Oleh: Nunik Krisnawati, S.E.
(Pemerhati Lingkungan dan Sosial)
Pemerintah baru saja mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) turunan UU Cipta Kerja mengenai penghapusan Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dari daftar jenis limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Ketentuan tersebut tercantum dalam PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (detiknews.com, 12/03/2021).
PP 22/2021 itu menggantikan PP 101/2014 tentang limbah batu bara sebagai Limbah B3. Dalam ketentuan baru nya, FABA dikeluarkan dari limbah B3. Limbah FABA sendiri merupakan jenis padat dari proses pembakaran batu bara pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), boiler dan tungku industri untuk bahan baku atau keperluan konstruksi.
Usulan dihapusnya FABA dari daftar Limbah B3 berasal dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dan 16 Asosiasi Industri. Mereka sepakat mengusulkan FABA bukan termasuk Limbah B3 dari beberapa hasil pengujian (bisnis.com, 18/06/2020).
Senada dengan hal itu, pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pun mengemukakan bahwa limbah abu batu bara dari hasil pembakaran PLTU tidak memenuhi syarat dalam kategori bahan berbahaya. Walaupun demikian, pihaknya tetap mengawasi pengelolaan limbah non-B3 (merdeka.com, 15/03/2021).
Lain halnya dengan Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nur Hidayati, dia mengatakan bahwa saat ini FABA masih tergolong kategori B3. Limbah FABA sudah memberikan dampak bahaya kepada lingkungan dan masyarakat dalam jangka panjang. WALHI menemukan fakta ada 15 anak-anak di Jawa Tengah yang jarak tempat tinggalnya 100 meter dari penampungan batu bara menderita bronkitis. Bahkan di tahun lalu beberapa korban meninggal dunia. Menurut Nur, sikap pemerintah dengan mengeluarkan PP penghapusan FABA dari daftar jenis limbah B3 tidaklah etis, mengingat penelitian Harvard menemukan tingginya potensi kematian bagi penderita Covid-19 yang hidup di daerah tinggi polusi.
Berbagai aktivis lingkungan, pakar lingkungan bahkan masyarakat mendesak Presiden Jokowi mencabut PP penghapusan FABA dari kategori limbah B3. Sebab banyak penelitian membuktikan bahwa limbah tersebut berbahaya bagi lingkungan dan masyarakat terutama yang berada di sekitar wilayah PLTU (tempo.co, 14/03/2021). Jika demikian lalu mengapa pemerintah malah menghapus FABA dari daftar limbah B3?
Tekanan Pengusaha dan Oligarki Batu Bara.
Kebijakan-kebijakan pro korporasi dan oligarki bukan kali ini saja diberlakukan. Mulai dari revisi UU Minerba, UU Omnibus Law Cipta Kerja, proyek hilirisasi batu bara yang mengusik RUU EBT, sekarang penghapusan FABA dari kategori limbah B3. Semua ini tentu memberi keuntungkan pada para korporasi batu bara.
Berdasarkan penjelasan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi ketika FABA dikategorikan limbah B3 akan sulit dimanfaatkan dan akan memerlukan biaya yang lebih besar. Hal ini disambut baik oleh Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI). Pasalnya saat Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) masuk daftar limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3) pengusaha batu bara mengalami kerugian antara Rp50 miliar hingga Rp2 triliun per tahun. Biaya itu dikeluarkan perusahaan untuk membayar biaya penempatan limbah ke pengolah limbah. Hal ini diungkap oleh Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia kepada detikcom, Jumat (12/3/2021).
Jika kita telisik, perlindungan lingkungan oleh negara dan industri dianggap sebagai beban yang harus dikurangi atau bahkan dihilangkan. Terlihat jelas bahwa pengusa menjadi jalan bagi para pengusaha untuk meraih keuntungan yang besar dari kebijakan yang ditetapkannya. Sungguh miris, demi menyenangkan para pengusaha/kapital, penguasa rela mengorbankan masyarakat dan lingkungan. Protes yang dilayangkan oleh semua kalangan tak pernah digubris.
Semua ini merupakan konsekuensi dari diterapkannya sistem ekonomi kapitalis. Kebebasan kepemilikan yang diagung-agungkan telah mengizinkan aset umum bisa diprivatisasi oleh swasta. Padahal, semua itu seharusnya dikelola oleh negara dan hasilnya diperuntukkan untuk kemaslahatan umat. Akibatnya, bukan hanya rakyat saja yang sengsara, alam pun menjadi porak-poranda karena keserakahan para pengusaha batu bara. Ekosistem lingkungan rusak akibat limbah industri, sungai-sungai tercermar, udara tercemar akibat abu batu bara. Hewan-hewan pun tak nyaman hidup karena udara dan lingkungan tak lagi sehat.
