Opini

Plularisme dalam KUA, Buah dari Sekularisme

Bagikan di media sosialmu

Oleh : Nia Umma Zhafran

wacana-edukasi.com, OPINI-– Akhir-akhir ini ramai diperbincangkan mengenai rencana yang disampaikan langsung oleh Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas, terkait rencana Kantor Urusan Agama (KUA) yang akan menjadi tempat menikah bagi semua agama. Ia menekankan KUA sebagai sentral pelayanan keagamaan untuk semua agama. Ia pun mendorong KUA bertransformasi sebagai tempat yang tidak hanya melayani umat Islam saja. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bandung merespon bahwa tidak keberatan jika Kantor Urusan Agama (KUA) mencatatkan pernikahan warga non Muslim, serta aulanya digunakan sementara untuk peribadatan mereka. Menurutnya, memang sudah seharusnya KUA itu melayani semua warga negara tak hanya umat Islam. (Inilahkoran.id, 28/02/2024)

Wacana KUA menjadi tempat pernikahan dan pencatatan bagi semua umat beragama tentunya menjadi polemik ditengah-tengah masyarakat. Jika melihat Keputusan Menteri Agama No. 517 Tahun 2001 tentang Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan, tugas KUA adalah melaksanakan sebagian tugas dari Kantor Departemen Agama Kabupaten dan Kota dibidang Urusan Agama Islam dalam wilayah Kecamatan. KUA merupakan suatu unit pelaksana teknis pada Kementerian Agama yang berada di bawah dan juga bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (BIMAS) Islam. Pernikahan warga negara Indonesia sendiri dibedakan sesuai agama dalam UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dimana pernikahan Muslim dicatat oleh KUA, sedangkan umat agama lainnya dicatat oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

Gagasan yang dilontarkan Menag, Yaqut telah mencerminkan konsekuensi dalam penerapan sistem sekularisme di negeri ini. Dimana sekularisme melegalkan kebebasan dalam beragama yang berimplikasi pada keharusan negara menjamin hal tersebut. Sehingga semua agama dipandang harus mendapatkan perlakuan yang sama tanpa memperhatikan batasan-batasan yang dibolehkan atau dilarang dari agama, khususnya umat Islam. Kementerian Agama yang awalnya dibentuk untuk melayani kepentingan umat Islam, namun dengan dalih toleransi dan menghargai umat lain, Kementerian Agama berubah fungsi menjadi sebagai pelayan kepentingan semua agama. Hal ini secara tidak langsung merupakan bentuk pengakuan terhadap pengakuan terhadap kebenaran agama lain.

Jelas, ini merupakan aroma pluralisme yang semakin menguat. Paham pluralisme sangat bertentangan dengan pemikiran Islam, karena menganggap semua agama benar. Yang membedakan hanya Tuhan dan ajarannya saja. Bahwa prularisme memandang bahwa siapa pun layak mendapatkan tempat terbaik di akhirat kelak. Selama dia taat pada yang dianggap Tuhan di dunia. Dengan menguatnya pluralisme di tengah masyarakat, tentu hal ini akan mengaburkan pemahaman yang hakiki bahwa Islam merupakan satu-satunya agama yang diridhai disisi Allah (Lihat TQS. Al Maidah: 3).

Apalagi dengan melemahnya pemahaman umat Islam saat ini akibat pendidikan sekuler yang diterapkan di negeri ini. Kebijakan ini tentu akan semakin mengaburkan pemahaman kaum muslimin atas ajaran Islam yang benar. Memang benar bahwa negara tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap pemeluk agama manapun. Namun, kebijakan pemerintah yang menyatukan urusan pernikahan dalam satu institusi sudah merupakan bentuk ikut campur terhadap ajaran agama selain Islam. Kebijakan ini tentu sejalan dengan pengarusan ide moderasi Islam atau beragama yang saat ini masif dilakukan di seluruh dunia Islam.

Islam merupakan sebuah ideologi yang memiliki akidah dan memancarkan berbagai peraturan kehidupan darinya. Adanya gagasan moderasi beragama yang mencakup pluralisme hanya akan menjauhkan umat dari pemahaman Islam sebagai Ideologi dan menghambat kebangkitan Islam Ideologis. Semua ini tidak lepas dari agenda barat yang tidak akan pernah rela kepemimpinan Islam ideologi tegak demi melanggengkan hegemoni Kapitalisme Global di dunia. Termasuk di negeri-negeri Islam sendiri tidak pernah memandang buruk adanya keberagaman di tengah masyarakat. Sebab, pluralitas (keberagaman) merupakan sunatullah atau suatu hal yang wajar yang kita terima sebagai suatu kenyataan. Bahkan, ketika Negara Islam berdiri, masyarakatnya berasal dari beragam suku bahkan tak sedikit orang non Muslim tinggal di negara Islam atau dikenal dengan kafir dzimmi. Akan tetapi, pluralitas atau keberagaman sangat berbeda dengan pluralisme yang didefinisikan sebagai paham yang mengajarkan semua agama sama. Maka pluralitas berarti kemajemukan atau keberagaman.

Selama belasan abad Islam berhasil mempersatukan umat manusia dalam ikatan akidah Islam. Disisi lain, harta, jiwa dan kehormatan warga non Muslim senantiasa terpelihara dalam naungan syariat Islam dibawah naungan Khilafah. Kaum muslim berhasil menciptakan kesejahteraan yang berkeadilan di tengah manusia. Syariat Islam menata agar setiap warga negara baik muslim atau non Muslim mendapat jaminan kebutuhan pokok semisal pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan. Berkat keadilan hukum-hukum Islam inilah gejolak sosial dan konflik di tengah masyarakat dapat dihilangkan dan kerukunan pun tercipta.

Jika kita kaji syariat dengan baik, maka kita akan mendapat betapa syariat Islam telah memberikan panduan rinci bagaimana menangani urusan kaum muslim juga non Muslim yang hidup dibawah naungan negara Khilafah. Dalam hal pernikahan, umat non Muslim diizinkan untuk saling menikah antar mereka berdasarkan keyakinannya. Mereka dapat dinikahkan di Gereja atau Sinagog oleh Pendeta atau pun Rabbi mereka. Juga dapat bercerai menurut aturan agama mereka. T. W. Arnold dalam bukunya yang berjudul”The Preaching of Islam”, bahwa Uskup Agung dan Kristen Sinoda menyatakan segala hal yang berkeyakinan dan dogma tidak menerima intervensi apapun dari negara Khilafah. Artinya, negara tidak ikut campur dalam urusan privat non Muslim dalam Khilafah.

Adapun dalam masalah hubungan sosial kemasyarakatan, non Muslim wajib mengikuti syariat Islam seperti sistem sanksi, peradilan, sistem pemerintahan, ekonomi dan kebijakan luar negeri. Sebab, negara Islam akan menerapkan aturan-aturan tersebut pada semua orang secara sama tanpa memandang muslim atau non Muslim. Beginilah Khilafah beserta bukti otentiknya memperlakukan umat non Muslim atau ahlu dzimmah dalam kekuasaannya. Penerapan Islam benar-benar hadir sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia.

Rancangan kebijakan dengan menggaungkan moderasi beragama, sejatinya hanya mendatangkan murkanya Allah karena mencampur adukkan yang haq dengan yang batil. Seperti firman Allah, “Dan janganlah kamu mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan. Dan (janganlah) kamu menyembunyikan kebenaran. Sedangkan kamu mengetahuinya.” (TQS.Al-Baqarah [2]: 42).

WalLaahu a’lam bish-showwab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 17

Comment here