Opini

RUU KUHP Warisan Imperialis yang Menjajah

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Siti Aisah, S. Pd (Praktisi Pendidikan Kabupaten Subang)

wacana-edukasi.com– Negara Indonesia sudah merdeka dari penjajahan sejak diproklamirkan tahun 1945. Namun, beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pidana di Indonesia masih bernuansa kolonial.

Berikut ini beberapa isu yang hangat diperbincangkan saat Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) bulan juli 2022 akan disahkan, yaitu tentang pasal 2 yang berkaitan hukum pidana adat (the living law), lalu pada pasal 200 tentang hukum pidana mati, selanjutnya pasal 218 yang berurusan harkat martabat orang nomor satu dan nomor dua Indonesia. Tak ketinggalan pasal 278-279 berkaitan tentang perunggasan dan peternakan, bukan mengurusi sistem distribusi ataupun ekspor-impornya yang akan mengubah nasib peternak menjadi sejahtera, tapi terkait pada unggas atau ternak yang masuk dan merusak kebun bertabur benih. Lalu ada pula tentang penganiayaan hewan yang termaktub dalam pasal 342.

Pasal 479 terkait perkosaan dan pasal 417 tentang perzinahan dan terakhir tentang aborsi yang tertera pada pasal 469-471, lalu ada pasal 414-416 terkait alat pencegahan kehamilan dan pengguguran kandungan. Pasal-pasal tersebut sangat berkaitan dengan teori demokrasi yang mengusung kebebasan. Jadi apapun permasalahannya saat tidak ada yang mengadukannya maka kasus tersebut tidak akan diproses, dan ini wajar dalam sistem demokrasi saat ini. Hukum hanya berlaku bagi siapapun yang dianggap mengganggu. Artinya tidak ada laporan maka tidak ada hukuman. (Detik News, 25/06/2022).

Deretan isu kontroversi RUU KUHP diatas telah memunculkan banyak protes. Salah satunya dari kalangan akademisi mahasiswa. Dilansir dari cnnindonesia.com (30/06/2022) para mahasiswa dari berbagai kampus terkenal di indonesia membuat poster penolakan terhadap RKUHP. Seperti: “RKUHP, Produk Kontroversial Membisukan Aspirasi Rakyat”, “#HatiHatiDibui”, hingga “Bandung Lautan Amarah”.

Beberapa kampus terkenal ikut serta dalam penolakan RKUHP ini. Diantaranya dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unpad (Universitas Padjadjaran), UPI (Universitas Pendidikan Indonesia), Unikom, Telkom University, dan IKOPIN. Dalam aksinya tersebut para mahasiswa itu mendesak pemerintah dan DPR agar segera membuka naskah draft yang hingga kini belum dibuka untuk publik sejak sosialisasi selama 2021 lalu dan rapat terakhir akhir Mei 2022 lalu.

Proses RUU KUHP ini sejatinya memakan waktu lama, pasalnya bukan hanya dari kalangan akademisi saja namun masyarakat sipil pun tak lepas memicu konflik karena sejumlah pasal diatas dinilai kontroversial dan membuat pemerintah seolah anti kritik.

Sosialisasi yang dilakukan pemerintah pada rapat dengar pendapat tanggal 25 Mei 2022 melalui Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Sharif Omar Hiariej menyatakan bahwa Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) batal disahkan pada masa sidang DPR ke-lima, tahun sidang 2021-2022.

Jajak pendapat yang berada dalam pasal-pasal ini dinilai akan menimbulkan penafsiran multiganda dan pasal karet pemerintah. Artinya, hukum itu hadir saat penguasa butuh. Tak hanya itu kemungkinan hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas bisa terjadi. Sayangnya drap terbaru itu masih sejalan dengan sifat penjajah. Hal ini karena pada dasarnya KUHP yang berlaku saat ini adalah hukum warisan imperialis Belanda yang menjajah. Hal ini pun diakui oleh Yasonna Laoly, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) pada 14/06/2021. Maka tak heran sifat UU ini memiliki sifat jajahan.

Perlu ditekankan bahwa KUHP maupun RKUHP ini secara menyeluruh sejatinya tidak mampu membuat masyarakat sejahtera dan merasakan keadilan. Sebaik apapun aturan yang dibuat boleh manusia itu tidak akan melahirkan aturan yang memenuhi aspirasi dan sempurna. Akal dan nafsu yang Allah Swt. ciptakan untuk manusia ini sejatinya tidak sepenuhnya sama. Setiap manusia akan memiliki cara pandang, kebutuhan, kepentingan yang berbeda. Walhasil aturan yang lahir dari akal manusia ini akan menghasilkan perbedaan yang berujung pertentangan.

Dengan demikian aturan dibuat sepatutnya tidak lahir dari akal manusia yang hanya memunculkan pertentangan, perbedaan dan perdebatan antarmanusia. Dalam islam, setiap aturan lahir dari Allah aza wazala, Sang pencipta manusia, dunia dan seisinya. Allah pun tahu apa yang baik untuk mahluknya. Sehingga konsekuensi dari berimannya seorang manusia adalah dengan selalu terikat pada hukum syara dan menyandarkan aturan hanya kepada Allah Swt. semata. Allah Swt. Telah berfirman, yang artinya:

“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa: 59)

Walhasil, undang-undang atau aturan yang ada akan memenuhi segala aspirasi dan kebutuhan manusia saat aturan yang Allah swt ciptakan dijadikan sebagai sumber utama hukum. Umat pun tidak perlu mencari ataupun membuat hukum yang bukan dari al-quran ataupun dari sumber hukum islam lainnya. Islam sudah memiliki hukum yang akan mensejahterakan manusia seutuhnya. Namun, hukum islam tidak akan sempurna diterapkan dalam sistem islam yaitu khilafah islamiyah.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 8

Comment here