Oleh : Erdiya Indrarini (Pemerhati Publik)
wacana-edukasi.com, OPINI-– Undang-undang Ciptaker atau Omnibuslaw ternyata tidak mendatangkan masalah dalam ketenagakerjaan saja. Tetapi juga mengacaukan standar halal. Menggeser sistem penerbitan sertifikat halal yang tadinya hanya dari MUI, sekarang boleh dari lembaga lain. Hal itu untuk mengejar sertifikasi halal setiap produk hingga Indonesia menjadi pusat halal dunia.
Berkenaan dengan itu, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama RI, bekerja sama dengan Universitas Sains Al-Quran (UNSIQ) Wonosobo mengadakan Program Halal Indonesia ‘Goes To Campus’. Program ini bertujuan untuk mengedukasi tentang kewajiban pelaku usaha bersertifikat halal pada 17 Oktober 2024 mendatang. Acara dikuti oleh 70 peserta terdiri dari mahasiswa UNSIQ Wonosobo dan pelaku UMKM.
Acara yang diselenggarakan pada Sabtu, 23 Desember 2023 di Aula Al-Ala Kampus 1 UNSIQ Wonosobo ini, dibuka langsung oleh Staf Khusus Menteri Agama Bidang Media dan Komunikasi Publik, Wibowo Prasetyo. Dalam sambutannya, Wibowo menekankan kepada mahasiswa untuk menjadi agen sosialisasi halal. (wonosobozone.com, 24/12/2023)
Sertifikasi Halal untuk Mengundang Investor
Pasal 33A ayat (2) UU Ciptaker menjelaskan, bahwa apabila MUI tidak bisa memenuhi batas waktu, maka BPJPH dapat langsung menerbitkan sertifikat halal. Oleh karenanya, UU ini dinilai membuka peluang deklarasi secara mandiri produk-produk halal dengan sembarangan oleh para produsen. Peraturan baru tentang sertifikasi halal ini, sedianya untuk mendukung proyek pengembangan Kawasan Industri Halal (KIH), yang sedang dilakukan pemerintah guna membangun pusat halal dunia.
Dengan regulasi ini, pemerintah hendak memudahkan investasi untuk KIH di Indonesia, sebagaimana yang disampaikan Ignasius Warsito selaku Direktur Perwilayahan Industri Kementerian Perindustrian RI. Yakni, bahwa melalui KIH, Indonesia adalah negara yang welcome terhadap investasi.
Watak Kapitalis yang Materialistis
Dimudahkannya sertifikasi halal untuk mengundang para investor ini menunjukkan watak asli sistem kapitalisme-demokrasi yang saat ini diadopsi negeri ini. Yakni, menghalalkan segala cara demi mendapatkan keuntungan secara materi. Apa pun dilakukan selagi mendatangkan uang. Segala sesuatu akan dibisniskan demi meraup keuntungan yang besar.
Apa pun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, para investor atau para pemodal selalu menjadi pihak yang diuntungkan. Sementara, rakyat tidak dipedulikan, bahkan akan dikorbankan. Dengan dimudahkannya sertifikat halal secara serampangan ini, tentu kaum muslimin harus ekstra hati-hati lagi dalam mengonsumsi barang. Karena, pada akhirnya bersertifikat halal, belum tentu halal secara syariat. Negara yang telah menerapkan sistem ideologi kapitalisme-demokrasi ini telah mengorbankan standar halal berdasarkan syariat, demi mendulang keuntungan materi dari investasi.
Demi semua itu, peran ulama pun telah dikebiri. MUI hanya diposisikan sebagai badan yang melegalisasi sertifikasi halal. Yaitu agar setiap langkah pemerintah, diakui oleh ulama sebagai langkah yang sesuai dengan syariat. Fatwa ulama akan dijalankan oleh rezim ketika menguntungkan. Jika menghambat syahwat rezim, maka keberadaan ulama diabaikan, bahkan membentuk lembaga baru sebagaimana BPJPH untuk mempermudah sertifikasi hala. padahal, harusnya para ulama justru menjadi rujukan pemerintah dalam menyelesaikan segala permasalahan rakyat.
Inilah potret negara yang pemerintahannya menerapkan atau menjalankan ideologi kapitalisme-demokrasi. Di mana, ideologi yang diusung dari penjajah ini mengharuskan adanya paham sekularisme, yaitu menjauhkan syariat agama dari seluruh aspek kehidupan, termasuk peran ulama. Hukum halal haram tidak menjadi acuan, karena yang penting adalah cuan.
Sertifikasi Halal dalam Sistem Pemerintahan Islam
Dalam Islam, halal dan haram bukanlah perkara ringan. Karena, hal itu akan menentukan keselamatan kita di akhirat kelak. Mau berakhir di surga, atau terjerumus ke dalam azab neraka. Menyediakan jaminan halal bagi rakyat merupakan tanggung jawab negara selaku pelayanan urusan rakyat. Hal ini menjadi kebutuhan umum yang fital, sehingga negara mesti turun tangan dalam mengawasi kehalalan maupun kualitas barang konsumsi. Hal ini karena pemimpin dalam Islam pemimpin sebagai pengurus rakyatnya. Rasulullah bersabda,
الإِمَامُ رَاعٍ r عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).
Oleh karena itu, negara wajib memberikan sertifikasi halal secara gratis, bukan malah dijadikan ladang bisnis. Hal ini karena memberi perlindungan pada setiap kepentingan rakyat merupakan kewajiban negara, sehingga, dalam memberikan pelayanan, tidak boleh mengambil pungutan. Sedangkan sertifikasi halal, akan dilakukan mulai dari penentuan bahan, proses produksi, hingga sampai ke distribusi, semua akan diawasi. Biaya proses pengawasan akan diambil dari baitul mal.
Selain itu, agar masyarakat tidak was-was, dan ragu dalam memilih bahan-bahan, negara juga akan membersihkan barang-barang haram dari pasar. Jika ada industri yang menggunakan cara dan zat haram, serta memproduksi barang haram, maka negara akan memberikan sanksi tegas. Negara juga akan memberikan sanksi bagi pedagang yang menjualbelikan barang haram kepada kam muslim. Sedangkan bagi kaum muslimin yang mengonsumsi barang haram, negara akan memberikan sanksi sesuai ketentuan syariat. Seperti, jilid bagi peminum khamr, atau ta’zir bagi pemakan barang yang mengandung babi.
Di samping itu, negara akan terus mencerdaskan rakyat. Yaitu dengan membangun kesadaran kaum muslimin tentang pentingnya memproduksi dan mengonsumsi produk halal. Karena sertifikasi halal seperti yang digencarkan saat ini, tidak akan berguna jika kaum muslimin sendiri tidak peduli akan halal haram. Pemimpin yang memiliki dorongan keimanan, tidak akan membiarkan rakyatnya mengais sesuatu dari yang tidak halal. Negara akan melibatkan masyarakat untuk berpartisipasi mengawasi produk yang beredar.
Demikianlah jika negara menerapkan sistem pemerintahan Islam. Kaum muslimin akan terlindungi dari berbagai bentuk keharaman, baik haramnya peraturan yang ditetapkan, maupun haramnya barang-barang yang dikonsumsi. Maka, tidakkah kaum muslimin rindu akan kepemimpinan Islam? Karena itulah yang seharusnya dijalankan
Wallahua’lam bisshowab
Views: 29
Comment here