Oleh: Salma Banin (Kontributor Pena Langit)
Wacana-edukasi.com — Kehidupan dalam jejaring (online) tak jarang membuat masyarakat resah dan gelisah. Banyaknya macam dan modus kejahatan telah menghiasi layar berita sehari-hari. Dari mulai penipuan hingga pembunuhan acap kali dimulai dari percakapan di internet. Belum lagi terkait konten yang bejibun jenisnya, banyak yang memanfaatkannya untuk kebaikan sedang sebagiannya lagi menggunakannya di jalan keburukan. Dampaknya jelas tidak hanya dirasakan sendiri, tetapi pada generasi. Terlebih di masa pandemi, akses dunia maya lebih intens lagi dijelajahi warga. Semakin banyak aktivitasnya, tentu semakin besar juga kemungkinan terjadi pelanggarannya. Ya, cyber crime atau kejahatan berbasis siber dalam jejaring (online) memang tidak bisa disepelekan.
Kiranya itu adalah salah satu pertimbangan pemerintah Indonesia untuk segera mengaktifkan polisi siber di tahun 2021 mendatang yang mampu kita duga. Namun, ternyata fokus yang dimaksud oleh Menkopolhukam dalam sebuah wawancara dengan media online kompas.com, polisi siber diputuskan ada berupa kontra narasi (26/12).
Dalam laman web yang sama, koordinator Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan), Fatia Maulidiyanti kegiatan tersebut berpotensi mengancam kebebasan sipil, yakni kebebasan berekspresi. Dia beranggapan bahwa bisa jadi akan lebih banyak orang yang dikriminalisasi sebab menyampaikan ketidak-setujuan terhadap kebijakan (28/12). Juga muncul pendapat dari Enda Nasution, sebagai pengamat media sosial ia menyarankan pemerintah untuk tidak hanya fokus di penindakan tapi juga pencegahan.
Pertanyaan lanjutannya adalah, apakah dengan diaktifkannya polisi siber akan menjadi solusi atas persoalan negeri? Mengawasi aktivitas warga di sosial tampak kurang bijak mengingat kasus yang marak akhir-akhir ini adalah penegakkan hukum atas pihak-pihak yang kritis terhadap kezaliman rezim. Sedangkan nonoposisi tidak berlanjut penindakan meski sama-sama telah dilaporkan. Secara de facto, kepercayaan publik telah banyak tercederai. Komentar warganet terkait hal itu sangat mudah ditemukan di berbagai platform media sosial.
Lalu bagaimana kita mendudukkan hal ini? Pertama, harus kita sepakati bahwa menyampaikan kritik, keluhan serta masukan kepada pihak berwenang tidak boleh dikategorikan sebagai kejahatan. Dalam kondisi apa pun, pendapat rakyat layak dijadikan pertimbangan mengingat itulah tugas negara yang utama, yakni melayani kepentingan rakyatnya.
Kedua, kita perlu menjadi kritis pula terhadap mekanisme dalam demokrasi yang memungkinkan disahkannya aturan semacam ini. Kebebasan yang dijamin konstitusi telah lama dijadikan alat secara sepihak oleh penguasa untuk menjaga kepentingannya. Faktanya, meski rakyat sama-sama dilindungi kebebasannya, jika pemerintah sudah menetapkan maka tak ada kompromi atau negosiasi yang dapat diupayakan.
Ada baiknya kita coba berpikir dalam kerangka kotak yang lain, dimana hak membuat undang-undang tidak lagi diberikan pada manusia (yaitu rakyat melalui perwakilan) melainkan diletakkan pada wahyu Sang Pencipta, yakni Allah ta’ala. Islam sebagai sistem kehidupan menempatkan nasihat dan kritik atas penjagaan terhadap kepemimpinan sebagai kultur yang akan ditumbuh suburkan. Sebab sikap diam terhadap kezaliman bukanlah pilihan yang akan diambil, bahkan Rasul saw. menyabdakan hal tersebut adalah bentuk selemah-lemahnya iman.
Maka, tajamnya hukum dalam Islam tidak akan diperuntukkan bagi pengkritik pemerintah selama kontennya masih dalam koridor syariah. Justru seorang khalifah mesti bersyukur atas kepedulian dan perhatian umat terhadap keberlangsungan kehidupan bernegara. Hanya saja potret seperti ini mustahil terwujud jika Islam belum dijadikan sebagai landasan dan sumber atas segala sesuatu, termasuk dibidang hukum. PR kita adalah menampilkan tatanan alternatif, sebagai ganti atas kerapuhan demokrasi abad ini.
Khilafah Islam adalah bentuk institusi paling menakjubkan bagi peradaban manusia. Rahmat dan keberkahan yang dipancarkan khilafah tidak mengenal batas teritori. Seluruh dunia berutang budi pada kejayaannya. Lebih dari itu, ianya merupakan konsekuensi atas akidah yang kita pegang sampai detik ini.
Wallahua’lam bishshawab
Views: 0
Comment here