Seyogyanya tanggung jawab negara mengkondisikan lingkungan yang aman bagi insan sekolah. Negara malah sibuk program radikalisme sehingga lalai kebutuhan dasar pendidikan anak bangsa. Anak dipandang aman oleh negara bila anak aman dari radikalisme
Oleh Erdiana Ismail
wacana-edukasi.com, OPINI– Bak air ngalir deras tak terbendung dari dulu hingga kini, penyimpangan sek/penyakit sek terjadi di tengah kehidupan dari kota besar hingga ke pelosok-pelosok negeri terus berkembang pesat semakin banyak.
Merinding melihat fakta peristiwa penyimpangan sek dari pelakunya menularkan, membawa virus oleh para lesbi, gay, bisek, transgender. Penyakit sek ini mampu menjangkiti semua lapisan masyarakat tiada pandang bulu dari kalangan mana pun.
Potret suram dunia pendidikan akibat sodomi ulah dari oknum guru, di lingkungan sekolah ini terkuak. Polisi mengungkap fakta baru kasus pelatih paskibra di Muara Enim, Martin Hadi Susanto (37), yang memaksa anak didik menyodomi dirinya. Saat ini diketahui 13 anak didik sudah jadi korban nafsu bejatnya, namun polisi masih menyelidiki dugaan adanya korban lain, (detik.com.21/7/2023).
Di hari berikutnya terungkap kembali kasus Imam Mahdi (35) seorang guru dan wali kelas di SD Negri Muratara, mengaku menyodomi muridnya sendiri dengan rayuan serta ancaman pada korban, bila menolak nafsunya dengan ancaman tidak naik kelas. Dan setelah kasusnya dilimpahkan ke Polsek Muratara, terungkap bahwa masih ada korban 6 lagi yang lainnya. (Detik.com.17/07/2023). Ini salah satu kasus yang terkuak di media massa, bahkan masih banyak kasus yang tidak terungkap di lingkungan nyata.
Rentetan kasus pemaksaan sodomi di lingkungan pendidikan menyita perhatian psikolog, Anrilia Ema dari Klinik Magna Penta Palembang. Beliau menyebutkan bahwa sekolah ternyata tidak selalu aman bagi anak-anak, kala sekolah malah jadi tempat pencabulan, anak dipaksa sodomi bapak-bapak.(Detikcom.sumbagsel/22/07/2023).
Ironis di hari anak 23 Juli 2023 berturut-turut terungkap kasus sodomi korbannya anak-anak sekolah dari pelaku oknum guru mereka sendiri di lingkungan sekolah. Lingkungan tempat anak-anak dididik untuk mencetak generasi, masyarakat, bangsa yang beradab, berilmu demi masa depan cita-cita peradaban anak manusia, dirusak oleh pelaku oknum pendidik sendiri. Artinya bagaimana harapan di masa datang bila anak didik rusak fisik dan phiskhisnya dalam kasus sodomi.
Lingkungan tempat anak dididik jauh dari rasa aman lahir batin. Secara normalnya kehidupan anak-anak di sekolah merupakan rumah kedua setelah dalam keluarga. Anak butuh pengayoman, keamanan saat menunaikan kewajiban belajar di lingkungan sekolah dengan orang-orang yang bertanggung jawab di lingkungan sekolah (guru, pendidik, pegawai/petugas sekolah, teman-teman sejawatnya).
Justru lingkungan sekolah yang membuat tidak aman dari orang sekolahan itu sendiri. Hal ini tidak bisa lepas dari sudut pandang cara berfikir suatu bangsa dari negara dengan aturan/sistem yang berlaku berupa program pemerintah. Negara memandang anak aman itu adalah aman dari radikalisme, anak terlindungi tidak terkontaminasi radikalisme. Pemikiran ini lahir dari sistem aturan yang memisahkan aturan hidup dengan agama. Hidup wewenang individu sesuai hak asasi dilindungi undang-undang sah. Agama ranahnya sebatas ibadah, keyakinan, status kependudukan, tanpa campur tangan dalam problematika hidup.
Seyogyanya tanggung jawab negara mengkondisikan lingkungan yang aman bagi insan sekolah. Negara malah sibuk program radikalisme sehingga lalai kebutuhan dasar pendidikan anak bangsa. Anak dipandang aman oleh negara bila anak aman dari radikalisme. Negara tidak mengkondisikan lingkungan aman dari tindak asusila dari orang terdekat di rumah, sekolah, masyarakat. Lepas kontrol dari ketiga unsur (rumah, sekolah, masyarakat).
