Surat Pembaca

Program Makan Siang Gratis, Sekadar Basa-Basi

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Pri Afifah

Wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Stunting dan ketahanan pangan adalah dua isu penting yang dihadapi oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Stunting, biasanya ditandai dengan tumbuhnya fisik anak yang terhambat akibat kekurangan gizi, memiliki dampak jangka panjang pada perkembangan fisik dan motorik anak-anak. Ketahanan pangan mencakup ketersediaan dan kemudahan mendapatkan bahan pangan bagi masyarakat terhadap makanan yang bergizi, aman, dan harganya terjangkau. Keduanya saling berkaitan erat dan membutuhkan perhatian untuk menghindari hilangnya potensi generasi muda yang dapat memengaruhi masa depan sebuah bangsa.

Isu program makan siang gratis, susu gratis, dan susu ikan gratis adalah langkah positif dalam upaya mengatasi kedua masalah ini. Harapannya program makan siang gratis, dapat memastikan anak-anak menerima asupan gizi yang cukup di sekolah, terutama bagi mereka yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah.

Sementara itu, program susu dan susu ikan gratis dapat memberikan sumber protein dan kalsium yang penting untuk pertumbuhan tulang dan perkembangan anak. Selain itu, ikan sebagai sumber protein lokal yang mudah diakses juga mendukung keberlanjutan kehidupan ekonomi bagi masyarakat pesisir yang berprofesi sebagai nelayan.

Namun, implementasi program semacam ini membutuhkan komitmen jangka panjang dan kontrol dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah hingga masyarakat. Jangan sampai program ini hanya sebagai wacana, atau alat kampanye saat pemilu saja.

Tantangan yang mungkin dihadapi antara lain adalah anggaran untuk pengadaan makan siang gratis, serta distribusi yang merata. Di sinilah peran kebijakan yang adil dan konsisten sangat penting, agar program ini tidak sekadar wacana tetapi benar-benar memberikan dampak yang signifikan dalam mengurangi stunting dan meningkatkan ketahanan pangan.

Dalam banyak kasus, kebijakan yang diklaim sebagai cara untuk menyelesaikan permasalahan rakyat, terutama dalam bidang pangan, sering kali membuka peluang usaha bagi pengusaha besar dan oligarki. Program seperti makan siang gratis atau susu gratis bisa menjadi peluang bagi perusahaan besar untuk menguasai pasar, dengan mengambil bagian pada proses produksi, distribusi, hingga pengadaan barang. Selanjutnya, ketergantungan pemerintah terhadap perusahaan besar ini dapat menguntungkan pihak tertentu sambil tetap mempertahankan citra “peduli rakyat.”

Ketika kebijakan bergantung pada korporasi, sering kali kesejahteraan rakyat hanya menjadi agenda sampingan yang terus dibayangi oleh keuntungan ekonomi elite bisnis. Dalam hal ini, rakyat bisa menjadi “konsumen pasif” yang terus-menerus bergantung pada bantuan pemerintah yang, sebenarnya dikendalikan oleh kepentingan bisnis.

Ketika kebijakan seperti program makan siang atau susu gratis sepenuhnya bergantung pada perusahaan besar, maka peluang bagi usaha kecil atau lokal untuk ikut berperan dalam penyediaan barang dan jasa bisa terhambat. Alih-alih membeli produk dari petani atau produsen lokal, pemerintah mungkin lebih memilih membeli dalam jumlah besar dari korporasi besar yang bisa menyediakan produk secara massal dengan harga lebih rendah.

Begitulah watak sistem demokrasi seringkali terlihat pada kebijakan yang menampilkan seolah-olah peduli terhadap rakyat, tetapi sebenarnya menunjukkan sifat lepas tangan dan lebih fokus pada keuntungan sebagian pihak. Negara kerap menunggangi isu-isu kritis seperti kesehatan masyarakat atau gizi buruk pada anak untuk menggalang dukungan masyarakat saat pemilu, yang sejatinya hanya menguntungkan para penguasa dan pemilik modal.

Alih-alih mengurus kesejahteraan rakyat, rezim semacam ini menggunakan program bantuan atau kesejahteraan publik sebagai topeng bagi proyek yang menguntungkan pihak tertentu. Dengan demikian, kebutuhan rakyat hanya menjadi sarana untuk mencapai agenda ekonomi besar yang lebih menguntungkan elite dan korporasi dibandingkan rakyat itu sendiri.

Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam atau khilafah, kepemimpinan ditujukan untuk melayani umat dengan tulus dan memperhatikan kebutuhan mereka secara menyeluruh. Seorang pemimpin Islam dianggap sebagai pengurus rakyat yang bertanggung jawab di hadapan Allah atas pemenuhan hak-hak dasar mereka, termasuk jaminan terhadap kualitas generasi penerus.

Dalam hal ini, perhatian khusus diberikan pada pemenuhan hak-hak yang terkait dengan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat, dengan tujuan membentuk generasi yang sehat, kuat, dan memiliki keimanan yang sempurna.

Berbeda dengan sistem yang mengedepankan kepentingan korporasi atau elite tertentu, khilafah menerapkan kebijakan yang berfokus pada pemenuhan kebutuhan rakyat secara maksimal dan berkualitas. Anggaran negara diarahkan untuk memastikan seluruh rakyat memperoleh akses terhadap makanan, pendidikan, dan layanan kesehatan tanpa diskriminasi. Melalui penerapan syariah, sumber daya negara dikelola secara amanah untuk kemaslahatan bersama, sehingga kebijakan yang diambil bukanlah untuk kepentingan ekonomi pihak tertentu, tetapi benar-benar untuk kemajuan dan kesejahteraan umat.

Wallahu a’lam bishowab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 11

Comment here