Oleh Habiba Mufida
(Praktisi Kesehatan dan Pemerhati Kabijakan Publik)
Wacana-edukasi.com — Bulan Juni, bagi penggerak LGBT merupakan bulan yang diistimewakan. Mereka menganggap sebagai titik awal di mana pergerakan ini memang benar-benar mereka perjuangkan. Bermula dari sebuah peristiwa pada 28 Juni 1969 ketika polisi menggerebak klub gay bernama Stonewall Inn di New York. Polisi saat itu menjelaskan jika penggerebekan ini dikarenakan bar tidak memiliki izin minuman keras. Namun, kaum pelangi menganggapnya sebagai pelecehan bagi mereka (Cnet).
Dengan dalih ini, mereka akhirnya melakukan aksi yang berlangsung selama enam hari dan kemudian dikenal dengan kerusuhan Stonewall. ABC news melansir, kerusuhan Stonewall dikatakan sebagai “titik kritis” bagi gerakan pembebasan gay di Amerika Serikat, berdasar Library of Congress. Anehnya, kerusuhan itu justru menjadi jalan perjuangan modern untuk hak-hak LGBT. Bahkan hal ini mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Presiden AS menyatakan secara resmi bahwa Juni sebagai LGBT Pride Month dan selanjutnya perayaan ini menjadi populer di beberapa negara.
Di tahun 2021 ini ketika pandemi belum tampak berakhir, sepertinya tak membuat mereka mengurungkan diri untuk merayakannya. Bahkan, Pride Month atau #pride jadi trending di media sosial Twitter pada Rabu (2/6/2021) dengan tanda pagar bendera pelangi. Bagi mereka, tahun ini adalah perayaan yang ke-51. Mereka pun mempersiapkan diri untuk berkumpul sebagai dukungan terhadap gerakan LGBT.
Pergerakan LGBT, Buah Kapitalisme Sekuler
Perwujudan mimpi LGBT yang sejatinya melawan fitrah untuk bisa diterima dunia tampaknya semakin nyata. Kaum ini terus mengepakkan sayap untuk menebar virus ini ke berbagai penjuru dunia. Kondisi saat ini bahkan bisa dikatakan seperti bola salju yang terus menggelinding. Bahkan sekarang sudah tidak bisa dibendung pergerakannya. Wajar, karena gerakan ini memang mendapatkam dukungan dari para pemegang kebijakan. Begitu juga banyak perusahaan besar dan lembaga internasional yang terus mengalirkan dana pada pergerakan ini.
Salah satu contoh adalah kucuran dana dari sebuah badan PBB United Nation Development Program (UNDP) sebesar US$ 8 juta atau sekitar Rp 108 miliar untuk mendukung komunitas ini (detic.com). Selain itu, dukungan juga datang dari 200 perusahaan AS termasuk Amazon, Google Alfabet Inc dan Bank of America (wartaekonomi.co.id), dll.
Besarnya dukungan terhadap gerakan ini dan semakin menyebarnya virus ini bahkan ke negara-negara muslim menjadi bukti rusaknya tatanan kehidupan di dunia. Tersebab, sejatinya tidak ada satupun agama yang membolehkan perbuatan ini. Sebuah perilaku yang menyalahi fitrah manusia. Di dalam Islam ada larangan yang tegas terhadap perilaku ini. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Allah telah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Luth.” (HR. Ahmad).
Namun, faktanya pergerakan kaum pelangi ini semakin mengkhawatirkan. Menularkan virusnya di tengah masyarakat dunia. Bahkan didukung atas nama hak asasi manusia. Sebuah paham yang mencampakkan aturan Rabb yang mengatur seluruh alam raya. Agama dijauhkan dari kehidupan. Hal ini adalah akibat penerapan kapitalisme-sekuler yang menghasilkan kehidupan liberal.