Anehnya pemerintah justru menjadi pengaman koorporasi. Iming-iming bahwa pengelolaan SDA oleh asing akan membawa rakyat lebih sejahtera dengan banyaknya lapangan pekerjaan, upah yang tinggi hanyalah ilusi belaka.
Islam Melindungi Rakyat dan Lingkungan
Pengelolaan industri ala kapitalisme fokus pada keuntungan pemilik modal. Ini tentu sangat berbeda dengan pengelolaan industri dalam sistem Islam. Sebab Industri dalam sistem Islam fokus untuk kemaslahatan umat manusia. Dalam hal ini penguasa wajib melindungi rakyatnya dari berbagai hal yang mudarat, termasuk limbah berbahaya dari adanaya kegiatan penambangan.
Dalam sistem Islam fungsi penguasa adalah meriayah (mengurus) umat dan memenuhi segala kebutuhannya, juga melindungi umat dari segala macam bahaya. Maka Islam sangat memperhatikan keselamatan manusia dan memperhatikan kesejahteraannya. Demikian juga, Islam sangat memperhatikan lingkungan tempat tinggal masyarakat. Islam melarang kegiatan yang merusak lingkungan, termasuk industri yang menghasilkan limbah berbahaya bagi kehidupan. Allah Swt. berfirman :
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (TQS al-A’raf: 56)
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab penjagaan terhadap lingkungan sangat diperhatikan. Hal ini nampak pada penjagaan Hima al-Rabdah, “Bukalah tanganmu bagi orang-orang yang membutuhkan, dengarkanlah keluhan orang-orang yang tertindas, biarkanlah para gembala yang hidupnya bergantung pada unta dan domba masuk ke dalam hima.”
Menurut Khalifah Umar, semua properti itu milik Allah SWT. Dan semua makhluk di muka bumi ini tiada lain adalah hamba Allah. “Jika bukan karena Allah, aku tidak akan melindungi tanah ini (hima)”, papar Umar.
Dalam ajaran Islam, hima menjadi tempat yang diharamkan untuk perburuan dan menjadi tempat yang sakral, sehingga binatang dan tumbuhan yang ada di dalamnya terlindungi. Pada masa itu, ada seorang komandan perang bernama Sa’ad bin Abi Waqqas menemukan seorang budak memotong tumbuhan yang ada di dalam hima. Kemudian, Sa’ad bin Abi Waqqas memukul budak tersebut dan mengambil kapak dari tangannya. Lalu wanita yang merupakan saudara si budak mendatangi Khalifah Umar dan melaporkan apa yang dilakukan Sa’ad terhadap budak tersebut. Kemudian, Umar berkata, “Kembalikan kapak dan baju budak tersebut. Semoga Allah SWT mengampunimu.” Sa‘ad menolak dan berkata, “Saya tidak akan melanggar apa yang Nabi SAW perintahkan kepada saya. Tetapi, jika kamu suka, saya akan mengganti rugi.” Kemudian, Sa‘ad mengatakan bahwa Nabi pernah bersabda :
“Siapa pun yang melihat seseorang memotong pohon di dalam hima, dia harus memukul orang yang memotong pohon tersebut dan menyita alat yang digunakan untuk memotong pohon tersebut.”
Khalifah Umar menerapkan hukuman tersebut bagi siapa saja yang merusak pohon di wilayah hima.
Di Kota Madinah, ketika sahabat Nabi Abu Sa‘id al-Khudri, melihat seekor burung berada di tangan beberapa pemuda, dia mengambil burung tersebut dari tangan pemuda itu dan membebaskan burung tersebut terbang ke alam bebas.
Begitu juga sahabat Nabi, Abu Ayyub al-Ansari pernah melihat beberapa anak laki-laki mengepung seekor rubah di sebuah sudut Kota Madinah. Kemudian dia berkata, “Ini merupakan tanah yang diharamkan untuk berburu.” Sedangkan Abu Hurairah pernah berkata, “Jika aku melihat kijang di Madinah, aku tidak akan mengganggu mereka.”
Inilah gambaran kepemimpinan dalam Islam yang bertanggung jawab penuh akan kelangsungan hidup manusia, hewan dan lingkungan. Sudah waktunya kita mengganti sistem kapitalis yang rusak ini dengan sistem Islam yaitu Khilafah rasyidah ‘ala minhaj nubuwwah. Dengannya umat akan kembali hidup sesuai fitrahnya, yaitu menjadi abdinya Allah SWT. Begitu pun bumi tempat manusia hidup, akan terjaga dari kerusakan.
Wallahu’alam bishowab.
Views: 12
Comment here