Opini

Problematik MBG, Adakah Solusi?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Riena Enjang (Pegiat Dakwah)

Wacana-edukasi.com, OPINI-– Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Indonesia mengalami berbagai problematik dan tantangan. Sebagaimana dilansir dari cnbcindonesia.com (17/01/25), Presiden Prabowo Subianto dikabarkan merasa “gelisah” karena masih banyak anak yang belum menerima manfaat dari program tersebut. Saat ini, anggaran yang dialokasikan melalui APBN hanya mencukupi untuk sekitar 15–17,5 juta penerima manfaat, jauh dari target 82,9 juta.

Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana, mengungkapkan bahwa tambahan anggaran sebesar Rp 100 triliun diperlukan untuk memenuhi target pada akhir tahun 2025. Presiden Prabowo disebut sedang memikirkan langkah-langkah percepatan untuk mengatasi kendala ini.

Program MBG ini adalah upaya besar untuk mengatasi problematik gizi di Indonesia, tetapi tantangan terkait pendanaan dan implementasi menunjukkan perlunya koordinasi yang lebih baik antara pemerintah pusat, daerah, dan para pemangku kepentingan lainnya. Bagaimana menurut Anda? Apakah program ini dapat berjalan sesuai target jika tambahan anggaran berhasil direalisasikan.

Problematik Program MBG

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menghadapi berbagai tantangan mulai dari anggaran yang terbatas hingga distribusi yang tidak merata, yang menyebabkan hanya sebagian kecil dari target yang dapat terjangkau. Keterbatasan anggaran, yang saat ini hanya cukup untuk sekitar 15-17,5 juta penerima manfaat dari target 82,9 juta, memunculkan kebutuhan tambahan sebesar Rp 100 triliun.

Di sisi lain, pengawasan terhadap kualitas makanan yang diberikan, serta akurasi data penerima manfaat, juga menjadi masalah yang serius. Salah sasaran atau ketidakcocokan bantuan dengan kebutuhan gizi yang tepat justru memperburuk keadaan.

Namun, ada pandangan yang lebih kritis terhadap pendekatan jangka pendek ini. Program MBG bisa dilihat sebagai solusi instan yang hanya menambal masalah sementara tanpa menyelesaikan akar permasalahan, seperti kemiskinan dan rendahnya kedaulatan pangan.

Ketergantungan pada bantuan sosial bisa menumbuhkan stigma sosial bagi penerima manfaat, seolah-olah mereka tidak mampu mandiri. Pendekatan semacam ini lebih berfokus pada pencitraan politik ketimbang pada kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan.

Lebih lanjut, program ini juga mencerminkan ketahanan pangan yang lemah di Indonesia, dan menunjukkan bahwa negara belum berhasil menciptakan sistem pangan yang mandiri dan berkualitas. Program ini mestinya dirancang dengan melibatkan komunitas lokal dan mendukung pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Hal ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan hasil pertanian lokal untuk penyediaan makanan bergizi, sehingga MBG bisa menjadi langkah yang lebih berkelanjutan. Pemerintah bisa melakukan pembangunan ketahanan pangan yang lebih baik. Sementara itu, solusi jangka panjangnya  harus menyentuh akar masalah, seperti pendidikan gizi dan kemandirian ekonomi. Hal ini akan lebih menguntungkan bagi masyarakat.

Berbagai problematik itu, sejatinya karena negara menerapkan sistem kapitalisme yang pasti liberal. Dengan demikian, sistem ekonominya pun akan kapitalistis dan liberal. Sebagaimana program MBG yang melibatkan swasta, maka makin kuat dugaan bahwa program MBG sejatinya program untuk membuka peluang bagi para kapitalis dalam meraup keuntungan.

Sistem Islam Menjamin Gizi Generasi

sistem sekuler kapitalisme dan sistem Islam (Khilafah) dalam mengelola urusan rakyat, terutama terkait pemenuhan gizi dan ketahanan pangan. Dalam sistem Khilafah, negara bertanggung jawab untuk memastikan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat seperti sandang, pangan, dan papan dengan pendekatan yang lebih sistemis dan berkelanjutan.