Virus pelangi telah menjadi penyakit yang merusak tatanan masyarakat. Sebagai penyebab hancurnya institusi keluarga, kerusakan moral remaja, hingga mewabahnya penyakit menular seksual termasuk HIV/ AIDS. Kini, penyumbang terbesar prevalensi HIV/ AIDS adalah dari golongan gay. Maka, untuk mencegah dan mengobati kerusakan ini butuh sebuah sistem yang jelas menjaga kehidupan. Sebuah sistem yang berasal dari Tuhan Pencipta Alam.
Islam Mengobati Kerusakan Tatanan Kehidupan
Islam sejatinya tidak hanya sebagai agama yang mengatur hubungan hamba dengan pencipta-Nya. Namun, Islam mengatur segala aspek kehidupan. Islam melindungi akidah pemeluknya dan mencegah terjadinya berbagai kemungkaran, lengkap dengan berbagai sanksi-sanksi atas pelanggaran syariat-Nya. Berkenaan dengan merebaknya perilaku LGBT, Islam akan menjadi solusi tuntas hanya jika Islam diterapkan secara totalitas.
Islam memiliki dua mekanisme untuk mengobati kerusakan tersebut yakni meliputi aspek preventif dan kuratif. Secara preventif atau pencegahan, Islam yang diterapkan oleh negara akan membina rakyatnya dengan keimanan dan ketakwaan. Hal ini menjadikan mereka terjaga dari segala bentuk kemaksiatan. Memahamkan masyarakat agar senantiasa terikat dengan hukum syara’. Lalu, menjadikan standar perbuatan bukan manfaat dan kebebasan melainkan halal dan haram.
Islam juga memperhatikan betul pembinaan di dalam keluarga. Karena keluarga adalah awal pendidikan pertama terhadap anak. Seharusnya, keluarga bisa menjadi benteng utama penjagaan anak dari virus LGBT. Keluarga harus mampu memberikan pemahaman akidah sejak kecil. Mengajarkan batasan aurat dan kepada siapa saja aurat boleh diperlihatkan serta menanamkan sifat malu. Lalu memisahkan tempat tidur mereka. Selain itu, negara berkewajiban menghilangkan segala bentuk rangsangan seksual dari publik, berupa konten pornografi dan pornoaksi. Begitu juga melarang penyebaran berbagai pemikiran dan opini LGBT via media sosial.
Sedang secara kuratif, Islam memiliki aturan yang jelas dan tegas. Hal tersebut akan membuat efek jera bagi para pelaku kemaksiatan. Hukuman mati bagi pelaku LGBT yang akan dilaksanakan di tengah masyarakat akan membuat masyarakat jera. Sehingga mampu memutus mata rantai LGBT di tengah-tengah masyarakat. Sebagaimana hadis riwayat Ibn Abbas: “Siapa saja yang kalian temukan melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual) maka bunuhlah pelakunya (yang menyodomi) dan pasangannya (yang disodomi).” (HR. Abu Dawud, Ibn Majah, At Tirmidzi, Ahmad, al-Hakim dan al-Baihaqi).
Sedangkan jika pelaku masih tahap awal dan belum sampai pada tahap hubungan seksual, maka pengobatannya dengan cara pembinaan secara intensif. Tersebab, sejatinya dari sisi medis, gangguan kecenderungan seksual adalah gangguan yang bisa diterapi dan disembuhkan secara total. Maka, pola pikir dan pola sikap mereka harus diubah agar sesuai dengan Islam. Caranya adalah dengan penguatan keimanan. Selanjutnya, juga mengarahkan mereka dengan aktivitas yang produktif sehingga tidak ada ruang untuk berbuat maksiat.
Demikianlah solusi Islam dalam mengobati kerusakan tatanan kehidupan akibat kapitalisme sekuler. Pastinya kita rindu hadirnya kembali tatanan dunia baru dengan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Wallahu a’lam bishshawab.
Views: 32
Comment here