Oleh: Sumariya (Aktivis Muslimah)
wacana-edukasi.com, OPINI-– Setiap tanggal 23 Juli, diperingati sebagai Hari Anak Nasional (HAN). Melansir dari situs resmi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KemenPPPA), tema Hari Anak Nasional 2024, yakni “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”.
(www.bola.com)
Sejak disahkannya undang-undang tentang kesejahteraan anak, pemerintah terus berupaya meningkatkan kesejahteraan anak dan terus mengoptimalkannya. Salah satunya dengan mendorong kepedulian semua pihak, lewat penyelenggaraan peringatan Hari Anak Nasional. Pada hari peringatan anak ini, kita menyaksikan problem anak makin kompleks. Banyak anak-anak negeri ini yang belum tercukupi kebutuhan hidupnya, dari kebutuhan pangan bergizi hingga pendidikan berkualitas.
Sebagaimana diketahui angka prevalensi stunting di negeri ini sepanjang 2023 sebesar 21,5 persen.
(sehatnegriku.kemkes.go.id)
Adapun Angka Putus Sekolah (APS) tahun ajaran 2022/2023 di berbagai tingkat pendidikan mencapai 76.834 orang, dengan rincian jumlah siswa putus sekolah di tingkat SD mencapai 40.623 orang, tingkat SMP 13.716 orang, tingkat SMA 10.091 orang, dan SMK 12.404 orang.
(goodstats.id)
Lingkungan yang melingkupi anak hari ini pun benar-benar jauh dari jaminan perlindungan dan keamanan. Angka kekerasan terhadap anak terus meningkat.
Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) menunjukkan, jumlah jenis kasus kekerasan terhadap anak mencapai 24.158 kasus yang dilaporkan sepanjang 2023. Dari jumlah tersebut, jenis paling banyak dari kasus kekerasan seksual, yakni 10.932 kasus.
(databoks.katadata.co.id)
Mirisnya, sering kali pelaku kekerasan terhadap anak justru datang dari orang terdekat, seperti paman hingga ayah. Rumah yang seharusnya jadi tempat berlindung bagi anak pun, kini menjadi tempat menakutkan.
Selain itu, situasi kehidupan sekularistik hari ini, justru mewarnai kepribadian anak, sehingga mereka memiliki pemikiran dan perilaku yang buruk. Anak menjadi pelaku bullying dan kekerasan, anak terlibat narkoba, miras, pergaulan bebas, hingga jadi online.
Pemerintah mencatat jumlah pemain judi online usia dibawah 10 tahun di Indonesia sebanyak 80.000 anak.
(nasional.tempo.co)
Sejatinya, pemerintah telah membuat dan menjalankan berbagai program prioritas untuk menyelesaikan persoalan anak, diantaranya adalah peningkatan peran ibu, dan keluarga dalam pendidikan atau pengasuhan anak, menyediakan layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus, merintis Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA) hingga negara ramah anak. Namun, semakin jauhnya anak dari kesejahteraan, keamanan, dan pribadi bertakwa, membuktikan bahwa upaya-upaya tersebut tidak membuahkan hasil.
Harus diakui, bahwa upaya pemerintah menyelesaikan persoalan anak sama sekali tidak menyentuh akar persoalan. Tak heran, peringatan Hari Anak hanya bersifat seremonial yang digelar tahunan, namun tidak ada perubahan bermakna. Pasalnya, berbagai macam keburukan yang menimpa anak adalah akibat penerapan sistem sekularisme yang mengabaikan peran agama dalam mengatur kehidupan.
Sistem sekularisme mengagungkan kebebasan yang membentuk tingkah laku masyarakat buruk cenderung didorong oleh hawa nafsu dan jauh dari ketakwaan. Hal inilah yang memicu munculnya manusia-manusia bejat yang tega melakukan kekerasan terhadap anak, baik fisik maupun seksual.
Sekularisme telah menjadi asas kurikulum pendidikan, tak heran generasi terbentuk menjadi generasi yang liberal. Sekularisme-liberalisme ini juga telah menjauhkan keluarga dari peran dan fungsi utamanya dalam membina anak dan menjalankan fungsinya sebagai tempat aman bagi anak.
Hari ini banyak ibu yang mengabaikan perannya sebagai pengasuh dan mendidik anak, karena sibuk bekerja. Tidak terpenuhinya berbagai kebutuhan anak, baik kebutuhan pokok, pendidikan maupun kesehatan adalah akibat abainya negara dalam menjalankan perannya sebagai pengurus umat. Sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan di negeri ini, menjadikan negara gagal menyejahterakan rakyatnya, termasuk menyediakan layanan kesehatan dan pendidikan gratis dan berkualitas.
Peran keluarga dalam mendidik anak semakin lemah. Sementara sistem pendidikan hari ini justru membentuk generasi sekuler dan sistem ekonomi gagal membuat sejahtera. Inilah buah penerapan sistem kapitalisme sekularisme di negeri ini.
Berbeda dengan penerapan sistem Islam dalam kehidupan. Islam memandang penting keberadaan anak sebagai generasi penerus peradaban. Islam mewajibkan negara menjamin pemenuhan kebutuhan anak dalam berbagai aspek. Negara Islam (Khilafah) akan mewujudkan fungsi dan peran keluarga yang optimal dalam mendidik anak. Orang tua wajib mendidik anak-anaknya dengan pendidikan agama Islam, tujuannya agar anak menjadi generasi yang shalih atau memiliki kepribadian Islam, sehingga tingkah lakunya tidak didasari oleh pemikiran sekuler tetapi akidah Islam.
Hal ini didukung oleh penerapan sistem pendidikan Islam yang bertujuan membentuk generasi berkepribadian Islam. Pendidikan Islam akan menjauhkan peserta didik dari pemikiran rusak dan merusak, seperti sekularisme, liberalisme, dan sebagainya. Selain itu, Khalifah wajib menjadi pelindung (junnah) bagi seluruh rakyatnya, termasuk anak-anak. Khilafah menciptakan masyarakat Islam yang memahami syariat dan menjalankan budaya amar ma’ruf nahi munkar, sehingga tercipta lingkungan yang aman bagi anak.
Di sisi lain, Khilafah juga memastikan setiap anak tercukupi kebutuhan, berupa sandang, pangan, dan papan melalui jaminan kerja bagi kepala keluarga, melalui penerapan sistem ekonomi Islam. Jaminan pendidikan, kesehatan, dan keamanannya akan dipenuhi secara langsung oleh Khilafah, sehingga setiap anak mendapatkan secara gratis dengan kualitas terbaik.
Sungguh, kehidupan unggul, terbaik, aman, dan islami hanya terwujud dalam Khilafah Islam.
Wallahu a’lam bishshawab
Views: 19
Comment here