Oleh : Widya Soviana (Dosen dan Pemerhati Masalah Sosial Masyarakat)
wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Program Indonesia Pintar (PIP) telah mengumumkan pencapaian 100% dalam penyaluran dana pendidikan (melintas.id, 24/01/24). Namun capaian tersebut dirasa belum merata dan mampu meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Beberapa syarat penerima bantuan menyebabkan terhalangnya bantuan PIP diterima oleh peserta didik, seperti tidak terdata pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) atau tidak terpilih oleh sekolah sebagai peserta PIP (kompas.tv, 12/06/23). Hal ini menunjukkan bahwa masih ada tantangan terhadap pemerataan akses pendidikan di tanah air. Khususnya, pada peserta didik yang tidak memenuhi persyaratan untuk PIP.
Menurut informasi yang dihimpun, Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) menyatakan bahwa penyaluran PIP telah mencapai target yang ditetapkan kepada 18.109.119 orang penerima, di mana bantuan pendidikan tersebut telah menelan anggaran sebesar Rp 9,7 triliun setiap tahunnya (Republika.co.id, 26/01/24). Namun, melihat lebih dalam, capaian tersebut ternyata lebih mengacu pada persentase penyaluran dana yang dialokasikan, bukan mencakup 100% jumlah anak didik secara keseluruhan di Indonesia. Kesenjangan ini ditunjukkan dari adanya peningkatan jumlah anak putus sekolah di Indonesia dengan sebab utama adalah faktor ekonomi (goodstats.id, 13/11/23). Jika bantuan PIP diklaim mencapai 100%, maka pendidikan dan kesempatan sekolah bagi anak-anak Indonesia masih jauh dari kata berhasil.
PIP memang telah memberikan dampak baik bagi peserta didik di Indonesia yang telah menerimanya, sebagaimana Fitria salah satu penerima manfaat menyebutkan PIP telah membantunya menggapai cita-cita untuk kuliah di kampus impian (berlianmedia.com, 13/02/24). Berbeda dengan apa yang disebutkan oleh Deputi Menteri Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama, Kemenko PMK Prof. Dr. R Agus Sartono, MBA bahwa setiap tahun hanya 1,8 juta lulusan Sekolah Menengah Atas di Indonesia yang dapat meneruskan kuliahnya dari 3,7 juta pelajar yang lulus (detik.com, 29/06/21). Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, baik dari faktor internal peserta didik seperti ketidakmampuan finansial untuk masuk perguruan tinggi atau faktor ekternal seperti kapasitas daya tampung yang tidak memadai untuk menerima calon mahasiswa di perguruan tinggi.
Disamping itu, persoalan pendidikan tidak dapat diukur hanya dengan capaian target pendistribusian bantuan pendidikan, namun tak kalah pentingnya adalah pencapaian terhadap kualitas pendidikan yang dihasilkan. Capaian Pendidikan erat kaitannya dengan kurikulum yang diterapkan dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) pendidik. Menelisik pada kurikulum yang terus berubah dan coba untuk diterapkan di Indonesia, menggambarkan biasnya arah dan tujuan pendidikan yang sebenarnya. Tidak hanya kepada peserta didik, pendidik pun kehilangan fokus untuk menjalankan kurikulum pembelajaran yang acapkali berganti-ganti sesuai dengan kebijakan pemerintahan yang sedang berkuasa.
Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan sistem pendidikan islam. Sistem pendidikan islam memiliki kurikulum yang berakar pada akidah islam. Kurikulum yang didesain bertujuan menghasilkan peserta didik yang memiliki kepribadian islam, menguasai tsaqafah islam dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi secara bersamaan. Integrasi ketiga komponen dalam sistem pendidikan islam mencegah insan manusia memiliki sikap sekularis seperti yang dihasilkan dalam sistem pendidikan saat ini. Di mana tolok ukur keberhasilan hanya pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga menghasilkan manusia yang berilmu tetapi menipu, cerdas namun juga culas.
Konsep dan sistem pendidikan islam mampu mewujudkan keimanan dan ketakwaan bagi individu, masyarakat dan bangsa. Penguasaan peserta didik terhadap tsaqafah islam menciptakan insan yang memiliki kepribadian islam, yang dengan hal tersebut menjadikan ilmu dan pengetahuan hanya ditujukan untuk kemaslahatan masyarakat dan negara. Sehingga, peran ilmuwan menjadi terasa dan bernilai di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Dalam hal pembiayaan pendidikan, sistem pemerintahan islam memandang bahwa pendidikan harus dapat diakses secara gratis oleh seluruh masyarakat tanpa melihat status sosialnya. Negara memiliki tanggung jawab dalam mengurusi kehidupan masyarakatnya, disamping mencukupi kebutuhan sandang pangan dan papan, negara wajib menjamin pendidikan, kesehatan dan keamanan bagi seluruh masyarakatnya. Hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dipenuhi. Sebab, sejarah mencatat bagaimana perkembangan pendidikan mampu mencapai kegemilangan pada masa pemerintahan Abasiyah. Saat itu lembaga pendidikan sekolah-sekolah formal hingga universitas tumbuh subur dan berkembang. Alhasil, melahirkan banyak ilmuwan muslim, seperti Ibnu Sina, Al Khawarizmi, Ar Razi, Ibun Hayyan dan lainnya, yang tidak hanya hebat dalam berbagai hasil temuan, namun menjadi rujukan dan fondasi untuk keilmuan saat ini.
Sebagai sebuah negara dengan mayoritas penduduk beragama islam, sudah semestinya pemerintah mengambil inspirasi dari nilai-nilai pendidikan islam untuk merumuskan kebijakan pendidikan yang lebih holistik dan merata. Dengan begitu, upaya mencapai 100% dalam akses dan kualitas pendidikan dapat menjadi lebih mendalam dan terintegrasi di seluruh pelosok negeri.
Views: 13
Comment here