Oleh : Siti Komariah
wacana-edukasi. Com, OPINI– Anak adalah pelita yang memberikan cahaya terang bagi masa depan suatu bangsa. Baik dan buruknya suatu bangsa tergantung dari anak-anak yang menjadi penerus tongkat estafet kepemimpinan. Namun, kini cahaya tersebut mulai redup. Anak-anak banyak yang dieksploitasi dengan berbagai cara demi keuntungan segelintir orang.
Sebagaimana dilansir Media Indonesia, 24/09/2023 Polda Metro Jaya telah menangkap seorang mucikari yang diduga melakukan prostitusi atau tindak pidana perdagangan orang (TPPO) anak di bawah umur melalui media sosial.
Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda Metro Kombes Ade Safri Simanjuntak mengungkapkan, tersangka FEA ditangkap di daerah Johar Baru, Jakarta Pusat. Melalui pengakuan tersangka, ia melakukan bisnis haram tersebut dari bulan April-September 2023. Tersangka mengajak korban melalui jejaring pergaulan media sosial, kemudian memberikan iming-iming kepada korban dengan harga Rp.1.5 juta – Rp.8 juta per jamnya.
Kian Meningkat dan Berulang
Ekploitasi anak di bawah umur bukan kali ini saja terjadi, namun kasus ini terus berulang dengan berbagai modus. Diantara kasus ekploitasi anak yang telah terjadi. Pertama, pada bulan Juli tahun 2023 lalu, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Kepolisian Resor Kota (Polresta) Banda Aceh menangkap pelaku ekploitasi anak dengan modus menjual “”jambu potong”. Pelaku merekrut anak-anak dari keluarga miskin untuk menjual jambu potong di berbagai tempat, seperti warkop, perempatan lampu merah, rumah makan, dan lainnya. Aksinya telah dilancarkan sejak bulan Februari 2023.
Kedua, kasus ekploitasi seksual pada tahun 2022 lalu. Polres Metro Jakarta Selatan berhasil mengungkap kasus prostitusi anak di bawah umur di hotel, di Jalan Jaha, Cilandak Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Modus yang dilakukan tidak jauh berbeda dengan kasus prostitusi lainnya. Mucikari merekrut korbannya dari keluarga broken home melalui situs online. Para korban diiming-imingi dengan bayaran Rp 300 ribu – Rp 800 ribu. Para mucikari menawarkan korbannya kepada para hidung belang melalui aplikasi Michat.
Dan masih banyak lagi kasus-kasus ekploitasi anak dengan berbagai modus yang terus berulang, bahkan kasusnya kian meningkat dari tahun ke tahun. Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Nahar, menjelaskan terjadi kenaikan ekploitasi anak di tahun 2019-2022. Secara detail, pada tahun 2019 sebanyak 106 anak menjadi korban eksploitasi, kemudian pada tahun 2022 naik menjadi 216 korban. Ia juga menyebutkan kasus ekploitasi juga terjadi melalui beragam model, mulai dari ekploitasi seksual hingga ekonomi.
Alarm Seluruh Elemen
Banyaknya oknum-oknum yang tidak bertangungjawab memanfaatkan anak-anak sebagai bahan untuk mendapatkan keuntungan dengan cara yang instan. Seharusnya menjadi alarm bagi seluruh elemen, mulai dari orang tua, masyarakat, maupun negara. Sebab, tanggung jawab penjagaan anak-anak bukan hanya bertumpu pada orang tua saja, namun pada seluruh elemen.
Anak yang kekurangan kasih sayang dan perhatian orang tua, bahkan terjerat pada lingkungan ekonomi rendah, membuat mereka rela menjadi bahan ekploitasi demi mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, atau justru mengikuti gaya hidup yang kian hedonis ini. Orang tua dengan ekonomi lemah terkadang tak berdaya saat anak-anak menjadi bahan ekploitasi. Mereka justru menganggap itu sebagai bentuk untuk membantu orang tua dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Sungguh sangat miris, anak-anak yang harusnya masih mengenyam bangku pendidikan, mempersiapkan masa depan yang cemerlang sebagai agen perubahan suatu bangsa, justru telah dirusak. Cahaya terang menjadi redup akibat sistem yang telah bobrok.