Permasalahan yang muncul di permukaan, sesungguhnya bermula dari aturan yang diberlakukan dimana individu itu hidup. Aturan pemisahan hidup dengan agama, berimbas luas. Seperti di rumah anak hidup dengan orang tua yang sibuk mencari nafkah, rizki yang menghabiskan waktu tanpa sempat mendampingi anak selama berada di rumah, ditambah lagi hasil bekerja orang tua tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Di lingkungan sekolah terdapat oknum pendidik/guru yang memiliki luka pengasuhan hidup di lingkungan dulu semasa kecil sebelum menjadi guru yang merupakan korban pengasuhan di rumah, korban sodomi. Serta masifnya rekrutmen fedolia melalui anak yang merupakan program global elgebite, berupa normalisasi menganggap lumrah elgebite melalui anak terjadi di lingkungan kita sehari-hari.
Mirisnya negara diam tidak membentengi rakyatnya dengan membuat aturan dengan undang-undang yang mampu membendung arus tersebut. Justru dibuatkan panggung bagi elgebite, inilah wujud negara mendukung agenda global Perserikatan Bangsa-bangsa menginstruksikan ke negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. Bahkan orang-orang elgebite menempati tempat-tempat penting yang menghasilkan uang menguntungkan negara dan merugikan rakyat.
Demikian parahnya aturan buatan manusia mengatas namakan hak asasi, melindungi individu dari berprilaku berdasarkan selera manusia sendiri tanpa menghadirkan adanya Sang Pencipta manusia demi keselamatan manusia sendiri. Padahal islam telah hadir sejak empat belas abad silam, terbukti aturanNya paripurna sesuai fitrah manusia, memuaskan akal serta menentramkan hati.
Aturan pergaulan (nizhomul ijtima’i) sesama manusia ada adab, tata caranya. Pergaulan laki-laki dan perempuan : wajib menutup aurat sempurna sesuai gendernya, dilarang mendekati zina, ikhtilat, tabaruj, menundukkan pandangan, semua diatur dalam al-qur’an dan hadits, ijma’ sahabat, qiyas. Bila larangan dipatuhi dan perintah di jalankan, kecil kemungkinan terjadinya penyimpangan sek, kelainan, kerusakan dari prilaku pergaulan manusia.
Kemudian fungsi negara sebagai ro’in pengurus urusan umat, melindungi, menjaga, perisai bagi rakyatnya, jika ada hal-hal yg mengganggu, mengancam, baik fisik dan phykhis keberlangsungan hidup manusia, negara yang bertanggung jawab penuh, wajib melindunginya. Dan pemimpin negara (kholifah) melayani kebutuhan umat berdasarkan, aturan Allah bukan berdasarkan hawa nafsu manusia. Karena yang berdaulat adalah aturan/sistem islam berdasarkan al-qur’an dan hadits. Aturan islam mengatur secara total keseluruhan menyeluruh terintegral hidup dan keyakinan, aqidah, keimanan tiada terpisahkan dalam bingkai syari’ah khilafah. Sebagaimana janji Allah ta’ala dalam firmanNya al-‘arof 97 : “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, terapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan yang telah mereka kerjakan.”
Keberkahan hidup menciptakan keluarga sakinah tentram menjalankan amanah hidup, suami/ayah/laki-laki sebagai qowwam mencari nafkah untuk keluarga. Istri/ibu/perempuan menjadi ummun warobatul bait/ibu menejer dalam keluarga serta ummu madrosatul ‘ula/ibu pendidik utama dan pertama bagi keluarga keturunannya. Anak aman beribadah, berbakti pada orang tua, menuntut ilmu, dengan ikhlas. Dari kehidupan keluarga-keluarga terikat aturanNya, mampu membentuk masyarakat taat perintahNya dan meninggalkan laranganNya. Serta negara menjalankan fungsinya menjaga, melindungi, mengayomi (ro’in) dan melayani (su’uni) kebutuhan umat. Allah ridho dalam naungan daulah khilafah. In syaa Allah tidak ada lagi pelanggaran, kemaksiatan (sodomi, kriminal, elgebite) karena takut azab Allah saat di dunia menjadi efek jera dan mencegah kerusakan, apalagi di akhirat. Wallahu ‘alam.
Views: 33
Comment here