Opini

Politik Oligarki di Balik Konflik Lahan

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Halimatus Sa’diah S.Pd.

Wacana-edukasi.com, OPINI– Lahan dalam Kamus Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan tanah terbuka atau tanah garapan. Konflik lahan marak terjadi, dan merupakan masalah yang cukup rumit, karena terkait persoalan ekonomi, demografi, sosial dan budaya. Konflik lahan ini termasuk menjadi konflik sosial yang cukup lama berkelindan, dan belum juga usai hingga saat ini.

Setidaknya, ada beragam faktor yang membuat konflik ini terus terjadi antara lain perebutan kepemilikan tanah, sengketa batas tanah, penggusuran, dan lain-lain.

Melansir dari detik.com (28/12), Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan bahwa, pada 2015-2016 banyak warga yang memintanya untuk segera menyelesaikan masalah sengketa lahan. Hal ini diungkapkan pada saat sambutan pembagian sertifikat tanah di Sidorarjo, Jawa Timur.
Saat itu memang baru 46 juta bidang tanah di Indonesia yang mendapat sertifikat. Hal itu memicu banyaknya kasus sengketa lahan, baik antar-warga, warga dengan pemerintah, atau warga dengan perusahaan.

Belum lagi, saat itu Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) hanya mampu mengeluarkan 500.000 sertifikat per tahun. Dengan kondisi seperti itu, maka membutuhkan waktu hingga 160 tahun lagi agar seluruh lahan di Indonesia memiliki sertifikat.

Meski demikian, kini hanya tersisa 6 juta bidang lahan yang belum memiliki sertifikat di Indonesia. Jokowi pun berharap agar tahun depan seluruh lahan di Indonesia sudah memiliki sertifikat tanah.

Sebagai informasi, Jokowi menyerahkan 5.000 sertifikat tanah di Sidoarjo, Jawa Timur. Penyerahan ini secara simbolis dilakukan pada 10 orang perwakilan yang berasal dari Surabaya hingga Jember. Dalam kegiatan tersebut, Jokowi ditemani oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, hingga Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.

Ini hanya sebagian kecil contoh dari konflik lahan, masih banyak yang lainnya seperti kasus Rempang, perkebunan sawit dan lainnya. Namun faktanya kebijakan yang pemerintah keluarkan berbanding terbalik dengan yang seharusnya lebih pro ke rakyatnya. Dengan dalih untuk pembangunan infrastruktur yang hanya akan menguntungkan segelintir orang dan membuat rakyat semakin sengsara. Contohnya Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2021 Tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional menjadi peraturan yang mengancam hak-hak dasar warga negara, melalui PP No. 42 Tahun 2021, Proyek Strategis Nasional yang mempunyai tujuan untuk penciptaan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, berbalik 360 derajat.

Proyek Strategis Nasional (PSN) justru jauh dari tujuan yang digadang-gadang oleh pemerintah. Keserakahan pemerintah mengakibatkan hilangnya kesejahteraan rakyat serta rusaknya lingkungan hidup yang selama ini mereka tempati. Produksi ketimpangan akan terus dilakukan oleh negara, apabila negara masih mempunyai “watak” kapitalistik, dan hingga kini, negara masih terus menggenjot produk hukum yang justru akan melahirkan ketimpangan-ketimpangan baru. Konflik lahan ini juga merupakan salah satu keniscayaan dalam sistem kapitalisme demokrasi yang melahirkan politik oligarki. Oligarki pertama kali muncul pada politik pertanahan zaman Orde Baru, politik oligarki bersifat predator, jejaring kekuasaan melibatkan kepentingan bisnis dan politik birokrat yang menggunakan kekuasaan lembaga untuk mengakumulasi kekayaan dan kekuasaan sosial.

