Oleh : Dite Umma Gaza (Pegiat Dakwah).
Wacana-edukasi.com, OPINI-– Membatalkan ketetapan PPN naik terasa begitu sulit. Undang-undang menjadi keputusan penguasa yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyatnya. Begitu jelas terlihat perbedaan sistem ekonomi kapitalisme versus sistem ekonomi Islam. Lantas, di mana perbedaannya?
Diberitakan oleh Beritasatu.com (20/12), Aksi damai diikuti dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, akademisi, hingga para penggemar K-Pop. Mereka menggelar aksinya di depan Istana Negara (19/12). Mereka mengajukan petisi menolak PPN naik (Pajak Pertambahan Nilai yang naik 12 persen). Petisi tersebut diajukan kepada Sekretariat Negara (Setneg).
Penggagas aksi damai, Risyad Azhary mewakili massa aksi menyerahkan petisi yang telah ditandatangani lebih dari 113.000 orang secara online kepada pihak Sekretariat Negara. Namun, sayangnya tanggapan Setneg hanya sebatas administratif dan terkesan hanya formalitas.
Mulai 1 Januari 2025 kemungkinan akan diterapkan bahwa PPN naik 12%. Aliansi warga sipil yang tergabung dalam aksi tersebut menegaskan akan mengawal kebijakan tersebut sampai dibatalkan.
Para pelaku aksi memaparkan bahwa aksi mereka beragam. Antara lain penyuluhan kepada masyarakat, kampanye dengan poster dan stiker, juga demonstrasi langsung dan penggalangan petisi.
PPN Naik
Kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% akan diberlakukan pemerintah pada awal tahun 2025 ini. Tambahan pungutan pajak kendaraan bermotor juga ditetapkan dari nilai pokok wajib pajak sebesar 66%.
Dampak buruk bagi kesejahteraan rakyat jelas menjadi imbas dari kenaikan tarif dan penambahan pajak. Meskipun ekonomi negeri ini terbilang buruk, juga sektor industri dan daya beli masyarakat menurun, tetapi pemerintah tetap melegalkan kenaikan PPN ini. Tentu saja hal di atas akan menimbulkan efek domino pada krisis ekonomi dan kepercayaan.
Disinyalir, pemerintah hanya menaikkan pajak atas barang mewah. Di samping itu, subsidi untuk rakyat pun sudah dipersiapkan. Subsidi tersebut diberikan pada kebutuhan pokok seperti listrik. Namun, kebutuhan masyarakat yang lebih penting seperti bahan pokok dan sembako, tidak luput dari kebijakan kenaikan pajak. Alhasil, untuk beberapa waktu ke depan subsidi ini tidak mengurai permasalahan perekonomian.
Pemerintah mengeklaim bahwa PPN negeri ini masih jauh lebih ringan dibanding negara lain yang mencapai 15%. Namun di negara-negara ASEAN, PPN Indonesia menduduki peringkat tertinggi. Padahal, kesejahteraan ekonomi Indonesia tidak lebih baik, dibanding pajak PPN 8% di negara tetangga seperti Singapura misalnya.
Sekularisme Kapitalisme Akar Masalah
Pemerintah yang menaikkan pajak PPN sebesar 12% adalah buah dari diterapkannya Sekularisme Kapitalisme di negeri ini. Pajak menjadi sumber pendapatan negara, dan rakyat menjadi sasaran penyumbang anggaran negara. Negara pun sudah banyak mengambil utang luar negeri, tetapi APBN masih mengalami defisit karena bengkaknya biaya operasional. Tidak mengherankan jika melalui pajak, uang rakyat menjadi incaran untuk menutupi anggaran.
Pendanaan negara dari pajak semakin bermacam pilihan dan jenisnya. Pemerintah pun tak malu lagi mengatasnamakan undang-undang untuk memeras rakyatnya. Rakyat dipaksa mengumpulkan dana untuk pembiayaan-pembiayaan yang manfaatnya pun belum tentu bisa dinikmati rakyat. Alhasil rakyat semakin terbebani dan sengsara.