Khilafah akan mengelola kekayaan negara secara adil, termasuk sumber daya alam yang notabene milik umum. Hal ini untuk menghindari inflasi pangan dan energi, serta memastikan harga pangan berkualitas terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

Selain itu, Khilafah juga menjamin ketersediaan pangan halal dan berkualitas, melibatkan pakar dalam kebijakan gizi, dan mendirikan Departemen Kemaslahatan Umum untuk mengelola ketahanan pangan. Gaji rakyat akan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka tanpa terkendala biaya tinggi untuk kebutuhan dasar.

Khilafah juga menjamin lapangan kerja dan memberikan bantuan bagi yang membutuhkan. Selain berfokus pada swasembada pangan, Khilafah akan mengurangi ketergantungan pada impor pangan, hanya melakukannya dalam keadaan darurat. Dengan demikian, Khilafah berusaha menciptakan ekonomi adil, mandiri, dan berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat.

Dalam sistem Khilafah, kesejahteraan rakyat, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan gizi, menjadi prioritas utama. Hal ini dilakukan dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan sistemis dibandingkan dengan sistem kapitalisme sekuler yang sering terjebak pada solusi jangka pendek dan teknis, seperti distribusi pangan melalui program-program bantuan.

Berikut beberapa rincian tentang bagaimana Khilafah menjamin kesejahteraan gizi generasi:

Pertama, pemenuhan Kebutuhan Asasi. Bahwasanya, khilafah memastikan kebutuhan dasar rakyat seperti pangan sehat dan bergizi terpenuhi secara merata.

Kedua, sistem ekonoekonomi mi syariat. Ekonomi Islam mengutamakan distribusi harta adil, mengelola sumber daya alam untuk kepentingan umum.

Ketiga, pengelolaan Sumber Daya Alam. SDA dikelola untuk kesejahteraan rakyat, mencegah monopoli dan harga tinggi.

Keempat, pemenuhan gizi dan pencegahan stunting, yaitu  Pangan halal, berkualitas, dan aman dengan pengawasan ketat.

Kelima, pangan berkualitas dan terjangkau. Bahwasanya, pangan yang berkualitas dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

Keenam, lapangan kerja dan kedaulatan pangan, yakni Penciptaan lapangan kerja dan pengelolaan ketahanan pangan domestik

Ketujuh, sektor publik gratis. Pendidikan dan kesehatan disediakan gratis untuk rakyat.

Kedelapan, bantuan untuk masyarakat miskin. Bantuan bagi yang tidak mampu, termasuk dalam bentuk harta atau tanah.

Kesembilan, ketahanan pangan dan impor, yaitu  swasembada pangan dengan impor hanya dalam kondisi darurat.

Kesepuluh, pendanaan transparan. Pendanaan berasal dari zakat dan pajak yang dikelola transparan untuk kepentingan umat.

Kesebelas, kesejahteraan jangka panjang.  Fokus pada ekonomi adil, mandiri, dan berkelanjutan untuk kesejahteraan rakyat.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Indonesia menghadapi berbagai tantangan, seperti keterbatasan anggaran, distribusi yang tidak merata, dan pengawasan yang kurang ketat, yang menghambat pencapaian target. Meskipun membutuhkan tambahan anggaran yang besar, program ini dapat dilihat sebagai solusi sementara tanpa menyelesaikan akar permasalahan, seperti kemiskinan dan ketahanan pangan.

Berbeda dengan pendekatan jangka pendek ini, sistem Khilafah, yang berlandaskan pada prinsip Islam, menawarkan solusi yang lebih komprehensif dan berkelanjutan untuk menjamin kesejahteraan rakyat. Dalam Khilafah, negara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat, mengelola sumber daya alam secara adil, menyediakan pangan halal dan bergizi dengan harga terjangkau, serta menciptakan lapangan kerja dan kemandirian pangan.

Selain itu, sektor publik seperti pendidikan dan kesehatan disediakan secara gratis, dan bantuan diberikan kepada yang membutuhkan. Khilafah juga berfokus pada ketahanan pangan jangka panjang, dengan mengurangi ketergantungan pada impor dan memastikan ekonomi yang adil dan berkelanjutan, sehingga kesejahteraan rakyat dapat terjamin secara menyeluruh dan berkelanjutan. [We/IK].

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 9

Comment here