Oleh Asyifa’un Nisa
(Mahasiswi pascasarjana dan pegiat literasi)
Sudah terlalu lama rakyat sengsara diatur dengan berbagai aturan yang bersumber dari akal manusia yang lemah dan terbatas, aturan silih berganti tapi kesejahteraan jelas tak pernah diraih.
Wacana-edukasi.com — Lebih dari 350.000 orang turut serta menandatangani petisi yang digagas oleh Suharti Ete tentang penolakan Permenaker no. 2 tahun 2022 melalui situs change.org. Petisi ini ditujukan langsung kepada Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah sebagai bentuk kekecewaan masyarakat atas pemberlakuan permen tersebut. Selain itu penolakan juga dilakukan oleh kalangan buruh yang mengancam akan melakukan demonstrasi besar-besaran jika permen ini tidak dicabut. Bahkan kritik juga datang dari kalangan pakar dan ahli, salah satunya dari Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Indonesia (UI) Aloysius Uwiyono yang turut serta memberikan pandangannya. Menurutnya terdapat kejanggalan dalam penetapan permenaker no.2 tahun 2022, dimana hal ini beriringan dengan kewajiban pemerintah dalam memperbaiki UU Cipta Kerja yang sebelumnya ditetapkan Inkonstitusional Bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Permenaker no.2 tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) dinilai sangat merugikan masyarakat. Pasalnya dalam permen tersebut mengatur syarat usia pengambilan manfaat JHT yakni pada usia pensiun atau 56 tahun, termasuk bagi pekerja yang mengundurkan diri ataupun terkena PHK. Hal ini tentu menimbulkan berbagai polemik di masyarakat, terlebih ditengah pandemi Covid-19 yang tak kunjung berakhir membuat para pekerja selalu dihantui dengan PHK sebagai solusi perusahaan dalam meminimalisir biaya operasionalnya. Pengamat hukum Ahmad Khozinudin dalam “Jahat, Gaji Intel Dinaikkan, JHT Ditunda 56 Tahun?” yang tayang di kanal YouTube Ahmad Khozinudin, Senin (14/2/2022), mengatakan “Patut diduga ada indikasi penyalahgunaan wewenang. Alokasi anggaran yang mestinya liquid untuk pencairan dana JHT kapan pun si pekerja mengalami PHK, tiba-tiba tidak liquid. Berarti ada masalah yang kemungkinannya ada dua, yaitu realokasi anggaran atau investasi bisnis yang gagal.”
Munculnya kebijakan ini tentu semakin menimbulkan berbagi spekulasi tentang kemana larinya dana JHT. Dalam pernyataan salah seorang anggota DPR dari Fraksi PAN, Saleh Partaonan Daulay menjelaskan bahwa sebagian besar dana JHT diinvestasikan oleh pemerintah dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN). Saleh juga menduga adanya penggunaan dana penjualan SUN untuk pembangunan berbagai infrastruktur negara, salah satunya rencana pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara (Republika.co.id, 20/02/2022).
Hal ini nyatanya sejalan dengan pernyataan Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, Anggoro Eko Cahyono mengatakan pihaknya mengelola dana JHT sebesar Rp. 372,5 triliun per 2021. Ia juga menambahkan bahwa sebanyak 65 persen dari total dana tersebut ditempatkan pada instrument investasi obligasi dan surat berharga, yang 92 persen diantaranya dialokasikan pada SUN.
Bukan tidak mungkin jika realokasi dana JHT ke dalam berbagai investasi obligasi nonriil ini menjadi sebab utama perubahan peraturan pencairan dana tersebut. Jika ditelisik lebih jauh, persoalan JHT ini bukan semata perkara jaminan hari tua para pekerja melainkan bukti komitmen pemerintah dalam menjaga uang rakyat yang sangat amat mengecewakan. Sebagaimana dipahami bahwa dana JHT jelas merupakan uang rakyat yang bersumber dari pemotongan gaji karyawan setiap bulannya dengan persentase tertentu. Hal ini menjadi bukti otoritarian rezim kapitalis, tidak hanya melahirkan kebijakan tangan besi yang menyengsarakan rakyat tapi secara jelas telah menggunakan tugasnya sebagai pembuat kebijakan untuk menangguhkan uang rakyat dengan dalih jaminan. Mirisnya pemerintah hari ini tidak bertindak sebagai pihak yang berkewajiban menghadirkan kesejahteraan rakyat, melainkan hanya bertindak seperti perusahaan asuransi yang berbelit-belit dengan dana yang tidak liquid.
Hal seperti ini tentu tidak akan terjadi dalam sistem Islam, di mana Islam mengatur bahwa kewajiban menjamin kebutuhan dasar rakyat sejatinya dipegang penuh oleh negara dalam hal ini pemerintah. Negara berkewajiban penuh menjalankan pemerintahan dengan tujuan utama melayani rakyat dan membawa kemaslahatan bagi rakyat, baik dalam hal penyedia lapangan pekerjaan maupun dalam hal menjamin masyarakat yang berusia lanjut. Selain itu pendapatan negara dalam sistem Islam tidak bersumber dari uang rakyat baik pajak maupun pugutan-pungutan lain sebagiamana hari ini, tapi negara berhak secara penuh mengelola segala kekayaan alam sebagai kepemilikan umum yang kelak hasilnya akan dialokasikan ke dalam pembiayaan kebutuhan dasar rakyat dan bebagai pembangunan. Maka tak heran jika dalam sistem Islam, pemerintah dapat dengan mudah memberikan pelayanan dan berbagi fasilitas yang gratis kepada rakyatnya. Tentu sangat berbeda dengan sistem kapitalis hari ini, dimana pemerintah dengan senang hati membuat kebijakan yang memungut uang rakyat dengan dalih pembangunan hingga dalih jaminan.
Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna juga mengatur secara tegas pengelolaan keuangan negara hanya boleh berputar pada aspek ekonomi riil semata, bukan pada aspek nonriil sebagaimana marak terjadi hari ini. Hal ini dikarenakan dalam pengelolaan ekonomi nonriil, konsep keuntungan dan kerugian investasi bersandar pada spekulasi yang tidak pasti dan sarat akan sistem ribawi yang diharamkan di dalam Islam. Berdasarkan fakta-fakta di atas tentunya ini semua sudah cukup menjadi pelecut semangat masyarakat untuk segera bergegas memperjuangkan penerapan sistem Islam dan mencampakkan sistem kapitalis yang menjadi dasar pijakan negara hari ini. Sudah terlalu lama rakyat sengsara diatur dengan berbagai aturan yang bersumber dari akal manusia yang lemah dan terbatas, aturan silih berganti tapi kesejahteraan jelas tak pernah diraih. Maka sudah saatnya masyarakat paham bahwa hanya syariat Islam yang mampu menjadi solusi dari segala problematika kehidupan hari ini.
Hadanallah waiyyakum, Wallahu a’lam bishawwab
Views: 19
Comment here