Opini

PPN Naik, Beban Hidup Rakyat Makin Tercekik

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Siti Muslikhah

wacana-edukasi.com–Untuk menciptakan fondasi pajak negara yang kuat, mulai 1 April 2022 kebijakan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 11% dari sebelumnya 10% mulai diberlakukan. Hal ini disampaikan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam webinar Economic Outlook 2022 (JawaPos.com, 22/3/2022).

Kebijakan kenaikan tarif PPN ini sesuai Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan pada 7/10/2021 lalu. Dalam UU HPP tersebut tarif PPN akan naik lagi menjadi 12 % pada 2025.

Meskipun kenaikan PPN hanya sebesar 1 hingga 2 persen, tetap akan berdampak pada kehidupan masyarakat. Harga barang akan naik, sehingga biaya hidup yang harus dikeluarkan bertambah banyak. Apalagi sejak awal tahun harga kebutuhan masyarakat seperti minyak goreng, gas elpiji, ayam, daging sapi, cabai rawit melejit. Tentu saja ini akan membuat beban ekonomi rakyat semakin berat.

Dilansir dari cnbcindonesia.com, 25/3/2022, kebijakan kenaikan tarif PPN ini menuai banyak penolakan. Salah satunya datang dari Ekonom senior, Faisal Basri. Menurut Faisal dalam wawancaranya dengan CNN TV (25/3/2022), kenaikan tarif itu tidak adil untuk rakyat. Sebab pada saat yang sama pemerintah justru menurunkan pajak perusahaan yang sebelumnya 25% menjadi 22%. Bahkan sebelumnya direncanakan sampai 20% namun dibatalkan. Tidak peduli rakyat kecil atau kaya bayar PPNnya sama.

Selain itu, alasan Faisal menolak kenaikan PPN adalah perbandingan dengan negara tetangga maupun G20. Memang tarif PPN Indonesia lebih rendah. Namun pendapatan negara tersebut juga harus dilihat. Jika dibandingkan dengan Malaysia saja pendapatan masyarakat Indonesia masih tertinggal, apalagi sampai dibandingkan dengan negara seperti Amerika Serikat (AS) atau negara-negara lainnya di G20.

Kenaikan tarif PPN ini dilakukan untuk menggenjot penerimaan pajak. Pasalnya dalam sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan di negeri ini, pajak dijadikan sumber pemasukan utama negara. Lihat saja pendapatan negara dalam APBN tahun 2022 yang direncanakan sebesar Rp1.846,1 triliun itu bersumber dari pajak sebesar Rp1.510,0 triliun, penerimaan negara bukan pajak Rp335,6 triliun dan penerimaan hibah Rp0,6 triliun. Penerimaan negara dari pajak tahun ke tahun terus dinaikkan. Rakyat dijadikan “sapi perahan” negara. Berbagai jenis pajak pun ditetapkan demi menaikkan pemasukan negara. Walhasil rakyat jauh dari kesejahteraan karena menanggung beban hidup yang makin berat.

Padahal jika melihat kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah baik di darat maupun di laut, tidak habis rasanya untuk digali dan dimanfaatkan hasilnya. Sayangnya kekayaan alam tersebut tidak dikelola dengan aturan yang benar. Kekayaan alam yang sejatinya milik rakyat justru diserahkan pada swasta, sehingga negara hanya mendapatkan pajak yang tidak seberapa. Akibatnya, pemasukan negara dari sektor ini minim. Rakyat pun tidak bisa merasakan kekayaan alam yang dimiliki negerinya.

Berbeda dengan negara khilafah yang menerapkan aturan Islam, pajak tidak dijadikan sumber pemasukan tetap negara. Pajak hanya diambil ketika kondisi kas negara kosong. Ketika kekosongan kas negara sudah teratasi, maka penarikan pajak pun harus segera dihentikan. Dalam Islam, pajak tidak akan dikenakan pada seluruh warga negaranya. Pajak hanya diambil dari kaum muslim yang kaya saja. Yaitu kaum muslim yang mempunyai kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya. Jika tidak mempunyai kelebihan, maka pajak tidak akan diambil darinya. Memungut pajak kepada selain dari ketetapan di atas disebut sebagai kezaliman yang ancamannya adalah api neraka. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam hadistnya: “Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diazab) di neraka.” (HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930).

Adapun pemasukan negara khilafah yang bersifat tetap diperoleh dari fai, jizyah, kharaj, ‘unsyur, harta milik umum yang dilindungi negara, harta haram pejabat dan pegawai negara, khumus rikaz dan tambang, harta orang yang tidak mempunyai ahli waris, dan harta orang murtad.

Kekayaan alam dipandang sebagai harta milik umum. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. “Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api” (HR Ibnu Majah). Maka haram hukumnya dimiliki oleh segelintir orang. Negara pun dilarang menyerahkan pengelolaannya kepada pihak swasta. Kekayaan alam yang melimpah di negeri-negeri kaum muslim akan dikelola oleh negara dan hasilnya akan dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, rakyat bisa menikmati kekayaan alam negerinya tanpa dibebani dengan berbagai macam tarikan pajak oleh negara.

Sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini telah nyata membuat kehidupan rakyat semakin menderita. Penarikan berbagai jenis pajak sebagai pemasukan utama negara membuat kondisi ekonomi negara semakin buruk, bahkan angka kemiskinan semakin meningkat. Sudah saatnya kita mengubah sistem yang membuat pajak begitu mencekik rakyat dengan menerapkan sistem Islam kafah dalam daulah khilafah islamiyah.
Wallahu’alam.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 18

Comment here