Opini

Program Makan Siang Gratis, Benarkah demi Peningkatan Kualitas Generasi?

blank
Bagikan di media sosialmu

Penulis: Fitriani, S.Pd. (Praktisi Pendidikan)

Wacana-edukasi.com, OPINI– Makan siang gratis dan susu gratis merupakan bagian dari program terbaik cepat yang akan dijalankan pasangan Prabowo-Gibran. kebijakan ini pun diklaim sebagai solusi untuk mengatasi angka anak kurang gizi, kematian ibu hamil, stunting, menghilangkan kemiskinan ekstrem, dan menyerap hasil panen petani dan nelayan. Makan gratis juga diyakini meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga dapat mengatasi masalah dalam perbaikan kualitas hidup rakyat Indonesia, termasuk penyediaan lapangan kerja baru bagi masyarakat. Program ini sekaligus menjawab tantangan isu global untuk permasalahan stunting dan ketahanan pangan.

Sebanyak 15,42 juta jiwa penerima MBG yang ditargetkan oleh pemerintah. Terdiri dari anak sekolah, santri, ibu hamil, ibu menyusui, dan balita di 514 kabupaten atau kota dan nampaknya masyarakat harus bersabar, sebab Program MBG baru akan diberlakukan pada 2 Januari 2025 mendatang. Pembiayaan program ini telah menjadi agenda yang dimasukkan ke dalam RAPBN 2025. Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan tak tanggung-tanggung menganggarkan 71 Triliun untuk makan bergizi gratis ini. Nominalnya sangat fantastis bahkan melebihi anggaran kesehatan dan dua kali lipat dari anggaran pendidikan.

Prabowo Subianto sebagai Presiden terpilih periode 2024-2029 telah mengubah program makan siang gratis menjadi makan bergizi gratis. Pengubahan dilakukan karena menyadari bahwa para siswa yang menjadi target program tersebut, masuk sekolah pagi dan pulang siang.

Dalam program makan bergizi gratis, pemberian susu juga direncanakan dengan pemanfaatan susu ikan sebagai konsumsi pengganti susu sapi. Namun, Efisiensi pemanfaatan susu ikan sebagai asupan protein pengganti susu sapi menuai pro dan kontra. Bahkan sejumlah media asing juga banyak menyoroti kebijakan tersebut, dengan asumsi susu ikan bukan alternatif terbaik untuk anak-anak karena kadar gula yang tinggi dan kurangnya dukungan ilmiah yang memadai mengenai manfaat kesehatan jangka panjangnya.

Menanggapi ramainya kisruh susu ikan, Epi Taufik sebagai Kepala Divisi Produksi Ternak Perah, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi, Fakultas Peternakan IPB University mengatakan, susu ikan yang dijadikan sebagai pengganti susu sapi yang dimaksud oleh pemerintah sebenarnya adalah analog hasil dari Hidrolisat Protein Ikan (HPI) yang diolah dan disajikan menyerupai susu dan seharusnya diambil dari jenis ikan mamalia (mammae) (KOMPAS.com).

Epi Taufik menambahkan proses hidrolisis enzim protein ikan tidak mudah sebab membutuhkan proses panjang dan tentunya biaya yang mahal. Selain itu, pemanasan harus bersuhu tinggi agar bisa menghasilkan bubuk HPI. Proses pemanasan bisa mengurangi kandungan vitamin dan nutrisi pada ikan sehingga lebih baik mengkonsumsi ikan utuh atau ikan olahan yang sudah pasti memenuhi gizi anak Indonesia.

Untuk penerapan program ini, pemerintah akan menggandeng perusahaan yang bergerak dibidang perikanan, salah satunya adalah PT Berikan Bahari Indonesia di Indramayu yang merupakan anak perusahaan dari PT Berikan Teknologi Indonesia. Proses yang panjang, mahalnya biaya serta terbatasnya sarana dan prasarana untuk menghasilkan bubuk HPI (susu ikan) tersebut akan berpotensi bagi negara asing untuk melakukan investasi di Indonesia. Sebut saja Jepang dan Australia yang memberikan respon positif terkait program ini. Kita bisa membayangkan, ketika negara harus memenuhi kebutuhan pangan 82,9 juta anak sekolah selama satu hari saja maka dibutuhkan 4 juta kiloliter susu segar. Pastinya akan banyak keuntungan yang didapatkan oleh para korporasi dari produksi susu ikan tersebut.