Sistem Kapitalisme Biang Keroknya
Sistem bobrok yang diemban hampir seluruh negara di dunia ini, nyatanya tidak mampu memberikan solusi tuntas terhadap berbagai problem yang membelit masyarakat, termasuk masalah ekploitasi anak. Yang terjadi, justru masalah kian meningkat dan runyam. Walaupun berbagai program dan kebijakan telah dibuat, mulai dari pembentukan kota layak anak hingga hukuman bagi pelaku ekploitasi anak, namun nyatanya kasus tersebut tidak kunjung usai.
Tidak dimungkiri, sampai kapanpun kapitalisme tidak akan mampu menjadi solusi tuntas malasah ekploitasi anak. Sebab, sistem yang berasas pada materi ini telah merusak seluruh elemen, mulai dari individu, keluarga, masyarakat, dan negara.
Pertama, individu. Sistem kapitalisme telah merusak individu-individu di tengah masyarakat. Kapitalisme telah menanamkan pada diri manusia bahwa kebahagian dan kepuasan hanya bisa didapat jika memiliki banyak materi. Standar perbuatan bukan lagi untuk syariat Allah, melainkan hawa nafsu semata. Tujuan hidup tidak lagi bertumpu pada ibadah, mencari ridho Allah untuk menuju surga-Nya, namun hanya sekadar mencari kenikmatan dunia yang fana. Alhasil, semua berlomba-lomba untuk mengumpulkan materi yang banyak dengan menghalalkan berbagai cara. Bahkan menabrak norma-norma agama dan negara.
Kedua, keluarga. Tatanan keluarga seharusnya menjadi benteng utama perlindungan anak, nyatanya kini juga mulai rapuh. Tugas utama seorang ibu untuk menanamkan akhlak-akhlak mulai dan membersamai tumbuh kembangnya pun kini mulai terkikis dengan nilai-nilai materi semata. Kapitalisme yang melanggengkan racun feminisme telah mengikis peran utama seorang ibu. Dengan slogan “perempuan berdaya, perempuan mandiri” membuat banyak perempuan yang rela terjun ke ranah publik hingga meninggalkan pengasuhan anak-anak mereka.
Di sisi lain, akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang membuat semua kebutuhan hidup mencekik rakyat, mulai dari bahan pokok yang mahal, air yang harus beli, listrik mahal, biaya pendidikan, biaya kesehatan mahal, dan lainnya, membuat perempuan juga dipaksa untuk terjun ke ranah publik untuk membantu perekonomian keluarga. Ditambah dengan berbagai kasus sepele dalam rumah tangga, seperti perceraian karena suami yang tidak mampu memberikan nafkah istri, dan lainnya yang menjadi pemicu retaknya hubungan rumah tangga membuat anak-anak menjadi korbannya. Alhasil, ibu meninggalkan peran pentingnya sebagai ummu warobbatul bait, anak-anak tidak mendapatkan perhatian dan pendidikan yang seharusnya mereka dapatkan. Hal ini dimanfaatkan oleh para oknum nakal untuk merekrut mereka dengan iming-iming uang, ataupun perhatian.
Ketiga, kontrol masyarakat. Akibat sistem kapitalisme, kesenjangan sosial kian tampak. Kontrol sosial yang harusnya dihidupkan di tengah masyarakat lambat laun mulai sirna. Sikap kepedulian terhadap sesama, baik dalam hal melanggar syariat Allah atau sekadar urusan dunia pun banyak yang mulai acuh. Sikap individualisme kian mendominasi. Individu masyarakat dibuat asing dengan nasib orang lain. Sebagai contoh, beberapa bulan lalu ada kejadian yang sangat mengejutkan, seorang ibu dan anak meninggal sudah tinggal tulang belulang, namun para tetangga tidak mengaku tidak mengetahui kejadian tersebut. Sungguh ironis.
Keempat, peran negara. Sistem kapitalisme telah menjauhkan peran negara sebagai periayah urusan rakyat. Negara hanya difungsikan sebagai regulator. Sedangkan yang membuat kebijakan adalah para oligarki. Negara di dalam sistem ini dibuat berhitung untung rugi kepada rakyatnya.
Alhasil, pemenuhan kebutuhan rakyat, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan harusnya merupakan tangung jawab negara justru diabaikan. Negara sibuk melakukan pembangunan berbagai infrastruktur, menjamu para investor untuk membantu perbaikan ekonomi negeri. Padahal, semua pembangunan dan masuknya investor justru malapetaka bagi negeri ini sendiri. Nyatanya, semua infrastruktur justru dinikmati oleh segelintir oligarki, rakyat harus membayar mahal jika ingin menikmatinya. Sungguh rakyat dibuat menderita di negeri yang kaya, termasuk perlindungan anak yang lepas dari pengawasan negara.
