Oleh: Ilma Mahali Asuyuti
Wacana-edukasi.com, OPINI-– Kebijakan pajak merupakan kebijakan yang lahir dari sistem kapitalisme. Meskipun pemerintah meyakinkan bahwa PPN (Pajak Penambahan Nilai) hanya untuk barang mewah, pada faktanya harga-harga barang lain tetap naik. Ini terkait ketidak jelasan di awal akan barang yang akan terkena PPN 12 persen pada semua jenis barang. Ketika harga sudah naik, tak bisa dikoreksi meski aturan menyebutkan kenaikkan PPN hanya untuk barang mewah saja.
Mengutip Kompas.com, meskipun kenaikkan tarif PPN hanya berlaku untuk barang mewah, sejumlah barang dan jasa tetap ikut terdampak tarif PPN 12 persen.
Terdampaknya pengenaan PPN atas sejumlah barang dan jasa itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 yang mengatur tentang skema PPN di tahun 2025, yaitu tarif efektif 12 persen untuk barang-barang mewah dan tarif efektif 11 persen untuk barang-barang non-mewah.
Dalam Pasal 4 PMK tersebut pemerintah menyebutkan, ada sejumlah barang dan jasa kena pajak (BKP/JKP) tertentu yang selama ini sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan secara tersendiri. Pengenaan PPN atas barang dan jasa tertentu itu memang telah menggunakan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) nilai lain atau besaran tertentu.
PMK 131/2024 menegaskan, setiap pemungutan, penghitungan, dan penyetoran PPN atas barang dan jasa tertentu itu dilakukan sesuai dengan ketentuan regulasi yang sudah berlaku. Besaran pungutan PPN atas barang dan jasa khusus itu selama ini mengacu pada tarif PPN yang berlaku.
Artinya, meski tidak termasuk barang mewah, barang dan jasa itu tetap akan mengalami kenaikkan pungutan PPN karena adanya kenaikkan tarif PPN yang berlaku dari 11 persen menjadi 12 persen (Kompas.com, 3 Januari 2025).
Kapitalisme menjadikan pajak sebagai sumber dana Pembangunan. Diterapkan kepada siapa saja karena merupakan kewajiban rakyat. Meskipun begitu, kapitalisme sering tidak berlaku adil kepada rakyat, hal ini terkait dengan peran negara dalam kapitalisme, negara berperan sebagai regulator dan fasilitator yang sering berpihak kepada para pengusaha dan abai kepada rakyat. Para pengusaha terutama asing dan aseng seringkali mendapat kebijakan keringanan pajak, sementara rakyat biasa dibebani dengan berbagai pajak yang makin memberatkan hidup rakyat.
Negara nampak berusaha untuk cuci tangan dengan didukung media partisan dan menyebutkan berbagai program bantuan yang diklaim untuk meringankan hidup rakyat, namun sejatinya abai terhadap penderitaan rakyat. Kebijakan ini membuktikan bahwa penguasa dalam sistem kapitalisme adalah penguasa yang populis otoriter. Dimana para penguasa dengan sengaja menyebut kepentingan rakyat, padahal seringkali kepentingan itu justru berlawanan, yaitu kepentingan untuk elit politik (para oligarki).
Mereka selalu mementingkan kepentingan pribadi, tidak peduli bagaimana nasib rakyatnya ketika dihadapkan dengan situasi yang tidak masuk akal. Karena dengan diterapkannya pajak, justru rakyat tidak merasakan sedikit pun keuntungan dari kebijakan tersebut, yang ada hanyalah rakyat semakin bertambah berat beban hidupnya, dan tidak meringankan kebutuhan hidup mereka.
Populisme lahir atas dasar persepsi rakyat biasa terhadap pengkhianatan elit politik atau sikap kontradiktif antara janji mereka saat kampanye dan realisasinya ketika mereka berkuasa. Pada akhirnya, tuntutan rakyat diabaikan oleh elit penguasa yang tidak responsif.
Penguasa dalam sistem demokrasi kapitalisme juga selalu otoriter, dimana pendapat atau keluhan rakyat selalu diabaikan dan mereka memberlakukan kebijakan-kebijakan tanpa persetujuan rakyat, sistem peraturan pun bisa diubah sesuka hati mereka sesuai kepentingan pribadi.
PPN 12 persen juga secara tidak langsung adalah pemalakkan negara kepada rakyat, mereka dengan santainya mengeluarkan kebijakan yang menambah penderitaan rakyat. Akhirnya, kesejahteraan yang mereka janjikan saat kampanye pada faktanya justru semakin jauh dari kata sejahtera.
Berbeda dalam sistem Islam, Islam mewajibkan penguasa menjadi raa’in (pengurus) yang mengurus urusan rakyat sesuai dengan aturan Islam dan tidak menimbulkan antipati (rasa ketidaksukaan) pada rakyat, juga tidak membuat rakyat menderita. Islam mewajibkan penguasa hanya menerapkan sistem berdasarkan aturan Islam saja, dimana negara menerapkan hukum-hukum yang berasal dari Allah, yaitu Al Quran dan bukan buatan manusia.
Sistem ekonomi Islam menetapkan negara sebagai raa’in (pengurus) yang mengurusi urusan rakyat, memenuhi kebutuhannya, mensejahterakan dan membuat kebijakan yang membuat rakyat hidup tenteram.
Sistem ekonomi Islam juga menetapkan aturan kepemilikkan dan menjadikan sumber kekayaan alam sebagai milik umum yang wajib dikelola negara dan hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat dengan berbagai mekanisme yang diatur syara’. Sumber Daya Alam (SDA) juga merupakan salah satu sumber pemasukkan negara dan tidak membolehkan individu untuk mempunyai hak milik terhadap SDA.
Negara memiliki berbagai sumber pemasukkan yang cukup untuk mewujudkan kesejahteraan individu per individu, mulai dari SDA yang dikelola mandiri, kharaj, jizyah, ghanimah dan lain sebagainya.
Sedangkan pajak merupakan alternatif terakhir yang dipungut oleh negara dalam kondisi kas negara yang kosong dan ada kewajiban negara yang harus ditunaikan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, dan hanya dipungut pada rakyat yang mampu atau kaya, itu pun tidak ditentukan jumlah atau persen dalam pajaknya.
Selain itu, Islam juga menetapkan jabatan sebagai amanah yang dimana penguasa harus bertanggung jawab atas apa yang menjadi amanahnya, dan tidak melanggar hukum-hukum Allah.
Karena jabatan merupakan amanah, maka para penguasa dalam Islam tidak akan seenaknya dalam menetapkan kebijakan, karena segala sesuatu akan dimintai pertanggung jawabannya. Apalagi seorang penguasa bertanggung jawab atas banyaknya rakyat yang ia pimpin.
Dalam sejarah pun, ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat Rasulullah saw. ditunjuk sebagai khalifah (pemimpin), ia menangis karena takut tidak bisa berlaku adil kepada rakyatnya.
Beliau menangis karena menyadari beratnya amanah sebagai pemimpin umat Islam setelah wafatnya Rasulullah ﷺ. Abu Bakar merasa dirinya tidak cukup layak dibandingkan dengan Rasulullah, dan khawatir tidak mampu menjalankan tanggung jawab itu dengan sebaik-baiknya.
Rasa tanggung jawab dan ketakwaan inilah yang menjadi ciri khas kepemimpinan Abu Bakar, sehingga beliau menjadi contoh pemimpin yang rendah hati dan adil.
Views: 38
Comment here