Jika demikian akan muncul tanda tanya besar, benarkah program makan gratis untuk peningkatan kualitas generasi? Ataukah untuk kepentingan segelintir korporasi dan oligarki? Mengingat sistem yang diterapkan adalah sistem sekuler kapitalis, yang berorientasi pada asas manfaat dan keuntungan. Sistem sekuler kapitalis hanya menjadikan rakyat tumbal untuk sampai pada puncak kejayaan materi.

Disisi lain tidak terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat disebabkan oleh faktor kemiskinan. Banyak dari masyarakat yang hidup dengan kondisi perekonomian dibawah standar. Sehingga mereka tidak mampu mencukupi kadar gizi makanan. Kondisi ini terjadi karena adanya sikap abai dan lalai negara dalam menjalankan fungsinya sebagai pengurus rakyat (ra’in).

Layanan Makan Bergizi Gratis dalam Sistem Islam

Sangat berbeda dalam penerapan sistem Islam yang menjadikan akidah sebagai dasar menetapkan suatu kebijakan untuk kepentingan rakyat. Konsep keadilan dan ekonomi yang kuat dalam Islam menjadi landasan bagi para pemimpin untuk membangun sistem yang menjamin kesejahteraan rakyat. Diantaranya memenuhi seluruh kebutuhan dasar setiap individu rakyat, yaitu sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan.

Dalam aspek sandang, pangan, dan papan, negara memberikan kemudahan bagi rakyat dalam mengaksesnya melalui kebijakan harga yang terjangkau. Pada aspek kesehatan, pendidikan, dan keamanan, negara memberikan jaminan secara gratis tanpa pungutan biaya. Karena negara berkewajiban untuk menyediakan fasilitas dan sarana yang memadai sehingga layanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan bisa berjalan dengan baik. Kebutuhan makanan bergizi harus terpenuhi secara merata bagi seluruh masyarakat, bukan hanya sebagian mereka yang terkategori kurang mampu. Karena kesehatan adalah hal utama agar aktivitas berjalan dengan baik.

Dalam sistem Islam, program makan bergizi gratis telah diterapkan pada masa Kekhalifahan Utsmaniyah, melalui pendirian imaret (dapur umum) berbasis wakaf yang telah dibangun sejak abad ke-14 sampai abad ke-19. Sultan Orhan adalah orang yang pertama kali mendirikan Imaret di Iznik Mekece. Saat itu, seluruh imaret akan menyiapkan makanan untuk didistribusikan secara gratis kepada masyarakat dari berbagai latar belakang, seperti pengurus masjid, guru, murid, sufi, pelancong, dan penduduk lokal yang membutuhkan.

Islam memiliki mekanisme pengelolaan anggaran negara yang jelas. Sumber kas negara (Baitul Mal) didapatkan dari pengelolaan SDA yang efektif. Pengelolaan yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan jumlahnya melimpah harus dikelola oleh negara, dan tidak boleh diprivatisasi apalagi diserahkan kepada pihak asing. Sebagaimana dijelaskan dalam hadist Bukhari dan Muslim,

“Masyarakat itu berserikat dalam tiga perkara (barang): air, padang gembalaan dan api.”

Sumber pendapatan lain berasal dari fai dan kharaj yang meliputi ghanimah, anfal, fai, khumus, kharaj, status tanah, jizyah, dan dharibah (pajak). Penggunaannya juga sudah diatur sedemikian jelas dalam syariah. Sumber pendapatan lain datang dari zakat, sedekah dan hadiah sebagai bentuk ketaatan dan kepaduan antar individu, dengan pangalokasian tertentu. Untuk zakat khusus dialokasikan kepada delapan asnaf zakat termasuk orang miskin. Negara Islam punya kemampuan mensejahterakan rakyat dengan konsep Baitul Mal yang kuat.

Layanan yang berbasis akidah kerap menampakkan keikhlasan pemimpin dalam melakukan periayahan. Pada akhirnya perhatian khusus pada jaminan kualitas generasi, memenuhi hak dasar mereka dengan pemenuhan yang maksimal dan berkualitas dapat dengan mudah membentuk generasi tangguh yang berkepribadian Islam menuju peradaban yang gemilang. Tentu semua ini hanya akan terwujud ketika syariah diterapkan secara menyeluruh.

Wallahu a’lam bishawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 16

Comment here