Opini

Potret Keluarga Korban Kapitalisme

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Niswa (Aktivis Dakwah)

Wacana-edukasi.com — Ridho Allah itu tergantung ridho kedua orangtua dan murka Allah juga tergantung kepada murka kedua orangtua (HR. Tirmidzi).

Sepertinya hadist tersebut sudah mulai banyak dilupakan oleh kaum muslim akhir-akhir ini. Pasalnya mengawali tahun 2021 yang belum genap 1 bulan, sudah ada sedikitnya 5 kasus gugatan yang dilayangkan oleh anak kepada orang tuanya. Mulai dari soal tanah, mobil, warisan, hingga karena pakaian.

Yang sedang banyak mendapatkan sorotan akhir-akhir ini adalah kasus anak (Deden) yang menggugat ayahnya (Pak Koswara) sebesar Rp 3 miliar. Hal ini dikarenakan keinginan Pak Koswara untuk menjual tanah milik keluarganya dengan alasan untuk dibelikan rumah dan juga untuk dibagi-bagikan kepada anak-anaknya. Namun, niat pak Koswara ini ditentang oleh anaknya, karena selama ini ia telah menyewa secara sah sebagian tanahnya dengan mendirikan toko dan berjualan. Dan berujung pada pengajuan gugatan sang anak di Pengadilan Negeri, Bandung, dengan nomor perkara: 517/Pdt.G/ 2020/ PN Bdg (pikiran-rakyat.com, 21/01/2021).

Tak tanggung-tanggung, Deden mengajak adik-adiknya untuk mengajukan gugatan kepada ayahnya, salah satunya adalah Masitoh, yang berprofesi sebagai pengacara. Namun sayang, Masitoh yang mendampingi Deden sebagai kuasa hukumnya, meninggal dunia karena serangan jantung dan dimakamkan di hari yang sama dengan hari persidangan sang ayah digelar (kai.or.id, 22/01/2021).

Mengapa hal ini bisa terjadi? Menurut pakar hukum Universitas Trisakti, Asep Iwan Iriawan, kasus gugatan adalah hak keperdataan yang merupakan hak setiap orang untuk menggugat siapapun termasuk orangtua, maupun saudara kandung (kompas.tv, 23/01/2021).

Menanggapi hal di atas. Maka, bukan suatu yang mengherankan lagi, jika semakin hari semakin bertambah banyak kasus perseturuan antar anggota keluarga. Karena sejatinya hal tersebut difasilitasi oleh negara sebagai pembuat regulasi. Regulasi tersebut lahir dari sistem sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga konteks agama hanya diartikan sebagai ibadah ritual saja, dan menjauhkan masyarakat dari pemahaman penerapan aturan Islam dalam setiap aspek kehidupan. Jadi, alih-alih membentuk keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah yang merupakan tujuan sesungguhnya dari suatu pernikahan, sistem sekuler malah melahirkan generasi durhaka yang akan mengambil tindakan secara liberal demi sebuah nama kebebasan. Mereka tidak lagi mempunyai rasa hormat, saling menyayangi, terlebih lagi melindungi orangtua yang begitu besar jasanya sepanjang masa hidup sang anak.

Padahal di dalam Islam, ada perintah birrul walidain yaitu berbuat kebaikan kepada orang tua. Sebab, jasa orangtua tidak akan pernah bisa dibalas dengan apapun. Bahkan dikisahkan dalam Kitab Al-Kaibar, karya Adz-Dzahabi, ketika ada seorang laki-laki yang sedang melakukan thawaf sambil menggendong ibunya yang sudah sangat tua dipunggungnya. Ia berharap, hal tersebut dapat membalas jasa ibunya. Akan tetapi Umar r.a. mengatakan hal tersebut belum dapat membalas jasa ibunya, meskipun satu erangan sang ibu ketika melahirkannya.

Sistem kapitalisme yang merupakan anak kandung dari sistem sekularisme juga turut membentuk masyarakat yang hanya menilai segala sesuatunya berdasarkan materi belaka. Sehingga hubungan antar anggota keluarga juga dinilai berdasarkan manfaat, dan menyebabkan rusaknya pola hubungan dalam keluarga.

Akibat dari sistem kapitalisme juga banyak keluarga yang mengalami disorientasi hidup. Orientasi keluarga berubah dan merujuk pada nilai-nilai materi sehingga jauh dari nilai akhlak. Penerapan kurikulum dalam pendidikan yang bersifat materialistis, menjadikan orangtua lebih fokus pada upaya memperbanyak materi dan mendidik anak dengan cita-cita yang materialistik. Dan mengesampingkan pembentukan kepribadian dengan keimanan yang kuat dan kepribadian Islam yang kokoh.

Berbeda dengan Islam, penerapan sistem Islam sebagai ideologi, dari aspek politik, sosial ekonomi, pendidikan, kesehatan layanan masyarakat, ketahanan dan keamanan menjadi pengurusan negara yang diterapkan secara benar dan bertanggungjawab. Hal ini akan melahirkan generasi yang mempunyai keimanan yang kuat, kepribadian Islam yang kokoh, dan mempunyai perilaku atas dasar syariat Islam, serta memperhatikan adab islam dalam setiap langkah perbuatannya, dengan merujuk alquran dan hadist.

Selain itu dengan adanya peran negara dalam mengatur kehidupan bermasyarakat agar sesuai dengan syariat Islam, akan menciptakan masyarakat yang senantiasa beramar makruf nahi munkar. Sehingga masyarakat senantiasa berjalan di atas kebenaran, termasuk dalam hal ini berbakti kepada orang tua dan masalah adab, dan tidak ada lagi masyarakat individualis yang berasaskan materi belaka sebagaimana di dalam sistem kapitalis.

Penerapan hukum Islam yang saling terkait, sejatinya mampu menjawab seluruh permasalahan yang menimpa manusia dengan tuntas, terperinci, tegas, dan jelas. Tidak ada lagi solusi yang parsial yang akan melahirkan peraturan yang tamba sulam. Maka sudah saatnya kaum muslim, menjadikan syariat silam sebagai standar aturan hidup, agar dapat mewujudkan keluarga yang kuat, masyarakat mulia, dan umat terbaik.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 7

Comment here