Opini

Pinjol untuk Pendidikan, Negara Lepas Tangan?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Rines Reso (Pemerhati Masalah Sosial)

wacana-edukasi.com, OPINI– Dampak komersialisasi pendidikan sudah lama dirasakan. Ketika ingin memberikan pendidikan yang terbaik, secara kualitas maupun fasilitas, orang tua harus rela membayar lebih mahal untuk anak-anaknya. Keadaan ini makin diperparah lagi saat orang tua berharap menyekolahkan anak mereka ke jenjang perguruan tinggi.

Polemik kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) yang membuat rakyat kian menjerit tak kunjung mendapat solusi yang mampu meregangkan himpitan perekonomian rakyat. Dengan dalih meringankan beban rakyat, pemerintah dengan enteng menyodorkan solusi pinjol kepada mahasiswa untuk membayar UKT.

Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy mendukung wacana student loan atau pinjaman online (pinjol) kepada mahasiswa untuk membayar uang kuliah. Hal itu diungkap merespons dorongan DPR RI kepada Kemendikbudristek RI menggaet BUMN terkait upaya pemberian bantuan dana biaya kuliah untuk membantu mahasiswa meringankan pembayaran (CNN Indonesia, 3-7-2024). Bahkan, menteri tersebut menilai adopsi sistem pinjaman online (pinjol) melalui perusahaan P2P lending di lingkungan akademik adalah bentuk inovasi teknologi (Tirto.id, 3-7-2024).

Realitas ini menegaskan polemik UKT belum usai. Berbagai kasus mahasiswa gagal bayar UKT di berbagai kampus negeri, nyatanya tidak lantas membuat pemerintah terketuk hatinya sehingga membatalkan kenaikan UKT untuk seterusnya, bahkan jika perlu menggratiskannya. Pembatalan kenaikan UKT 2024 ini hanyalah sementara, sembari menunggu tahun depan.

Namun, menjadikan pinjol sebagai solusi pembayaran UKT jelas memosisikan pemerintah sebagai raja tega. Hal itu makin menyakiti rakyat. Pemerintah bukannya berusaha empati karena rakyat sudah terlilit banyak masalah ekonomi, tetapi malah menambah beban masa depan dengan menyarankan pembayaran UKT melalui pinjol. Rasanya, semua orang juga mengetahui bahwa pinjol adalah pintu gerbang jerat ribawi. Pinjol pun tidak lebih baik daripada judol.

Sebagai informasi, berdasarkan laporan OJK, nilai penyaluran pinjol di Indonesia mencapai Rp22,76 triliun per Maret 2024. Nominal tersebut tumbuh 8,89% dari bulan sebelumnya (month-on-month/mom) yang besarnya Rp20,90 triliun. Angka kucuran Maret 2024 itu juga meroket sekitar 15,35% dari periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy) yang besarnya Rp19,73 triliun per Maret 2023.

Penyaluran pinjol pada Maret 2024 masuk ke 9,78 juta akun penerima pinjaman. Jumlah peminjam tersebut naik 6,36% secara bulanan (mom). Sebanyak 7,3 juta akun peminjam berasal dari Pulau Jawa atau setara 75% dari total peminjam nasional. Dari total pinjaman Maret 2024, sebanyak Rp7,65 triliun di antaranya atau 33,61% masuk ke sektor produktif.

Melihat data ini, termasuk polemik UKT yang sudah terjadi sebelumnya dan belum ada solusi tuntasnya, maka pelajaran apa yang bisa kita ambil? Benarkah pinjol solusi UKT? Atau sejatinya fenomena ini adalah bukti nyata gagalnya pemerintah menyejahterakan rakyatnya dan sebaliknya malah menjerumuskan rakyatnya?

Negara Lepas Tangan

Pada titik ini kita layak untuk menyadari bahwa skema pinjol untuk pendidikan telah menjelaskan bahwa rakyat diminta untuk mengupayakan sendiri biaya pendidikan tinggi, bagaimanapun caranya. Meski pemerintah tampak mencoba menawarkan sejumlah alasan seperti menerbitkan kebijakan kerja sama dengan lembaga pinjol resmi, tetapi tetap saja tidak bisa menutupi aksi lepas tangan dari tanggung jawab mencerdaskan rakyat.

