Opini

Politik Demokrasi, Rawan Penyalahgunaan Kekuasaan

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Dewi Arum Pertiwi, S.T.
(Aktivis Dakwah)

wacana-edukasi.com, OPINI– Persaingan dalam Pilpres 2024 makin memanas. Lagipula diantara para peserta masih menyandang sebagai pejabat aktif. Keberadaan para kandidat dari kalangan pejabat ini tentu saja tidak luput dari politik kepentingan di dalam pemerintahan. Karena hal ini lah para menteri yang sedang mengikuti pilpres diminta untuk hengkang dari jabatannya oleh beberapa pihak. Karena dikhawatirkan adanya konflik kepentingan dan sebagai pencegahan berdirinya posko pemenangan di kantor-kantor kementerian tempat para calon itu menjabat.

Malah penyalahgunaan fasilitas negara ini memang di perbolehkan untuk kepentingan para peserta pilpres. Didasarkan dari Pasal 16 Peraturan KPU (PKPU) No. 19/2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden beserta Wakilnya yang akan menjadi capres cawapres tetapi masih menjadi menteri tidak perlu mundur dari jabatannya selama mendapat izin dari presiden untuk cuti.

Cuti tersebut bisa diajukan untuk kegiatan-kegiatan terkait pemilu seperti tahap pendaftaran, pemeriksaan kesehatan, penetapan pasangan calon peserta, pengundian dan penetapan nomor urut, serta kampanye.

Adapun selain menteri maupun pejabat setingkat menteri, juga tidak perlu mengundurkan diri jika mencalonkan sebagai presiden atau wakil presiden. Pejabat-pejabat itu ialah presiden, wakil presiden, pimpinan dan anggota MPR, pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota.

Dalam hal ini dengan setatus aktifnya para pejabat tersebut, sangat mungkin akan terjadi penggunaan fasilitas negara dalam Pemilu 2024 dan para peserta juga sangat berpeluang untuk memanfaatkan sumber daya milik negara ini untuk kepentingan kampanye dari segi program, aset, dan anggaran milik pemerintah pun juga dapat digunakan sebagai alat kampanye.

Dalam bentuk pembagi sembako, uang tunai, bahkan kendaraan dinas pun digunakan dalam kampanye. Aturan dalam demokrasi memberi peluang konflik kepentingan aturan KPU ini memberi peluang penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk kepentingan pribadi/golongan, bahkan juga fasilitas negara dan anggaran.

Selain itu ada potensi pengabaian tanggung jawab tugas, dan abai terhadap hak rakyat. Hal ini bisa menjadi salah satu bentuk ketidakadilan yang dilegitimasi oleh negara, apalagi didukung regulasi yang ada.

Karena dengan tidak hengkangnya para pejabat ini melalui kekuasaan yang dimilikinya mereka bisa menggunakan orang-orang di bawahnya untuk terlibat menjadi tim sukses, anggaran negara juga bisa dialihkan untuk kampanye. Padahal sebenarnya negara sendiri memiliki fungsi pengawasan di tangan Bawaslu tetapi sangat disayangkan fungsi ini tidak efektif. Terbukti bahwa dari curi start kampanye saja yang terjadi selama ini dengan memanfaatkan fasilitas negara, tetapi tidak ada tindakan berupa sanksi dari Bawaslu.

Inilah tampilan pemerintahan dalam demokrasi yang sudah memperbolehkan penggunaan dalam fasilitas negara untuk kepentingan penguasa. Mirisnya ini terjadi secara legal karena sudah semestinya aturan demokrasi memiliki kelonggaran dalam hal mencegah terjadinya penyalahgunaan untuk kepentingan pribadi maupun golongan. Ini disebabkan karena aturan yang digunakan dalam demokrasi adalah aturan yang di buatan oleh manusia sehingga dapat di dirubah atau menyesuaikan sesuka hati para pejabat pembuatnya, selama itu menguntungkan mereka.

Akibat dari aturan ini menjadikan kemaslahatan rakyat menjadi terabaikan. Pejabat yang harusnya bekerja melayani dan memenuhi kepentingan rakyat malah sibuk dalam kegiatan kampanye mengurusi pencalonan untuk kepentingan pribadi dan golongannya. Jadi rakyatlah pihak yang mengalami kerugian oleh aturan tersebut.

Keegoisan yang menjangkiti kaum elite politik membuat mereka tidak memperdulikan yang terjadi dimasyarakat dan dimata mereka rakyat hanya dianggap sebagai kendaraan politik untuk mendapatkan kekuasaan.
Ini adalah bentuk ketidakadilan di dalam negara demokrasi. Rakyat yang dikatakan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang suaranya saja dituhankan, ternyata justru tidak mendapatkan hak dan layanan yang maksimal karena para pejabatnya sibuk mempersiapkan dan mengurusi pesta demokrasi.

Dengan demikian, makna dap pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat ternyata tidak sesuai dengan faktanya malah rakyat yang memiliki kekuasaan justru dirugikan oleh aturan dalam demokrasi.

Pemilihan Pemimpin dalam Islam

Tentu ini sangat bertentangan dengan sistem islam karena dalam pemilihan pemimpin jauh dari penyalahgunaan kekuasaan karena diharamkan dalam Islam. Rasulullah saw. pernah menegur serta melakukan penyitaan harta dari penjabat negara yang melakukan penyalahgunaan kekuasaan demi mendapatkan harta ghulul serta Khalifah Umar bin Khaththab pernah melakukan penyitaan harta milik Atabah bin Abi Sufyan ra. yang diduga merupakan hasil menyalahgunakan kekuasaan ketika menjabat sebagai Wali Thaif.

Salah satu syarat untuk menjadi penguasa atau pemimpin dalam Islam adalah adil. Hal ini didasarkan pada firman Allah yang berbunyi :

“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.“ (QS Ath-Thalaq [65]: 2).

Syekh ‘Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah menjelaskan bahwa posisi yang lebih agung dari saksi, yaitu khalifah, maka lebih utama lagi bahwa dia harus seorang yang adil. Sebab jika keadilan disyaratkan untuk seorang saksi, maka persyaratannya untuk khalifah lebih utama lagi (Media Umat, 24-7-2018).

Dalam Islam melakukan segala sesuatu itu hanya mengharapkan rida dari Allah Taala. Karena pemahaman islam yang mereka miliki dalam hal menjadi pemimpin dan wakil rakyat itu adalah tanggung jawab yang sangatlah besar. Bukan hanya di dunia, tetapi juga akan diminta pertanggungjawaban di akhirat. Oleh karena itu, mereka tidak akan berlomba-lomba meraih kekuasaan karena nafsu.
Dan jika ada pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, itu bersifat tidak adil, malah terkategori zalim. Dan didalam sistem Islam penjabat seperti ini tidak memenuhi syarat atau terkategori menjadi khalifah atau penguasa seperti muawin, wali, dan amil.

Kadi qudhat yang bertugas untuk memutuskan di Mahkamah Mazhalim akan menentukan hukuman untuk penguasa yang diduga menyalahgunakan kekuasaan dengan sanksi yang tegas. Dengan demikian, akan diselesaikan secara adil. Inilah keadilan yang bisa kita rasakan dalam aistem islam. Dengan begitu keberkahan dan kemaslahatan untuki rakyat dapat dengan mudah didapatkan.

wallahu a’lam bishawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 8

Comment here