Oleh : Ajeng
wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA-– Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Hadi Tjahjanto menyatakan, pihaknya akan membentuk satuan tugas (satgas) untuk menangani permasalahan pornografi secara online yang membuat anak-anak di bawah umur menjadi korban. Anak-anak tersebut rata-rata berusia mulai dari 12-14 tahun, bahkan ada juga anak-anak yang masih duduk di jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) dan kelompok disabilitas yang juga menjadi korban tindakan asusila tersebut (Republika.co.id, 19/04/2024).
Berdasarkan data Nasional Center for Missing and Exploited Children (NCMEC), ada sebanyak 5.566.015 konten pornografi yang melibatkan anak-anak Indonesia. Jumlah tersebut membuat Indonesia masuk ke peringkat empat secara Internasional dan peringkat dua dalam region ASEAN (sindonews.com, 18/04/2024).
Peringkat ini tentu sangat memalukan bagi negari ini. Bagaimana mungkin seorang anak yang seharusnya menjalani kehidupan yang bersih justru menjadi korban kejahatan seksual. Penyebab keadaan ini karena sistem kehidupan manusia saat ini juga tidak bersih.
Pemahaman masyarakat saat ini hanya diarahkan pada kepuasan fisik atau kebahagiaan materi semata. Kepuasan inilah yang dijadikan ukuran kebahagiaan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika masyarakat tidak takut akan dosa dan tidak memperdulikan pahala. Akibatnya, perilaku liberal seperti pornografi menjadi legal, bahkan anak-anak pun menjadi korbannya. Hal ini merupakan akibat dari penerapan sistem sekuler kapitalisme.
Di samping itu, sistem kapitalisme mengubah produksi pornografi menjadi shadow economy. Hal ini terlihat dari data yang ditampilkan di Tribratanews pada September 2023, bahwa penjualan film porno dapat menghasilkan keuntungan hingga 500 juta setahun. Oleh karena itu selama masih ada permintaan, pornografi dibiarkan bahkan didukung meskipun merusak dan mengorbankan masa depan generasi.
Penerapan sistem sekuler kapitalisme tidak mampu menciptakan kondisi yang mendukung pencegahan meluasnya kejahatan, termasuk kejahatan seksual di masyarakat. Faktanya, hal ini memungkinkan kemaksiatan berkembang subur. Selain itu, aturan yang diberikan tidak menyentuh akar permasalahan dan sistem sanksinya tidak memberikan efek jera.
Berbeda dengan sistem Islam, Islam memandang pornografi adalah kemaksiatan karena memperlihatkan aurat, perilaku tidak senonoh, bahkan tindakan tercela seperti perzinahan. Konten seperti ini jelas berbahaya bagi kemurnian dan kesucian akal manusia. Di sisi lain, konten pornografi juga menyebabkan munculnya gharizah nau’ (naluri melestarikan keturunan). Akhirnya, pemikiran masyarakat menjadi rendah karena hanya memikirkan hal yang bersifat seksualitas. Oleh karena itu, tindakan ini harus dihentikan.
Dalam Islam, negara tidak akan membiarkan pornografi menjadi sebuah industri atau menjadi shadow economy seperti yang terjadi saat ini. Bahkan Islam mampu mengatasi masalah ini sampai ke akar-akarnya, karena industri maksiat jelas haram dan dilarang dalam Islam.
Islam mempunyai mekanisme pemberantasan maksiat dan sistem sanksi yang tegas yang memberikan efek jera, sehingga mampu memberantas secara tuntas. Dengan demikian, hanya dengan penerapan Islam secara menyeluruh akan menjadi rahmat bagi semesta alam. Anak-anak pun tumbuh dan berkembang dalam keamanan dan kenyamanan di lingkungan masyarakat yang bersih akalnya, jiwanya serta kebiasaannya. Wallahu’alam bishawab
Views: 54
Comment here