Ketika di satu sisi polemik UKT menegaskan kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan, pemerintah bukannya berkontribusi menyolusi dengan berusaha mengembalikan subsidi, tetapi malah menawarkan solusi pragmatis yang menambah masalah baru. Jika pinjol kemudian benar-benar menjadi solusi, ini adalah kebijakan yang menjerumuskan rakyat pada keharaman. Pinjol tidak mungkin lepas dari sistem bunga (riba), bukan?

Untuk itu, tidak berlebihan jika kita menilai bahwa kondisi ini justru menunjukkan pemerintah tidak berkontribusi apa-apa dalam menunaikan pendidikan sebagai hak rakyat. Sektor publik yang semestinya menjadi pelayanan dari pemerintah bagi rakyatnya, telah dikomersialkan. Sementara itu, sumber utama pemasukan negara malah berasal dari pajak hasil memalak rakyat. Lantas, apa yang bisa kita pertahankan dari negara yang seperti ini?

Kapitalisme Menyengsarakan

Beginilah paradigma kepemimpinan dalam sistem sekuler kapitalisme, sekadar berorientasi pada materi tanpa peduli lagi halal haram. Pinjol yang berbasis riba yang telah jelas keharamannya sudah pasti merusak akidah masyarakat yang mayoritas Muslim.

Pejabat dalam sistem ini tak peduli, apakah rakyatnya yang Muslim memilih terjerat dengan riba ataukah meninggalkannya. Terlebih, pejabat dalam sistem ini pun tak ambil pusing apabila rakyatnya yang terjerat riba di dunia dipastikan kelak akan mempertanggung jawabkan perbuatannya di Yaumil hisab.

Sungguh, pinjol bukanlah inovasi teknologi yang mampu meringankan beban biaya pendidikan seperti yang diucapkan bapak menteri. Telah banyak contoh, kasus rakyat yang terjerat pinjol tidak berakhir dengan kebahagiaan.

Tidak sedikit kasus kekerasan, kriminal, bunuh diri hingga pembunuhan akibat dari jeratan pinjol. Kalaupun mereka yang mampu membayar cicilan pinjol, hidupnya pun penuh dengan kesempitan, entah itu gali lubang tutup lubang, atau hartanya terkuras habis demi melunasi pinjol.

Wahai bapak menteri, pinjol bukan jalan meringankan beban, pinjol hanya salah satu jalan menuju kerusakan dunia akhirat. Tidakkah pinjol yang bapak dukung ini tidak lebih sekadar menjadi bukti lepasnya tanggung jawab dalam mengurus rakyat, terutama urusan pendidikan?

Masyarakat Muslim saat ini sudah minim akidahnya. Racun sekuler kapitalistik telah mengaburkan pandangan umat, sesuatu yang jelas haram nampak kabur saat telah banyak yang mengambilnya. Terlebih kemiskinan menjadikan masyarakat seakan merasa tak memiliki pilihan lain selain harus mengambil yang haram.

Negara gagal memenuhi kewajibannya, tak mampu memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, tak bisa memberikan jaminan kesejahteraan tiap individu rakyatnya. Inilah wujud penderitaan rakyat saat diatur dengan sistem sekuler kapitalisme, sistem batil buatan manusia.

Sistem Islam Mensejahterakan

Berbeda 180 derajat dari sistem sekuler kapitalisme, paradigma kepemimpinan dalam sistem Islam adalah menjadikan pemimpin sebagai raain yang berkewajiban meriayah seluruh urusan rakyatnya. Pelaksanaan kewajiban ini diyakini bakal dipertanggungjawabkan kelak di Yaumil Akhir.

Oleh karena itu, pemimpin dalam Islam bukan sekadar memenuhi kebutuhan pendidikan rakyatnya saja, akan tetapi seluruh kebutuhan dasar rakyatnya, baik sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Pemenuhan kebutuhan dasar ini, negara akan memastikan per individu rakyatnya telah memperolehnya.

Sedangkan pinjol berbasis riba yang jelas keharamannya sudah pasti tidak akan ada dalam sistem Islam. Negara akan menjaga akidah umat dari segala sesuatu yang haram, baik riba ataupun perbuatan haram lainnya. Tidak akan ada pemimpin dalam sistem Islam menjerumuskan rakyatnya dalam keharaman.

Dalam Islam, akan melahirkan pemimpin yang taat syariat, pemimpin yang menerapkan syariat dalam setiap bidang kehidupan, serta pemimpin yang menjaga umat agar terikat dengan tuntunan syariat. Inilah sistem kehidupan yang mampu memberikan kesejahteraan, baik di dunia maupun di akhirat.

Wallahu a’lam bish shawwab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 9

Comment here