Oleh : Irawati Tri Kurnia
(Aktivis Muslimah)
wacana-edukasi.com, OPINI– Badan Bencana Penanggulangan Daerah (BPBD) Riau mencatat sedikitnya 6.000 orang dari sejumlah daerah di provinsi tersebut mengungsi akibat rumah, lahan dan tempat usaha mereka terdampak banjir sejak beberapa pekan terakhir ini (https://app.komp.as7, Rabu 17 Januari 2024) (1). Mirisnya banjir tersebut telah menyebabkan empat warga meninggal dunia.
Mereka yang mengungsi berasal dari kabupaten Rokan Ilir, kepulauan Meranti dan kota Dumai. BPBD mencatat jumlah pengungsi terbanyak adalah warga kabupaten Rokan Hilir, yakni 3.992 orang, karena rumah mereka terendam banjir. Banjir menggenangi ribuan rumah dan fasilitas umum. Seperti jalan, masjid, dan sekolah. Sebanyak 29 SMA sederajat di Riau meliburkan siswa mereka karena ruang kelas terendam, begitu juga sekolah dasar.
Banjir di Riau bukan pertama kali terjadi, tapi hampir setiap tahun. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau menilai bahwa bencana banjir yang berkepanjangan melanda Riau diakibatkan maraknya alih fungsi lahan hulu aliran sungai Kampar dan Limapuluh Kota Sumatera Barat. Catatan akhir tahun Walhi region Sumatera menunjukkan bahwa Riau mengalami deforestasi hutan hingga 20.698 hektar sepanjang 2023 (www.cnnindonesia.com, Jumat 12 Januari 2024) (2).
Direktur Eksekutif Walhi Riau Boy Jerry Even Sembiring mengungkapkan setidaknya kurang lebih 57 persen daratan Riau telah dikuasai investasi. Dari total tersebut, pemerintah memberikan izin kepada 273 perusahaan kelapa sawit, 55 Hutan Tanaman Industri (HTI), 2 Hak Pengusahaan Hutan (HPH), dan 19 pertambangan.
Bencana banjir yang terus terjadi ini seharusnya menjadi peringatan keras bahwa ada salah tata kelola lingkungan dan alam yang dilakukan manusia. Sebab hujan diturunkan Allah SWT sebagai anugerah, bukan sebagai musibah dan bencana.
Bagi orang beriman, musibah adalah qadha (ketentuan) Allah yang tidak bisa ditolak, sehingga kesabaran dan keridaan pun menjadi sikap yang harus dipilih dalam menghadapinya. Sikap demikian akan mengantarkan pada terhapusnya dosa. Selain itu, bagi orang beriman, musibah banjir akan menyadarkan mereka tentang betapa lemahnya manusia di dunia karena tidak mampu menolak ketentuan-Nya. Dan betapa manusia membutuhkan pertolongan-Nya. Ini menunjukkan bahwa manusia tidak layak sombong. Sikap sabar dan rida, harus disertai dengan aksi untuk membangun kehidupan lebih baik. Termasuk mengurangi potensi terjadinya bencana dengan meminimalisasi dampaknya. Allah SWT berfirman :
“Musibah apa saja yang menimpa kalian itu adalah akibat perbuatan kalian sendiri. Allah memaafkan sebagian besar (dosa-dosa kalian).” (QS Asy-Syura [42] : 30).
Hal ini terlihat jelas pada musibah banjir. Banjir disebabkan oleh naiknya neraca air permukaan. Neraca air ditentukan empat faktor, yaitu curah hujan, air limpahan dari wilayah sekitar, air yang diserap tanah, dan ditampung oleh penampung air, dan air yang dapat dibuang atau dilimpahkan keluar. Dari keempat hal itu, hanya curah hujan yang tidak bisa dikendalikan oleh manusia. Tiga faktor lainnya sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia. Termasuk kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa.
Sebagaimana yang disampaikan Walhi, kebijakan deforestasi yang boleh dilakukan pihak korporasi secara masif, telah menjadi penyebab utama berkurangnya daerah resapan air, hingga berdampak mudahnya terjadi banjir saat musim hujan.
Kebijakan yang sejatinya hanya menguntungkan pemilik modal dan merugikan rakyat tersebut, adalah buah dari penerapan sistem sekuler kapitalisme di negeri ini. Negara dalam sistem ini hanya bertindak sebagai regulator yang pro oligarki, bukan pengurus dan pelindung rakyat. Berbagai produk regulasi yang dihasilkan seperti Undang-Undang Minerba dan Omnibus Law Cipta Kerja misalnya, nyata telah merusak alam dan merampas ruang hidup masyarakat. Oleh karena itu, kunci untuk mengakhiri segala musibah, termasuk banjir, tidak lain beralih dari ideologi dan sistem sekularisme kapitalisme menuju ke sistem yang diridai Allah, yaitu sistem Islam. Penerapan sistem Islam yang kafah alias menyeluruh dalam semua aspek kehidupan, hanya terwujud dalam institusi Khilafah Islamiyah.
Khilafah akan melakukan pengelolaan tanah/lahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, sesuai Syariat Islam. Khilafah dalam Islam berfungsi sebagai junnah atau pelindung. Oleh karena itu, Khilafah akan melakukan upaya preventif dalam mengatasi bencana banjir. Demikian pula upaya kuratif dan rehabilitatif terbaik jika musibah banjir terjadi.
Upaya preventif dilakukan Khilafah dengan menetapkan kebijakan pembangunan yang ramah lingkungan. Khilafah akan memprioritaskan pembangunan infrastruktur dalam mencegah bencana seperti bendungan, kanal, pemecah ombak, tanggul, reboisasi atau penanaman kembali.
Pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) dalam Khilafah, tidak akan diserahkan kepada korporasi; tetapi dikelola Khilafah untuk kemaslahatan (kepentingan) umum saja.
Khilafah menetapkan daerah-daerah tertentu sebagai cagar alam, hutan lindung, dan kawasan buffer atau disebut dengan kawasan Hima. Kawasan Hima tidak boleh dimanfaatkan oleh siapa pun.
Dalam hal pengelolaan tanah/lahan, Islam mendorong kaum muslim untuk menghidupkan tanah mati. Hal ini akan menjadi bufer lingkungan yang kokoh. Khilafah akan membentuk sistem sanksi tegas pada siapa pun yang mencemari dan berupaya merusak lingkungan.
Penerapan aturan Islam kafah adalah solusi terbaik mencegah terjadinya bencana banjir buah dari penerapan sistem sekuler kapitalisme.
Wallahu’alam Bishshawab
Catatan Kaki :
(1) Banjir Berlarut Melanda Jambi dan Riau. Baca di https://app.komp.as/PT1M8ixLFSiRGV5X7
(2) Walhi Sumatera: Riau Kehilangan 20 Ribu Hektare Hutan Sepanjang 2023
cnn.id/1048656
Views: 15
Comment here