Surat Pembaca

Pinjol Pendidikan dan Paradoks Sistem Sekuler

Bagikan di media sosialmu

Oleh Dewi Royani (Dosen dan Muslimah Pemerhati Generasi)

wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Pinjaman online (pinjol) kini diajukan sebagai solusi pembiayaan pendidikan. Karena banyak yang ingin melanjutkan jenjang pendidikan ke tingkat lebih tinggi tetapi terganjal biaya. Akhirnya, pinjol diajukan sebagai solusinya. Namun, ternyata permasalahan bukannya selesai. Ternyata banyak timbul permasalahan baru lagi.

Dikutip dari cnnindonesia.com pada hari Rabu (3/7/2024), Menteri Koordinator Pembangunan dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menyatakan dukungannya terhadap mahasiswa yang menggunakan layanan student loan atau pinjaman online (pinjol) untuk membiayai pendidikannya.Muhadjir menjelaskan, sistem pinjol dilingkungan akademik melalui perusahaan P2P lending adalah bentuk inovasi teknologi. Hal itu diungkapkan pada saat menanggapi desakan DPR RI kepada Kemendikbudristek RI untuk menggaet BUMN mengenai upaya dukungan finansial untuk pendidikan mahasiswa.

Muhadjir mengatakan, setidaknya sudah ada 83 perguruan tinggi yang menggunakan mekanisme pembayaran uang kuliah menggunakan pinjol melalui kerja sama resmi. Menurut Muhadjir, skema ini dapat menumbuhkan semangat juang dan rasa tanggung jawab pada mahasiswa. Mahasiswa didorong untuk mandiri dalam mencari solusi keuangan, termasuk bagi mereka yang menempuh jurusan dengan prospek kerja yang menjanjikan. Diharapkan agar mahasiswa tidak hanya mengandalkan bantuan orang tua, melainkan proaktif dalam mencari peluang untuk membiayai pendidikannya sendiri. (detiks.news.com,3/7/2024)

Dukungan pejabat terhadap skema pinjol untuk pendidikan menunjukkan kerusakan paradigma kepemimpinan dalam sistem sekuler kapitalis. Sistem ini justru mendukung praktik yang merugikan masyarakat dan menghambat pencapaian tujuan pendidikan. Selain itu, sikap pejabat ini menunjukkan kegagalan negara dalam menjalankan tugasnya untuk melayani rakyat dan meningkatkan kualitas pendidikan.

Pinjol untuk pendidikan sejatinya mencerminkan kegagalan negara dalam memahami hak dan tanggung jawabnya. Pendidikan merupakan hak kolektif rakyat dan menjadi salah satu pilar utama kemajuan suatu negara. Oleh karena itu, merupakan kewajiban negara untuk memastikan akses pendidikan yang berkualitas dan terjangkau bagi seluruh rakyatnya. Namun sayangnya pandangan kapitalisme tidak sejalan dengan hal tersebut. Sistem kapitalis sekuler justru mendorong privatisasi pendidikan dan membebani rakyat dengan biaya yang tinggi. Di sisi lain, tekanan ekonomi yang dihadapi masyarakat saat ini mendorong mereka untuk mencari solusi cepat, seperti pinjaman online (pinjol), untuk memenuhi kebutuhan hidup termasuk untuk pendidikan.

Paradigma kapitalisme memandang hubungan antara penguasa dan rakyat seperti hubungan dagang. Penguasa berperan sebagai penjual, sedangkan rakyat sebagai pembeli. Layaknya penjual yang ingin mendapatkan keuntungan dari dagangannya, penguasa pun menginginkan hal yang sama. Setiap layanan yang diberikan kepada rakyat harus menghasilkan keuntungan bagi penguasa. Gagasan pinjaman online untuk pendidikan juga mencerminkan paradigma ini. Pinjol untuk pendidikan diprediksi dapat menjadi produk keuangan baru yang menguntungkan bagi pihak-pihak tertentu seperti asuransi dan perbankan. Pada akhirnya keuntungan finansial menjadi motif utama dari pinjol untuk pendidikan.

Inilah bukti bahwa sistem kapitalis sekuler mendistorsi makna pendidikan dengan menjadikannya alat investasi untuk meraih keuntungan ekonomi bagi individu atau kelompok tertentu. Pandangan ini melahirkan paradoks dalam memandang pendidikan. Di satu sisi, pendidikan diakui sebagai kunci kemajuan individu dan masyarakat. Namun, di sisi lain, pendidikan dikomersilkan dan dijadikan alat untuk meraih keuntungan finansial.

Lain kapitalisme, lain pula dengan Islam. Islam memandang hubungan penguasa dengan rakyat sebagai hubungan pengurusan, pelayanan dan tanggung jawab. Rasulullah saw. bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari)

Islam memposisikan pendidikan sebagai kebutuhan dasar manusia. Oleh karenanya, negara wajib memastikan kemudahan akses pendidikan gratis dan berkualitas bagi seluruh warga negara. Pendidikan tak boleh diperjualbelikan seperti barang mewah. Tidak hanya mereka yang mampu membayar yang dapat merasakan manfaatnya. Ketidakmampuan finansial tidak boleh menjadi hambatan bagi siapa pun untuk mengenyam pendidikan.

Seluruh pembiayaan pendidikan di dalam sistem Islam (Khilafah) ditempuh dengan menerapkan sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam akan mengatur sumber pendapatan negara secara terstruktur dan akuntabel, sehingga terjamin pembiayaan pendidikan yang merata dan bermutu. Pembiayaan pendidikan diambil dari Baitul Mal. Terdapat 2 (dua) sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu: (1) pos fai’ dan kharaj—yang merupakan kepemilikan negara. (2) pos kepemilikan umum seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan).

Mewujudkan pendidikan gratis tidak dapat terealisasi tanpa ditopang oleh makrosistem yang mendukung sistem pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan penerapan sistem Islam secara komprehensif dalam wadah institusi Khilafah Islamiyyah. Wallahua’lam bishawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 11

Comment here