Oleh Mahrita Julia Hapsari
(Muslimah Aktivis Dakwah)
wacana-edukasi.com, OPINI– Keberadaan penyedia pinjaman online (pinjol) semakin meresahkan. Korban tewas berjatuhan akibat tsunami teror tagihan pinjol. Gantung diri karena depresi pinjol terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Silakan ketik kata kunci “mati bunuh diri karena pinjol”. Kita akan melihat trend bunuh diri ini telah berlangsung sejak tahun 2019. Jumlahnya terus bertambah dan intensitasnya terus meningkat dari tahun ke tahun.
Awal Juli 2023, seorang pemuda di Banjarmasin Kalsel berinisial RA (26) ditemukan gantung diri di rumahnya (kalimantanpost.com, 06/07/2023). Terlilit utang pinjol menjadi pemicu aksinya. Ada juga sepasang suami istri nekat bunuh diri akibat teror utang pinjol, kasus ini terjadi di Banyuwangi pada bulan Juni 2023 (kompas.com, 28/06/2023).
Yang meresahkan dari pinjol, tak hanya bunganya yang fantastis. Utang 2 juta tiba-tiba berbunga-bunga menjadi 100 juta dalam tempo singkat. Teror tagihan pinjol pun sangat meresahkan. Seorang pria berinisial HM (33) di Malang, nekat bunuh diri karena tak kuat teror pinjol. Padahal bukan dia yang berutang. Namun KTP miliknya dipakai temanya untuk utang pinjol. Walhasil, dirinyalah yang diteror oleh tukang tagih pinjol (detik.com, 03/04/2023).
Pinjol Si “Segitiga Bermuda”
Ngeri memang bermain dengan pinjol ini. Aktivitas ribawinya mengantarkan kesempitan hidup di dunia dan siksa di akhirat. Meskipun semenyeramkan Segitiga Bermuda, bisnis pinjol tak ada matinya, tetap banyak peminatnya.
Setidaknya ada tiga golongan yang menggunakan pinjol. Pertama, mereka yang terpaksa karena kebutuhan. Kesempitan ekonomi yang dialami oleh rakyat membuat pinjol menjadi jalan keluar. Harga kebutuhan pokok yang semakin meningkat sementara penghasilan tetap bahkan terancam tsunami PHK pasca pandemi. Ditambah biaya kesehatan dan pendidikan yang tidak sedikit. Walhasil, pinjol menjadi solusi bagi golongan ini.
Kedua, mereka yang memaksa berutang demi lifestyle. Pernak-pernik kehidupan memang menyilaukan. Baru beli gawai anyar dan canggih, ternyata ada lagi model yang terbaru. Jadilah gawai yang dimiliki terasa jadul dan gelisah ingin membeli yang baru lagi. Itu baru dari satu jenis barang, belum yang lain-lain demi terlihat keren. Sementara, isi kantong tak memadai, besar pasak daripada tiang. Pinjol pun siap memenuhi segala hasrat.
Ketiga, golongan penikmat cuan yaitu negara. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, realisasi pajak dari sektor teknologi finansal atau fintech alias pinjol hingga akhir September 2022 senilai Rp 130,09 miliar (liputan6.com, 24/10/2022). Bisnis ribawi ini memberikan penerimaan yang cukup konsisten bagi negara. Fantastis. Seperti menari di atas penderitaan rakyat.
Kapitalisme Ibu Kandung Pinjol
Sistem hidup kapitalisme dibangun atas asas sekularisme. Asas yang memisahkan agama dari kehidupan. Individu yang terbentuk adalah pribadi yang menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan. Terlihat dari cara menyelesaikan kesempitan ekonomi yaitu memilih pinjol, padahal sudah jelas keharaman riba dalam Islam.
Masyarakat kapitalisme dipersuasif dengan suasana konsumtif dan hedonisme. Standar kebahagiaan hanya pada kesenangan dunia dan jasadiyah. Sibuk berlomba-lomba mendandani penampilan diri serta mengejar status-status duniawi.
Di sistem kapitalisme, peran negara justru dimandulkan. Negara yang seharusnya melayani rakyat, namun justru mengutamakan kepentingan para kapital termasuk pengusaha fintech atau pinjol. Sebab negara berharap dapat income dari pajak yang disetor pengusaha.
Sumber pemasukan negara di sistem kapitalisme hanya dari pajak dan utang. Sementara sektor-sektor strategis seperti tambang, dikuasai swasta. Dan negara hanya menunggu pajak yang jumlahnya tak seberapa dibandingkan hasil tambang. Wajar saja jika negara tak mampu melayani rakyat dan menyejahterakannya.
Seharusnya negara juga menjaga rakyat dari kemaksiatan. Sekularisme justru membuat negara membuka peluang bagi rakyat untuk melakukan dosa besar yaitu dosa riba. Iklan pinjol beredar bebas. Bahkan pinjol yang legal pun dapat jaminan dari negara untuk beroperasi.
Jika sistem kapitalisme ini terus dipertahankan, manusia akan terus bergelimang dosa riba dan takkan ada keberkahan di negeri tersebut.
Menggagas Sistem Anti Riba
Satu-satunya sistem yang mampu menutup celah aktivitas riba hanyalah sistem Islam kaffah. Negara Khilafah adalah institusi yang akan menerapkan aturan Islam kaffah berlandaskan akidah Islam.
Secara tegas Allah SWT telah melarang aktivitas riba, “dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275). Rasulullah Saw. memperkuat larangan riba lewat hadits beliau. “Jika zina dan riba sudah menyebar di suatu kampung maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka sendiri”. (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani).
Secara komprehensif, Khilafah akan membangun sistem anti riba. Sistem pendidikan Islam akan mencetak manusia yang berkepribadian Islam, berpola pikir dan bertingkah laku sesuai dengan syariat Islam. Mematuhi semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Hidup untuk beribadah dan mencari ridho Allah sebab akan kembali kepada Allah SWT untuk mempertanggungjawabkan amal perbuatan selama hidup di dunia.
Masyarakat Islam akan berlomba-lomba dalam kebaikan, beramal soleh. Saling mengingatkan dan menasehati, amar makruf nahi munkar. Saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.
Sistem ekonomi Islam menjamin kesejahteraan rakyat individu per individu. Adanya pembagian kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam akan memaksimalkan potensi besar SDA untuk rakyat. Sebab di sistem ekonomi Islam, SDA adalah milik umum.
Takkan subur aktivitas ribawi jika individunya bertakwa, masyarakat saling tolong menolong dan negara menjamin kesejahteraan rakyatnya. Dengan demikian, hanya khilafah yang mampu menuntaskan aktivitas riba di tengah masyarakat. Wallahu a’lam []
Views: 17
Comment here