenggaraan Pilkada yang membutuhkan modal ataupun dana besar dalam penyelenggaraannya. Di dalam sistem Islam Kholifah akan memilih wali (gubernur) ataupun amil (bupati) sesuai dengan kriteria/sayarat-syarat yang telah ditentukan oleh syariat Islam yaitu: Muslim, Baliq, berakal, merdeka (bukan budak/berada dalam kekuasaan pihak lain), (6) Adil (bukan orang fasik/ahli maksiat), (7) Mampu (punya kapasitas untuk memimpin).
Islam menetapkan kekuasaan adalah Amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. kekuasaan juga hanya untuk menerapkan aturan Allah dan rasulNya. Bukan sekedar untuk memenuhi kepentingan pribadi ataupun golongan. Penguasa harus memiliki kapabilitas dan integritas karena ia akan menjadi pengurus rakyat yang bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan rakyat, dan mampu menyelesaikan berbagai problem kehidupan dnegan berlandaskan syariat islam. Di dalam sistem Islam Kholifah akan benar-benar mengontrol kerja Wali (gubernur) dan juga Amil (bupati) apakah sesuai dengan AL-quran dan Assunah, jika wali dan amil melanggar aturan Islam dalam mengurusi urusan umat, maka Kholifah memiliki wewenang untuk memberhentikan wali ataupun amil pada saat itu juga. Atau jika rakyat di wilayahnya atau anggota majelis umat yang mewakili mereka menunjukkan sikap benci dan tidak ridla terhadap wali tersebut, maka dia harus diberhentikan.
Hal itu, karena Rasulullah Saw. pernah memberhentikan Mu’ad Bin Jabal dari Yaman, tanpa alasan apapun. Beliau juga memberhentikan Ila’ Al Hadhrami yang menjadi amil beliau di Bahrain, hanya karena ada utusan Abdu Qais mengadukannya kepada beliau. Umar Bin Khattab pun pernah memberhentikan seorang wali dengan alasan tertentu dan kadang tanpa alasan apapun. Beliau pernah memberhentikan Ziyad Bin Abi Sufyan tanpa alasan apapun. Beliau juga pernah memberhentikan Sa’ad Bin Abi Waqqash dengan alasan karena orang-orang mengadukan dirinya kepada beliau. Sehingga beliau pernah berkata:
“Aku memberhentikannya bukan karena dia lemah, juga bukan karena dia berhianat.”
Terkait dengan kekuasaan maka umat harus memahami bahwa kekuasaan adalah amanah, ini bisa menjadi beban pemangkunya di dunia sekaligus bisa mendatangkan siksa bagi dirinya di akhirat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya:
Kepemimpinan itu awalnya bisa mendatangkan cacian, kedua bisa berubah menjadi penyesalan dan ketiga bisa mengundang azab dari Allah pada Hari Kiamat; kecuali orang yang memimpin dengan kasih sayang dan adil (HR ath-Thabarani).
Oleh karena itu umat harus menyadari bahwa sistem Islamlah yang akan mampu memberikan perubahan, umat juga mestinya tidak hanya berfokus pada pergantian sosok seorang Pemimpin, namun umat harus memahami bahwa hanya aturan Islam lah yang mampu mewujudkan pemimpin-pemimpin yang amanah, pemimpin yang takut kepada Allah SWT. Dan pemimpin seperti ini hanya akan ada ketika umat menjadikan Islam Kaffah sebagia solusi satu-satunya dalam mengatasi setiap persoalan yang dihadapi pada saat ini. wallahu a’lam bishawab
Views: 6
Comment here