Oleh: Ummu Zhafran (Pegiat Opini dan Literasi)
Wacana-edukasi.com — Seorang penulis abad 18, Benjamin Disraeli pernah menulis tentang pinjaman. Menurutnya, utang adalah induk dari kebodohan dan kejahatan yang produktif. Tersebab utang, seorang mulia bisa menjelma hina.
Terbayang andai Disraeli masih hidup dan menyaksikan timbunan utang negeri ini. Akankah komentarnya tetap seperti di atas? Entah. Pasalnya, Inggris termasuk negara dedengkot kapitalisme. Bagi ideologi kapitalisme, sah saja bila kebijakan publik suatu negara didanai dari utang. Tercermin dari banyaknya negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis jadi pelaku, baik sebagai pemberi pinjaman maupun pengutang.
Dalam suatu kesempatan, Menteri Keuangan justru menegaskan akan peran penting utang dalam menjaga keseimbangan APBN. Berdalih banyak negara maju pun berutang, maka menurutnya tak mengapa mengandalkan utang selama tujuannya positif dan tak melebihi rasio Pendapatan Domestik Bruto (PDB) (kompas.com, 1/12/2020).
Sebelumnya, mantan Menko Maritim era Presiden Jokowi, Rizal Ramli, di akun sosial media (@RamliRizal, 20/11/2020) sudah menuding rezim sekarang tak ubahnya pengemis utang. Buktinya belakangan sibuk menjual surat utang hanya demi membayar bunga utang sebelumnya.
Dalam benak awam seperti saya, sederhana saja soalnya. Jika setiap kali defisit, utang menjadi solusi, mengapa kebijakan negara tak jauh beda dengan yang diperbuat emak-emak dalam rumah tangganya? Impitan ekonomi juga tak jarang mendorong para ibu rumah tangga jumpalitan mengatur pengeluaran dan utang lantas jadi jurus pamungkas.
Bedanya, jika utang rumah tangga tak terbayar imbasnya cukup ke seputar keluarga besar. Utang negara tentu tak demikian. Bebannya ditanggung hingga tujuh generasi bahkan lebih. Apalagi utang ribawi dengan bunga berbunga. Selanjutnya, demi bisa membayar utang pemerintah tentu bakal menekan pengeluaran dengan meniadakan subsidi dan menambah pemasukan dari pajak.
Sampai kuartal ketiga tahun ini saja, jumlah utang sudah tembus angka 6000 T. Bukan tak mungkin bakal bertambah lagi. Maka klaim pemerintah terkait kondisi utang yang masih aman terkendali patut dipertanyakan.
Apalagi di balik utang luar negeri mengintai bahaya yang sangat besar, baik secara ideologis maupun politis.
Sebagai negeri dengan mayoritas penduduk muslim, idealnya tak menafikan haramnya riba yang menyertai setiap pinjaman luar negeri.
Firman Allah swt.
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 279)
Dalam tafsir Ibnu Katsir, disebutkan jika ayat ini merupakan ancaman yang keras dan peringatan yang tegas terhadap orang-orang yang masih menetapi perbuatan riba sesudah adanya peringatan.
Di sisi lain yang tak kalah membahayakan secara politis yaitu risiko tergadainya kemandirian negara. Sebab bukan rahasia lagi tak ada yang gratis dalam paradigma kapitalis. Maka utang lalu menjelma jadi alat campur tangan dan hegemoni negara debitur terhadap kebijakan negara kreditur. Dengan kata lain jika negeri ini terus menambah utang luar negeri sama artinya menggelar karpet merah bagi penjajahan gaya baru.
Kentara kiranya dalam banyak produk perundang-undangan ditengarai tunduk pada kepentingan asing. Misal UU Minerba, UU Migas, dan yang terbaru, UU Cipta Kerja, dan masih banyak lagi.
Begitulah apabila kapitalisme dibiarkan mengatur negeri. Hegemoni dan penjajahan sejatinya metode baku kapitalisme dalam melanggengkan kekuasaan. Ujungnya rakyat lagi jadi korban. Sudahlah kehilangan subsidi masih harus pula dibebani membayar utang. Mimpi akan hidup sejahtera semakin jauh di awang-awang.
Sudah selayaknya rezim dan umat pada umumnya bersegera meninggalkan riba yang jelas-jelas mengundang murka Sang Pencipta. Ditambah lagi Islam juga mengharamkan segala jalan yang mengakibatkan kaum kafir mendominasi kaum Muslim.
Dalilnya dalam penggalan surah An Nisa ayat 141,
“… Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman”.
Lantas, bagaimana utang asing dalam pandangan Islam? Islam mengamanahkan negara, yang direpresentasikan dengan khalifah mutlak sebagai pihak yang menjamin tegaknya syariah secara kaffah. Menjaga segenap rakyat dari perkara haram dan mendorong sebesarnya untuk fastabiqul khairat ‘berlomba dalam kebaikan’. Maka alih-alih terlibat riba dan menggadaikan kewibawaan negara sebagai gantinya, khalifah justru akan sekuat tenaga menjauhinya.
Penerapan sistem ekonomi Islam akan dilakukan negara dengan merestorasi status kepemilikan pada tempatnya. Mana yang boleh dimiliki individu rakyat, dimiliki secara umum dan dimiliki oleh negara. Islam kemudian mewajibkan negara mengelola kepemilikan umum seperti sumber daya alam, air dan tanah. Hasilnya ditujukan semata untuk memenuhi kebutuhan setiap individu rakyat. Terlarang menjualnya ke pihak swasta atau asing. Otomatis berjalannya negara tanpa utang bukanlah hal yang mustahil.
Demikianlah Islam menjawab tuntas problematik hidup manusia. Bahkan terhadap utang yang dipinjam sebelum tegaknya negara yang menerapkan syariah kaffah pun, Islam punya solusinya. Yaitu dengan tetap memenuhi akad untuk membayar utang. Dengan catatan, semua syarat dan ketentuan tidak melanggar perintah dan larangan Allah Swt. “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS. Al-Maidah: 1)
Maka yang dibayarkan hanya sisa cicilan utang pokok saja, tidak dengan ribanya.
Meski demikian negara harus menempuh berbagai cara untuk meringankan beban dalam pembayaran, antara lain dengan mengajukan pemutihan maupun dijadwal ulang.
Wallaahua’lam bishshawab
Views: 1
Comment here