Meskipun zaman Orde Baru telah tiada, politik oligarki masih tetap hidup dengan bentuk dan cara kerja yang sedikit berbeda dengan zaman sebelumnya tetapi masih dengan karakter sama sebagai predator. Sistem demokrasi di negeri kita ini masih dikuasai oleh kelompok elit yang mendukung oligarki sehingga terciptalah demokrasi tanpa demos, yaitu kekuasaan tertinggi tidak lagi berada ditangan rakyat melainkan berbalik ditangan para pejabat. Inilah yang membuat kebijakan-kebijakan yang bisa di atur dan di pesan sekehendak hati berdasarkan asas kepentingan individu, hawa nafsu manusia yang tidak terbatas.

Berbeda dengan Islam, sebagai agama yang sempurna Islam memiliki konsep jelas atas kepemilikan lahan, dan menjadikan penguasa sebagai pengurus dan pelindung rakyat termasuk pelindung kepemilikan lahan. Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan bumi termasuk tanah hakikatnya adalah milik Allah SWT semata. Firman Allah SWT (artinya),”Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk).” (QS An-Nuur [24] : 42).
”Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Hadid [57] : 2).

Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa pemilik hakiki dari segala sesuatu (termasuk tanah) adalah Allah SWT semata. (Yasin Ghadiy, Al-Amwal wa Al-Amlak al-‘Ammah fil Islam, hal. 19).

Kemudian, Allah SWT sebagai pemilik hakiki, memberikan kuasa (istikhlaf) kepada manusia untuk mengelola milik Allah ini sesuai dengan hukum-hukum-Nya. Firman Allah SWT (artinya),”Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.” (QS Al-Hadid [57] : 7). Menafsirkan ayat ini, Imam Al-Qurthubi berkata, “Ayat ini adalah dalil bahwa asal usul kepemilikan (ashlul milki) adalah milik Allah SWT, dan bahwa manusia tak mempunyai hak kecuali memanfaatkan (tasharruf) dengan cara yang diridhai oleh Allah SWT.” (Tafsir Al-Qurthubi, Juz I hal. 130).

Dengan demikian, Islam telah menjelaskan dengan gamblang filosofi kepemilikan tanah dalam Islam. Intinya ada 2 (dua) poin, yaitu : Pertama, pemilik hakiki dari tanah adalah Allah SWT. Kedua, Allah SWT sebagai pemilik hakiki telah memberikan kuasa kepada manusia untuk mengelola tanah menurut hukum-hukum Allah. Proyek Pembangunan apapun dalam negara Islam dilaksanakan untuk kepentingan rakyat dan di dukung kebijakan yang melindungi rakyat dan membawa kemaslahatan rakyat.

Dalam Islam, pembangunan infrastruktur dilakukan untuk kepentingan rakyat. Pembangunan tersebut harus dikelola negara dan dibiayai dari dana milik umum. Boleh berasal dari sumber kepemilikan negara, tetapi negara tidak boleh mengambil keuntungan dari pengelolaannya.

Jika harus ada pungutan, hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk yang lain. Pembangunan dilakukan atas dasar pelayanan negara kepada publik. Sebelum melakukan pembangunan, ada perencanaan matang dan itqan (profsional) karena kebijakan negara akan melahirkan konsekuensi serius terhadap tatanan masyarakat.

Hal ini karena negara dalam sistem pemerintahan Islam bertugas sebagai pengurus rakyat sebagaimana sabda beliau saw.,“Imam (kepala negara) laksana penggembala, dia bertanggungjawab terhadap urusan rakyatnya.” (HR. Mutafaq ‘Alaih). Proyek pembangunan pun berada dalam kendali negara, tidak diserahkan langsung kepada pihak swasta atau asing. Negara Islam akan memanfaatkan keahlian warga negara dalam proyek pembangunan sehingga pembangunan yang dilakukan berbasis masyarakat.

Sungguh, Islam telah begitu apik dalam mewujudkan semua kebutuhan rakyat dan melindungi hak-hak nya.

Wallahu alam bisshowwab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 36

Comment here