Di sisi lain, sistem hukum di negeri ini pun mudah dimainkan oleh mereka yang bermodal. Jamak diketahui, hukum ini “tumpul ke atas, tajam ke bawah”. Selain itu, hukuman pun tidak mampu memberikan keadilan dan memberikan efek jera, baik bagi pelaku maupun orang lain. Alhasil, kriminalitas dan kasus-kasus lainnya akan terus berulang, walaupun telah bolak balik masuk teruji besi.
Islam solusi Tuntas
Dari penjabaran di atas terlihat bahwa kapitalisme tidak mampu untuk menyelesaikan kasus ekploitasi anak, yang ada justru menjadi biang keladi merebaknya kasus tersebut. Oleh karena itu butuh solusi paripurna untuk menyelesaikan kasus ini, dan semua itu hanya ada pada sistem Islam.
Ya, ada beberapa mekanisme agar anak bisa terlindungi. Pertama, Islam mewajibkan negara menanamkan pada diri individu rakyatnya ketakwaan kepada Allah swt.. Standar perbuatannya adalah perintah dan larangan-Nya semata, sehingga ini akan menjadi benteng utama manusia dalam bertindak. Mereka takut akan dosa jika melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah, seperti mengekploitasi anak-anak.
Kedua, menerapkan sistem pendidikan yang berasas pada akidah Islam. Sistem pendidikan ini memiliki tujuan untuk membentuk pribadi-pribadi yang memiliki pola pikir dan pola sikap Islami. Dengan misi dan visi ini, akan membantu negara membentuk generasi-generasi yang hanya berfokus untuk menggapai rida Allah saja, bukan melakukan hal sia-sia, apalagi sampai dibenci oleh Allah.
Ketiga, kontrol sosial dalam sebuah masyarakat. Kesenjangan sosial tidak akan tampak, sebab standar masyarakat Islam bukanlah materi atau harta, melainkan ketaatan kepada Allah. Masyarakat paham bahwa setiap dari harta mereka, ada hak orang lain, sehingga mereka pun menyedekahkan harta mereka kepada saudara yang membutuhkan. Masyarakat Islam sangat mencintai tetangganya, saling peduli terhadap sesama, dan juga mengingatkan dalam amar makruf nahi mungkar.
Ketiga, dalam Islam, negara memiliki kewajiban untuk meriayah urusan rakyatnya, termasuk melindunginya dari berbagai hal yang menjerumuskan ke dalam hal-hal yang salah. Sebagaimana, sabda Rasulullah, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Negara Islam bertindak menerapkan kebijakan untuk melindungi anak-anak, seperti, negara akan memenuhi hak-hak anak, mulai dari kandungan hingga ia dewasa. Hak-hak tersebut diberikan kepada anak secara gratis, seperti hak untuk mendapatkan air susu ibu, hak makanan yang sehat, pendidikan, kesehatan, serta menjamin keamanan mereka.
Kemudian, negara khilafah mewajibkan pencari nafkah hanya pada laki-laki saja, namun Islam tidak melarang jika perempuan terjun ke ranah publik. Asalkan dia tidak mengabaikan tugas utamanya sebagai ibu dan pengurus rumah tangganya.
Untuk menunjang agar para suami bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, maka negara menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi rakyatnya. Negara juga menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyat per individu rakyat, jika istri dan anak ditinggal oleh suami meninggal, nafkah jatuh pada wali. Jika wali tidak mampu, nafkah jatuh pada negara.
Selanjutnya, negara khilafah akan melindungi anak-anak dari kejahatan melalui media sosial. Media sosial dan berbagai aplikasi lainnya dipantau oleh negara. Jika ada yang melakukan kejahatan, negara akan memberikan sanksi tegas dan menjerakan bagi pelaku dan orang lain.
Negara Islam juga menerapkan sistem ekonomi Islam. Dengan berbagai pengaturan sistem ekonomi Islam, negara akan mampu menyejahterakan rakyatnya, apalagi Indonesia terkenal dengan kekayaan alamnya yang luar biasa. Sungguh itu merupakan modal besar negara ini menjadi negara adidaya tanpa bantuan investor asing, jika semua itu dikelola dengan mekanisme ekonomi Islam. Dengan berbagai mekanisme tersebut, maka rakyat sejahtera anak-anak terlindungi dari ekploitasi. Wallahu A’alam Bissawab
Views: 12
Comment here