Oleh: Lina Ummu Dzakirah
Wacana-edukasi.com — Belum lama Pilkada serentak digelar di seluruh Indonesia. Menjelang Pilkada, terkait dengan politisasi agama dan money politic (politik uang) sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat. Tujuannya tentu saja untuk menarik simpati para pemilik suara. Sebagian masyarakat pun banyak yang terjebak ke dalam rayuan para kontestan yang menggunakan cara yang tidak semestinya.
Melansir dari Republika.co.id, Ketua Umum Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar Cabang Indonesia, TGB Muhammad Zainul Majdi, mengingatkan bahwa politisasi agama semata untuk mendapatkan kekuasaan atau memenangkan kontestasi politik akan berdampak buruk dan berbahaya. “Menurut saya, politisasi agama bentuk paling buruk dalam hubungan agama dan politik. Sekelompok kekuatan politik menggunakan sentimen keagamaan untuk menarik simpati kemudian memenangkan kelompoknya. Menggunakan sentimen agama dengan membuat ketakutan pada khalayak ramai. Menggunakan simbol agama untuk mendapatkan simpati,” katanya, saat webinar Moya Institute bertema “Gaduh Politisasi Agama”, Kamis (19/11).
Sedangkan menurut hasil penelitian Nathanael Gratias, partai politik (parpol) nasionalis dan sekuler lebih sering melakukan politisasi agama untuk meraih banyak suara. Hal ini disampaikan Kepala Pusat Litbang Bimbingan Masyarakat Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama, Prof. Adlin Sila saat menjadi narasumber pada rilis penelitian bertema “Beragama di Dunia Maya: Media Sosial dan Pandangan Keagamaan di Indonesia”.
Prof. Adlin mengatakan, dalam sebuah artikel yang ditulis Nathanael berjudul A Price for Democracy, dijelaskan parpol apa saja atau kandidat kepala daerah mana yang menggunakan agama dalam memobilisasi massa. Hal yang menarik dari hasil penelitiannya, ternyata yang melakukan politisasi agama atau menggunakan agama sebagai alat untuk meraih suara itu tidak didominasi oleh kandidat-kandidat kepala daerah dari partai-partai Islam (Republika.co.id 16/11/2020).
Politisasi agama dan Fenomena penggunaan sentimen agama untuk meraih simpati dan suara rakyat agar suatu kelompok politik menang bukanlah hal baru. Pilkada sudah sering dijadikan kontestan, yang menjadikan kegiatan keagamaan seperti mengadakan zikir bersama, sowan ke pesantren dan para tokoh keagamaan serta meminta doa dari mereka tidak dapat di tinggalkan. Sayangnya saat kontestan pemilu pilkada menang suara rakyat yang awalnya dijadikan tameng untuk memenangkan pemilu mereka sudah tidak didengar lagi. Sebab suara rakyat hanya diambil pada saat pemilu saja. Ketika pemilu selesai maka selesai sudah urusannya dengan rakyat.
Politisasi agama di sistem demokrasi tidak bisa dihindari. Sebab proses pemilihan pemimpin bentuknya adalah kontestasi politik mencari suara terbanyak untuk dapatkan kursi kekuasaan. Demi mendapatkan kursi kekuasaan berbagai cara akan ditempuh sekalipun itu memanipulasi, apapun caranya tidak akan menjadi soal. Apalagi di Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim. Walaupun cara seperti ini rakyat sudah merasa bosan ketika melihat agama dihubung-hubungkan dengan politik. Simbol agama dijadikan sebagai alat yang paling ampuh untuk meraih simpati rakyat selain money politics.
Tabiatnya sistem demokrasi pemilihan yang hanya mengandalkan suara, nyatanya memposisikan agama dengan begitu rendahnya. Asasnya yang menolak agama dalam mengatur negara menjadikan agama seharga jumlah suara. Setelah kepentingan politiknya tercapai, agama akan dibuang jauh-jauh sebab akan mengganggu proses berjalannya negara sekuler.
Arah Politik Islam
Partai politik yang sahih mempunyai beberapa ciri, di antaranya;
Pertama: wajib berpegang teguh pada Islam secara kaffah. Konsekuensinya, Islam harus dijadikan sebagai tolok ukur untuk menilai baik dan buruk, benar dan salah.
Kedua: menolak dengan tegas semua ideologi dan sistem di luar Islam seperti kapitalisme, sekulerisme, komunisme, sosialisme, dan lain-lain. Ia tidak akan menjauhkan agama dari aktivitas politiknya apalagi hanya sekadar meraih suara terbanyaknya.
Ketiga: Menjalankan tugas sebagai partai politik sesuai dengan yang Allah firman kan dalam QS Ali Imran: 104. Dijelaskan bahwa tugas mereka adalah mengajak kebaikan yakni menyeru pada Islam dan seluruh syariah Allah kepada hamba-Nya.
Selain itu melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Tugas melakukan amar ma’ruf nahi mungkar akan sempurna jika parpol itu juga melakukannya terhadap penguasa. Tindakan ini disebutkan Nabi saw. Sebagai Afdhal al-jihad ‘jihad yang paling utama’. Pada saat penguasa menerapkan sekularisme, tugas parpol adalah berjuang keras menghentikan rezim sekuler dan menggantikannya dengan syariah dan khilafah.
Selain itu kita bisa menghimpun kekuatan umat untuk menegakkan Khilafah. Sebab, hanya dengan khilafah seluruh syariah bisa diterapkan. Dakwah ke seluruh penjuru dunia juga bisa diemban. Untuk itu, parpol Islam wajib meneladani Rasulullahﷺ dalam menegakkan daulah. Mereka harus melakukan tatsqif (pembinaan). melakukan at-tafa’ul ma’a al-ummah (interaksi dengan ummat) agar tercipta opini umum yang mendukung perjuangan menegakkan Khilafah, juga melakukan kontak dengan para pemegang kekuasaan yang riil. Tujuannya agar mereka memberikan kekuasaannya demi menegakkan khilafah. Aktivitas ini terus menerus dilakukan dengan istiqamah hingga Allah Swt. menurunkan pertolongan-Nya berupa tegaknya Khilafah.
Wallahua’lam bishshawab
Views: 157
Comment here