Oleh Sindi Laras Wari (Aktivis Muslimah)
wacana-edukasi.com– “Sebab, sejatinya pernikahan ialah menyatukan dua sifat yang berbeda. Jika engkau ingin menjadi keluarga yang sakinah.” (Karya GBK).
Kutipan puisi karya GBK tersebut dapat mencerminkan bahwa pernikahan ialah menyatukan dua sifat yang berbeda. Namun, apakah bisa di dalam satu pernikahan terdapat dua agama yang berbeda?
Tidak sepatutnya pernikahan diatur berdasarkan hukum suatu agama. Karena pernikahan sejatinya adalah soal hukum keperdataan. (korantempo.com, 23/06/2022).
Fenomena pernikahan beda agama sedang ramai diperbincangkan saat ini. Di mana banyak kalangan yang menginginkan pernikahan beda agama diperbolehkan di Indonesia. Tidak sedikit juga masyarakat yang menolak adanya pernikahan beda agama.
PN Surabaya mengabulkan permohonan pernikahan beda agama. Keputusan tersebut menjadi angin segar bagi publik yang menginginkan pernikahan beda agama. Mereka juga berkeinginan agar suatu hukum negara tidak bercampur kepada suatu ajaran agama tertentu.
“Putusan ini membuka keran bagi pengesahan peristiwa nikah beda agama lainnya,” kata Tholabi, Jumat (24/6/2022). Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta Tholabi Kharlie. Menanggapi hal tersebut, dengan mengatakan putusan tersebut akan menjadi preseden lahirnya putusan-putusan serupa bagi mereka yang menikah dengan pasangan yang berbeda agama. (sindonews.com, 24/06/2022).
Dengan dikabulkannya permohonan beda agama di Surabaya tersebut, tidak menutup kemungkinan bahwa daerah-daerah lainnya di Indonesia akan ikut membebek. Kemudian, dengan tren kecenderungan pernikahan beda agama yang kian meningkat tampil di depan, publik berharap mendapatkan legitimasi dari pihak terkait.
Pernikahan beda agama banyak dilakukan dengan alasan berkedok toleransi. Padahal, toleransi adalah sikap menghargai umat agama lain, bukan berarti harus menikahi. Jadi, bagi mereka, melakukan pernikahan beda agama bisa disebut dengan kolaborasi. Benarkah di dalam Islam diperbolehkan pernikahan beda agama berkedok toleransi?
Adanya pernikahan beda agama dan keinginan mereka memisahkan suatu hukum dengan ajaran agama tertentu menjadi bukti nyata bahwa negara dan umatnya telah disusupi pemikiran sekuler. Paham sekuler ialah paham di mana agama tidak boleh dimasukkan ke dalam urusan politik, negara, atau institusi publik lainnya.
Bagaimana bisa adanya suatu hukum yang benar sesuai dengan seluruh manusia dan dapat memberikan kemaslahatan jika hukum tersebut berasal dari manusia. Sementara manusia itu sendiri sifatnya lemah, terbatas dan serba kurang. Manusia juga memiliki sifat dan cara berpikir yang berbeda-beda seperti peribahasa “Rambut sama hitam, tetapi hati siapa yang tahu.”
Hal tersebut membuat hukum yang ada di negeri ini menjadi hukum yang lemah serta tidak pernah menyejahterakan rakyatnya. Bagaimana hukum tersebut bisa menyejahterakan rakyatnya jika yang mereka lakukan adalah membuat hukum sesuai kehendak mereka, yang tidak dikehendaki masyarakat pada umumnya, dan tentunya bertentangan dengan aturan Allah Swt. sebagai Sang Pencipta sekaligus yang paling berhak membuat hukum.
Maka jelaslah, hal tersebut bertentangan dengan hukum Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Mulai dari bangun tidur sampai bangun negara semuanya dijelaskan di dalam aturan Islam. Di dalam Islam, aturan dibuat oleh Sang Pencipta. Sang Pencipta yang mengetahui segala sesuatu dari makhluk yang diciptakan-Nya.
Mencampuradukkan aturan agama Islam dengan aturan agam lain tidak diperbolehkan dalam Islam. Karena Allah langsung yang mengatakan hal ini di dal Al-Qur’an.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
لَـكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ
“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al-Kafirun [109]: 6).
Ayat di atas merupakan dalil yang jelas mengatur batasan mengenai toleransi antar umat beragama. Jadi, menikah beda agama bukanlah bentuk toleransi yang sesuai dengan apa yang Allah mau.
Aturan menikah beda agama juga diatur dalam Islam sedemikian rupa. Hukum menikah beda agama dalam Islam dibagi dalam dua pembahasan. Muslim dengan ahli kitab dan muslim dengan agama lainnya. Ahli kitab adalah orang-orang yang Yahudi dan Nasrani, karena kepada merekalah Allah menurunkan kitab melalui perantara Rasul-Nya. Pendapat ini telah menjadi kesepakatan para ulama berdasarkan dalil di dalam Al-Qur’an.
Pernikahan seorang laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab yang menjaga diri hukumnya boleh berdasarkan QS. Al-Maidah ayat 5. Sebaliknya, perempuan diharamkan untuk menikah dengan laki-laki ahli kitab, larangan ini berdasarkan QS. Al-Mumtahanah ayat 10. Perempuan ahli kitab yang dimaksud adalah perempuan yang mampu menjaga kehormatannya.
Namun, perlu diingat, boleh bukan berarti harus melakukannya. Melihat dari banyak cara yang dilakukan untuk memurtadkan kaum muslim dan anak-anak merek melalui perempuan ahli kitab yang menikahi kaum muslim, pernikahan ini bukanlah hal yang ringan untuk dilakukan. Sedangkan untuk pernikahan muslim dengan pemeluk agama selain Islam, maka hukumnya haram secara mutlak.
Dengan pengaturan sedemikian rupa dari Sang pencipta yang Maha mengetahui segala sesuatu dari makhluk yang diciptakan-Nya, sehingga membuat aturan tersebut sangat sesuai dengan fitrah manusia, tidak menimbulkan keresahan makhluk ciptaan-Nya. Sungguh miris kehidupan umat Islam ketika tidak memakai dan menerapkan hukum dari Sang Pencipta sekaligus Sang Maha Pengatur kehidupan.
Maka dari sini, benarlah jika penerimaan Islam secara sempurna menjadi kebutuhan mendesak. Agar setiap aturan yang diberlakukan tidak menyeleweng aturan Allah Swt. sebagai Sang Pencipta dan yang berhak membuat hukum.
Wallahualam bissawab.
Views: 15
Comment here