Banyak undang-undang yang diamendemen hanya untuk kepentingan segelintir orang. Petisi rakyat pun seolah menjadi angin lalu, pemerintah tetap merasa berat untuk membatalkan ketetapan kenaikan pajak. Ketetapan penguasa sulit dianulir, bahkan sekadar untuk menunjukkan kepedulian kepada rakyatnya pun mereka enggan. Inilah perbedaan sistem ekonomi sekuler kapitalisme dengan sistem ekonomi Islam.
Kewajiban pemerintah kepada rakyat
Sebagai pemegang kebijakan, pemerintah harusnya berusaha dan berkomitmen untuk memenuhi hak-hak warga negaranya. Hak tersebut antara lain kesejahteraan, kenyamanan, ketenangan dan lain sebagainya. Kewajiban pemerintah terhadap rakyatnya dapat dibaca dalam firman Allah Swt. dalam surah An-Nisa ayat 58.
{إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (TQS An-Nisa : 58)
Oleh karena itu, negara mesti mempunyai rasa peduli kepada rakyatnya. Seharusnya menjadi perkara mudah bagi pemerintah untuk membatalkan kebijakan yang sudah ditetapkan. Sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk memihak kepada semua rakyatnya, bukan hanya memihak pada pemilik modal besar ataupun investor.
Sistem Ekonomi Islam
Islam menjadikan penguasa sebagai ra’in dan junnah. Islam menetapkan sebagaimana profil penguasa dalam Islam dan juga mengatur bagaimana relasi penguasa dengan rakyatnya. Dalam Islam, pemerintah berkewajiban mengurus dan mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Islam mewajibkan penguasa membuat kebijakan yang tidak menyulitkan hidup rakyatnya.
Syariat Islam memerintahkan penguasa (Khalifah) bertanggung jawab penuh atas segala pengelolaan urusan rakyatnya. Seluruh syariat harus diterapkan di segala lini kehidupan. Sesuai hukum Islam, penguasa wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok untuk rakyatnya. Kebutuhan pokok tersebut meliputi kebutuhan sandang, pangan, serta papan. Mekanisme yang dijalankan secara tidak langsung, serta menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyat berupa kesehatan, pendidikan, dan keamanan kepemilikan umum (seluruh sumber daya alam).
Struktur pemasukan APBN Khilafah berdasarkan pemasukan dan pengeluaran harta yang sesuai dengan syariat. Tiada pemasukan dan pengeluaran sedikit pun tanpa seizin syariat. Dalam sistem ekonomi Islam, pajak menjadi alternatif terakhir negara untuk mendapatkan pemasukan. Pajak diberlakukan jika kas negara benar-benar kosong. Namun, hal itu pun hampir tidak pernah terjadi. Jika harus ada pungutan, itu pun hanya diberlakukan pada orang-orang kaya saja. Pemungutan pajaknya pun tidak permanen, hanya pada saat kas negara kosong.
Sumber pendapatan negara (Khilafah) sangat beraneka ragam. Sumber pendapatan itu antara lain jizyah (pajak yang dikenakan kepada penduduk non muslim yang tinggal di wilayah kekuasaan negara Islam), kharaj (pajak tanah yang dikenakan atas lahan pertanian dan hasilnya dalam Islam), fa’i (harta rampasan yang didapatkan kaum Muslim dari musuh tanpa peperangan), usyur (pajak yang dikenakan pada barang dagangan yang masuk atau berasal dari negara Islam), harta tanpa ahli waris, ghanimah (istilah dalam Islam yang merujuk pada harta rampasan perang yang diperoleh dari musuh Islam), harta orang murtad, serta dharibah (pungutan yang bersifat tidak permanen dan hanya ditujukan pada orang kaya saja).
Selain hal-hal diatas, Khilafah (negara bersistem Islam) wajib mengelola kepemilikan umum. Kepemilikan umum itu meliputi sumber daya alam seperti air, padang gembala dan hasil tambang. Negara akan mengelola sepenuhnya dan hasilnya dikembalikan lagi pada rakyat dengan seadil-adilnya untuk membiayai sarana pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan lain-lain. Adil dalam syariat Islam yaitu tidak membedakan ras, suku dan agama. Penerapan sistem ekonomi Islam dan kepemimpinan Islam akan mewujudkan rahmatan lil’alamin.
Views: 0
Comment here