Oleh: Hasriyana, S.Pd.
(Pemerhati Sosial Asal Konawe)
wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Kasus stunting di tengah masyarakat masih saja menjadi problem yang belum bisa diselesaikan negara. Bahkan menurut data survei BKKBN kasus stunting di Indonesia telah mencapai 24,4 persen, Angka ini justru masih berada di atas standar yang telah ditetapkan oleh WHO yaitu 20 persen. Meski menurut data survei status gizi Indonesia terjadi penurunan Stunting di Buteng pada tahun 2022. Namun betulkah terjadi penurunan atau hanya permainan data saja?
Sebagaimana program ayah asuh anak stunting menjadi salah satu program yang digalakkan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) secara nasional, termasuk di Sulawesi Tenggara. Program tersebut sudah dilakukan sejak tahun 2022 lalu. Untuk 2023 ini, BKKBN Sulawesi Tenggara bakal lebih memaksimalkan program tersebut. Pasalnya, program itu dilakukan sebagai upaya untuk menyukseskan program percepatan penurunan stunting.
Kepala BKKBN Sulawesi Tenggara, Asmar mengatakan, program bapak asuh akan cukup membantu anak yang terdeteksi mengalami stunting dalam memenuhi kebutuhan gizinya. Konsep program Bapak Asuh Stunting sama dengan program orang tua asuh kebanyakan, yakni pihak donator membantu anak asuhnya, namun kali ini sasarannya adalah anak-anak stunting yang berasal dari keluarga tidak mampu (Telisik.id, 31/03/2023).
Berbagai program pemerintah untuk menurunkan angka stunting memang perlu diapresiasi oleh masyarakat. Namun efektifkah jika program Bapak Asuh menjadi solusi? Mengingat anak yang Stunting itu banyak jumlahnya. Bukan hanya itu, bagaimana jika bapak asuh tersebut adalah penyuka sesama jenis? Bisa dibayangkan jika anak asuhnya akan didik sesuai paradigma bapak asuhnya tersebut. Hal ini justru bukan menjadi solusi, namun menciptakan persoalan baru di masyarakat. Miris!
Pun, untuk memenuhi kebutuhan vitamin bagi tubuh serta hidup sehat masih jauh dari harapan mengingat beban hidup semakin berat. Bagaimana mungkin masyarakat bisa menjalankan pola hidup sehat jika rumah yang ditempati untuk tinggal saja tidak layak huni, apalagi mereka harus membeli obat atau makanan yang menghasilkan vitamin bagi tubuh mereka sudah susah untuk dipenuhi.
Padahal Indonesia dengan sumber daya alam yang dimilikinya begitu melimpah, namun masih saja kita dapatkan diberbagai daerah anak-anak tidak mendapatkan asupan gizi dan nutrisi yang baik. Semua itu karena SDA yang ada lebih banyak dikuasai swasta daripada negara. Bahkan seolah pemerintah terlihat ingin berlepas tanggung jawab dengan berbagai macam program yang dibuat. Padahal tidak terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat dengan baik menjadi salah satu faktor anak-anak tidak mendapatkan gizi yang baik.
Hal ini justru berbeda dengan sistem Islam, dalam Islam negara dalam hal ini penguasa bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Bahkan negara harus menjamin terpenuhinya terhadap semua kebutuhan primer bagi rakyatnya sehingga kemungkinan gizi buruk bisa diminimalisasi. Rasulullah Saw. bersabda, “Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya” ( HR. Muslim).
Selain itu, negara akan memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya, jikapun tidak gratis diberikan, harganya dapat dijangkau oleh masyarakat. Sehingga pemenuhan gizi dan nutrisi bagi keluarga dapat dipenuhi oleh kepala rumah tangga. Sebab sumber daya alam yang ada dimaksimalkan manfaatnya oleh negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Sehingga tidak akan kita temukan anak yang stunting.
Oleh karena itu, kita tidak bisa berharap pada penguasa yang seolah melempar tanggung jawab dalam urusan rakyatnya. Kita hanya bisa berharap pada penguasa yang aturannya berasal dari pencipta yaitu Allah Swt. dalam sistem yang diberkahi yaitu sistem Islam. Wallahu a’lam.
Views: 45
Comment here