Oleh: Anita Ummu Taqillah (Anggota Komunitas Setajam Pena)
Wacana-edukasi.com — Bak benang kusut yang semakin tak karuan, permasalahan negeri ini pun tak ada bedanya. Masalah pandemi berbuntut panjang. Disertai kebijakan-kebijakan yang terkesan asal-asalan.
Belum lagi usai penambahan kasus covid-19 yang masih terus melonjak, kampanye pilkada di berbagai tempat pun dikhawatirkan menjadi klaster baru yang mengancam di depan mata. Bagaimana tidak, dalam kampanye masyarakat berkumpul mengabaikan protokol kesehatan. Tentu ini akan menambah was-was masyarakat.
Apalagi jika pilkada akan tetap dijalankan, maka kemungkinan terburuk adalah meningkat tajamnya jumlah kasus covid-19. Sebagaimana dilansir cnnindonesia (8/9/2020), Presiden Joko Widodo menyatakan penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 harus tetap dilaksanakan di tengah pandemi virus corona (Covid-19). Pasalnya, tak ada satu pun negara termasuk Indonesia yang mengetahui kapan pandemi ini akan berakhir.
Padahal, banyak kalangan mengkritisi dan menyayangkan kebijakan tersebut. Salah satunya, Mantan Wakil Presiden Indonesia, sekaligus Ketua Palang Merah Indonesia (PMI), Jusuf Kalla (JK) mengimbau KPU membuat aturan ketat terkait mekanisme pengumpulan massa di tengah pandemi Corona.
JK meminta KPU harus membikin syarat-syarat berkumpul atau apa. Kalau terjadi pelanggaran syarat-syarat, katakanlah kampanye hanya 50 (orang), tapi terjadi 200 (orang). Kalau terjadi kecenderungan itu, ya lebih baik dipertimbangkan kembali waktunya.
Selain itu JK juga mengingatkan, Kalau memang sulit dan ternyata susah untuk mencegah perkumpulan orang hanya 50 sesuai aturan yang dikeluarkan oleh masing-masing gubernur, lebih manfaat ke masyarakat itu bisa ditunda pilkada (detiknews, 19/9/2020).
Seperti dikutip merdeka.com (13/9/2020), Pengamat politik, M. Qodari memaparkan risiko ‘bom waktu’ kasus COVID-19 jika pilkada tak ditunda, menggunakan pemodelan matematika.
Direktur Eksekutif Indobarometer itu mengungkapkan jika tahapan kampanye nanti tetap dilakukan dengan tatap muka di 1.042.280 titik (asumsi 100 orang per-titik), maka potensi orang tanpa gejala (OTG) yang bergabung dalam masa kampanye 71 hari nanti diperkirakan mencapai 19.803.320 orang.
Itu dengan asumsi 100 orang per titik (tempat pemungutan suara). Bagaimana jika yang hadir lebih dari itu? Maka, pasti jumlahnya akan semakin banyak. Nyawa rakyat terancam nyata. Na’udzubillah.
Kritik hanyalah kritik yang seolah dianggap angin lalu. Kebijakan tetap diambil. Pilkada akan tetap berjalan meski pandemi belum menepi. Itulah demokrasi. Kepentingan korporasi lebih utama daripada nasib dan nyawa rakyat sendiri.
Bagaimana tidak, ketika covid-19 masih mewabah, pilkada tetap akan digelar demi kekuasaan tetap tenar. Begitulah pemerintahan dalam demokrasi. Demi kekuasaan dan popularitas korporasi, rela melakukan segala cara meski rakyat taruhannya.
Hal itu sesungguhnya semakin menunjukkan, jika sistem demokrasi tak ubahnya rongsokan. Sistem rusak yang lahir dari kerakusan kapitalisme. Sistem yang dibuat oleh manusia, dan untuk manusia yang lemah serta terbatas akalnya. Sehingga wajar jika aturan yang dilahirkannya pun berubah-ubah sesuai keinginan dan kepentingan mereka.
Hal ini tentu sangat berbeda dengan Islam. Islam adalah sistem kehidupan yang berasal dari Sang Maha Sempurna Allah swt. Segala aturan dan sumber hukumnya berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw. Begitu pula dalam penentuan atau pemilihan pemimpin.
Dalam Islam, pemilihan pemimpin atau Khalifah adalah dengan baiat. Setelah para calon memenuhi syarat (Muslim, laki-laki, balig, berakal, merdeka, dan adil), maka akan dipilih melalui majelis umat yang mewakili rakyat. Setelah terpilih maka akan dilakukan baiat taat oleh rakyat.
Pemimpin dipilih bukan karena paksaan atau tekanan, melainkan rakyat memilih karena ketundukan dengan hukum syara. Jadi tidak ada kampanye yang menghabiskan banyak dana seperti dalam demokrasi, yang mempromosikan diri dengan segala atribut dan suap menyuap.
Masa kekuasaan Khalifah pun seumur hidup. Selama tidak ada pelanggaran terhadap syarat utama dan hukum syara, maka seorang Khalifah akan menjabat selama kemampuannya. Sehingga tidak pemilihan berulang-ulang dan rebutan kekuasaan seperti dalam demokrasi. Apalagi, seorang Khalifah adalah pengurus rakyat, tidaklah digaji, hanya mendapatkan tunjangan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Sehingga dalam benak Khalifah hanya bagaimana melaksanakan anah mengurus rakyat sesuai dengan rida Allah swt. Bukan untuk mengumpulkan materi atau ketenaran diri.
Sedangkan untuk pemilihan wali (setara gubernur) dan amil (setara bupati), maka akan dipilih langsung oleh Khalifah. Sehingga hal ini pun akan menghemat biaya. Tidak perlu menghamburkan uang untuk pilkada dan kampanye. Tidak seperti pada sistem saat ini yang setiap 5 tahun sekali mengganti presiden juga gubernur dan bupati. Belum lagi biaya kampanye yang tinggi, suap sana dan sini, yang tak jarang membuat para calon kelimpungan dan stress ketika tidak terpilih. Karena telah banyak mengeluarkan uang, namun kekuasaan hanya angan.
Dari sini dapat disimpulkan, bahwa pemilihan pemimpin dalam Islam sangatlah praktis dan hemat biaya. Apalagi ketika negeri mengalami pandemi, tentu keselamatan rakyatlah yang utama.
Wallahua’lam bish-showab.
Views: 0
Comment here